Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi itu, rumah keluarga Bagaskara terasa lebih sibuk dari biasanya. Hari itu adalah hari pertama Celin masuk sekolah dasar. Ia kini berusia enam tahun, tubuhnya mungil dengan rambut panjang yang diikat kuncir dua.
Arini berdiri di depan kamar, mengetuk pintu.“Celin sayang, sudah bangun?”
Pintu terbuka perlahan. Celin keluar dengan seragam putih merah yang masih agak kedodoran. Ia mengerucutkan bibir.
“Ma… roknya panjang banget. Aku kayak jalan pakai kain.”
Arini tertawa kecil sambil merapikan bajunya. “Memang harus panjang, Nak. Biar rapi. Kamu cantik kok.”
Bagas muncul dari belakang sambil membawa kamera. “Ayo, kita foto dulu. Ini hari penting.”
Di tangga, dua bocah kembar, Arka dan Aksa, ikut nimbrung. Meski baru berusia dua tahun, mereka sudah bisa berjalan lari kecil.
“Kak Celin cekolah? Kak Celin cekolah?” teriak Arka.
Aksa menirukan, “Aku ikut! Aku ikut!”
Celin jongkok di depan mereka, memeluk keduanya erat. “Adik jangan sedih, nanti kalau besar kalian juga sekolah. Kakak janji bakal ceritain semuanya.”
Bagas mengabadikan momen itu. “Nah, ini baru keluarga Bagaskara! Lengkap, kompak, bahagia.”
---
Mobil keluarga melaju perlahan menuju sekolah dasar internasional tempat Celin diterima. Jalanan dipenuhi anak-anak lain bersama orang tua mereka.
Begitu sampai, Celin menggenggam tangan Arini erat-erat. “Ma… aku takut. Kalau nggak punya teman gimana?”
Arini berjongkok, menatap mata putrinya. “Celin punya senyum paling manis. Kalau kamu senyum, semua pasti mau jadi temanmu.”
Bagas menepuk bahu Celin. “Dan jangan lupa, kalau ada yang ganggu, ingat… kamu anak Bagaskara. Berani, jujur, baik hati.”
Celin menarik napas dalam, lalu tersenyum lebar. “Baik, Pa, Ma. Aku coba.”
Di kelas, guru memperkenalkan Celin. “Anak-anak, ini teman baru kalian. Namanya Celin Aurora Bagaskara.”
Beberapa murid menoleh penasaran. Ada yang berbisik, ada yang tersenyum. Celin sempat ragu, tapi ia mengingat pesan ibunya. Ia tersenyum.
Seorang anak perempuan duduk di sebelahnya, menyodorkan pensil. “Hai, aku Siska. Mau pakai pensil warna ini bareng aku?”
Mata Celin berbinar. “Mau! Terima kasih.”
Hari pertama itu berjalan lancar. Celin pulang dengan wajah cerah. Di rumah, Arka dan Aksa sudah menunggu di teras.
“Kak Celin… cekolah gimana?” teriak mereka bersamaan.
Celin mengangkat tangan seperti pahlawan. “Seru banget! Kakak dapat teman baru. Namanya Siska. Dia baik.”
Arka melompat-lompat, “Aku juga mau cekolah!”
Aksa mengangguk cepat, “Aku juga, aku juga!”
Bagas dan Arini hanya tertawa melihat tingkah tiga anak mereka.
----
Hari-hari berlalu. Celin semakin terbiasa dengan sekolah. Ia dikenal sebagai murid cerdas, rajin bertanya, dan suka membantu teman. Gurunya sering memuji sikapnya.
Namun, sepulang sekolah, Celin selalu punya ritual. Ia duduk di ruang bermain bersama Arka dan Aksa.
“Adik, hari ini kakak belajar tentang angka. Nih, lihat.” Celin menggambar angka 1 sampai 5 di papan kecil.
“Ini satu… ini dua… ayo, coba ulangi.”
Arka berseru, “Satu! Dua! Tiga!”
Aksa menambahkan, “Empat! Limaaa!”
Celin bertepuk tangan. “Pintar banget adik-adikku!”
Arini yang mengintip dari balik pintu tersenyum haru. Bagas berdiri di sampingnya, berbisik, “Dia bukan cuma kakak. Dia guru kecil mereka.”
Suatu sore, Celin pulang dengan wajah murung. Ia langsung masuk kamar tanpa banyak bicara.
Arini mengetuk pintu. “Sayang, boleh Mama masuk?”
Celin mengangguk pelan. Arini duduk di sampingnya. “Kenapa sedih?”
Celin menunduk. “Teman-teman bilang aku aneh karena suka ngajarin adik-adik. Mereka ketawa. Katanya aku sok dewasa.”
Arini mengusap rambut putrinya. “Sayang… tidak semua orang mengerti. Tapi Mama tahu, jadi kakak itu tanggung jawab besar. Kamu sudah luar biasa.”
Celin menatap ibunya, mata berkaca-kaca. “Tapi Ma… aku cuma pengen adik-adik pintar. Salah ya?”
Arini memeluknya erat. “Tidak pernah salah. Justru itu yang bikin kamu istimewa.”
Tak lama kemudian, Arka dan Aksa masuk dengan wajah polos.
“Kak Celin kenapa nangis?” tanya Aksa.
“Kakak jangan sedih. Kita sayang Kakak,” tambah Arka sambil menyerahkan boneka kelinci yang biasa dimainkan Celin.
Celin langsung tersenyum. “Terima kasih, adik-adik. Kakak janji nggak sedih lagi.”
Beberapa bulan kemudian, sekolah Celin mengadakan acara pentas seni. Setiap murid harus menampilkan sesuatu.
Celin sempat bingung. Ia tidak jago menari, juga tidak terlalu percaya diri menyanyi. Hingga suatu sore, Arka dan Aksa duduk di sampingnya.
“Kak Celin, nyanyi lagu kelinci aja,” saran Arka.
“Iya, lagu kelinci. Kita hafal,” timpal Aksa.
Mata Celin berbinar. “Iya juga! Kalau aku nyanyi lagu kelinci, aku bisa ajak kalian naik panggung.”
Arini sempat ragu. “Sayang, ini acara sekolahmu. Apa tidak apa-apa bawa adik?”
Celin mengangguk mantap. “Aku mau nunjukin kalau aku kakak mereka. Kami tim.”
Hari pertunjukan tiba. Celin berdiri di panggung, ditemani Arka dan Aksa dengan baju kelinci mungil. Mereka menyanyi bersama, suaranya polos namun penuh semangat. Penonton tertawa terhibur, bahkan guru-guru bertepuk tangan meriah.
Seusai acara, kepala sekolah berkata pada Bagas dan Arini, “Putri Anda tidak hanya pintar, tapi punya jiwa kepemimpinan luar biasa.”
Bagas menepuk dada dengan bangga. “Itu Celin, cahaya keluarga kami.”
Hari-hari terus berjalan. Celin tumbuh semakin cerdas, Arka dan Aksa makin aktif. Kadang mereka bertengkar kecil, tapi selalu berakhir dengan tawa.
Suatu malam, listrik rumah mendadak padam. Arka dan Aksa ketakutan, menangis sambil memeluk Celin.
“Kak… gelap, aku takut,” bisik Aksa.
“Aku juga takut,” tambah Arka.
Celin memeluk keduanya erat. “Tenang, ada Kakak. Gelap itu cuma sementara. Tuhan lagi suruh kita lihat bintang.”
Begitu keluar ke teras, mereka menatap langit malam. Celin menunjuk ke atas. “Tuh, lihat… banyak bintang. Sama kayak kita. Kakak satu, adik dua. Jadi tiga bintang Bagaskara.”
Tangis keduanya berhenti. Mereka tersenyum. Arini yang melihat dari balik jendela meneteskan air mata. Ia tahu, cinta kakak-adik itu akan bertahan selamanya.
Celin kini bukan hanya siswi berprestasi, tapi juga kakak teladan bagi Arka dan Aksa. Di sekolah, ia semakin dikenal pintar, di rumah ia jadi cahaya yang menerangi keluarganya.
Di malam sunyi, sebelum tidur, Celin sering berbisik pada boneka kelincinya:
“Ma, Pa, Oma,opa, Arka, Aksa… aku janji akan selalu jaga mereka. Karena aku bukan cuma anak Bagaskara, aku cahaya Bagaskara.”
Dan entah bagaimana, setiap kali Celin mengucapkan janji itu, suasana rumah selalu terasa lebih hangat, seolah doa kecilnya benar-benar menjaga keluarga mereka.
Bersambung
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭