“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Pertarungan yang Panjang dan Melelahkan
Mayat Pak Suryo masih tergeletak di taman.
Masih mati... setidaknya sepertinya begitu. Umurnya baru tiga hari, jadi belum ada bau busuk yang menusuk. Sedikit melegakan.
Aku mengendurkan kewaspadaan sejenak. Tegang karena akan memulai eksplorasi pertama, aku memutuskan untuk menyingkirkan mayat itu.
Jenis “dekorasi taman” seperti ini jelas bukan sesuatu yang ingin kulihat setiap hari.
Dengan kedua tangan menggenggam pergelangan kakinya, aku menyeret tubuhnya dan menempatkannya di taman rumahnya sendiri. Lalu, dengan tanah kebun yang kupinjam dari halaman Pak Suryo, aku menimbunnya.
Untungnya, tanah di sana sudah cekung, sehingga tubuhnya cepat menghilang di bawah permukaan.
Cukup untuk saat ini.
Dia akan lebih nyaman tidur di rumahnya sendiri.
Suatu hari nanti, kalau sempat, mungkin aku akan menaruh bunga untuknya.
Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu bersiap memulai penjelajahan.
Tujuan kali ini: minimarket terdekat dengan garis biru-putih khasnya, hanya sepuluh menit berjalan kaki dari rumah.
Cocok untuk eksplorasi pertama.
Dan ya… aku ingin rokok.
Sejujurnya, aku lebih memilih merokok daripada makan.
Butuh sekitar lima menit untuk mencapai tujuan jika aku mengambil rute lurus melewati permukiman terdekat. Tapi jarak pandang di sana buruk, dan ada SD di dekatnya. Terlalu banyak titik buta.
Jadi, aku memilih jalan memutar, mengikuti jalur di sepanjang tepi sungai di belakang rumah.
Di sini jarak pandang lebih baik.
Kalau ada zombi, aku bisa langsung melihatnya dari jauh.
Dengan hati-hati, aku memanjat tepi sungai. Begitu kepalaku melewati bibir tanggul, pemandangan di depan langsung menarik perhatianku dan membuat perutku terasa berat.
Beberapa mobil terbalik.
Di jalan aspal, tergeletak sepotong daging yang jelas bukan milik hewan.
Noda darah menodai trotoar dan dinding bangunan.
Bau bensin bercampur darah menusuk hidung.
Asap hitam menjulang dari beberapa titik di pusat kota Banyuwangi.
Aku ingin percaya ini semua hanyalah kekacauan kecil.
Tapi jauh di dalam hati, aku tahu harapanku itu sudah mati.
Sepertinya dompet yang kubawa tak akan berguna di sini.
Menghela napas panjang, aku melanjutkan langkah.
Mataku terus bergerak, memindai setiap sudut.
Sejauh ini, belum ada tanda-tanda manusia hidup… apalagi zombi.
Suasananya begitu sunyi hingga aku sempat bertanya-tanya jangan-jangan aku benar-benar satu-satunya orang yang masih hidup di dunia ini.
Pakaian yang kupakai, jelas tak cocok untuk musim ini, membuat tubuhku terasa panas dan keringat mengalir. Tapi demi keselamatan, aku tidak akan mengeluh.
Aku terus bergerak, memeriksa bayangan mobil yang terparkir dan isi di dalamnya.
Di salah satu mobil terbalik, aku mendekat sambil mencabut tongkat bambu dari pinggang.
Mengintip ke dalam, aku menemukan mayat dengan kepala terpelintir ke arah yang mustahil mungkin akibat benturan saat terguling.
Bukan zombi.
Ternyata, mati dalam kecelakaan tidak otomatis membuat seseorang berubah.
Langkahku berlanjut di tepi sungai. Dari sana, mataku menangkap sosok di sebuah taman rumah pribadi, berdiri di bawah naungan pohon, membelakangiku.
Kepalanya tertunduk, lengan kirinya hilang, dan bahu kanannya rusak parah. Sulit membayangkan dia masih hidup.
Dari bentuk tubuhnya, sepertinya perempuan setengah baya.
Ia sedikit bergoyang… tapi tidak bergerak maju.
Aku menunduk, mengambil batu sebesar kepalan tangan yang tergeletak di jalan.
Dengan hati-hati, kulemparkan batu itu ke jalan di seberang rumah.
Batu menghantam aspal dengan suara tak! yang cukup nyaring.
“A—A—…”
Sosok itu menjerit liar, lalu menyerbu ke depan, menghilang ke dalam kegelapan.
Hampir bersamaan, beberapa jeritan serupa bergema dari arah yang sama.
Aku segera merunduk di balik posisi aman, berusaha tidak terlihat dari bawah, lalu menarik napas perlahan.
Jelas, mereka bereaksi terhadap suara. Dan satu hal lagi: mereka tidak pintar.
Wanita zombi itu tidak mencoba melompati pagar tanaman atau mencari jalan memutar ia justru menabraknya, menghancurkannya dengan cara yang kacau, lalu terus berlari.
Setidaknya, itu cukup untuk menepis kemungkinan bahwa Pak Suryo hanyalah zombi paling bodoh di dunia.
Satu pelajaran baru tentang perilaku mereka, tercatat di kepalaku.
Aku melanjutkan perjalanan, mataku menyapu titik-titik buta di antara rumah-rumah. Tak lama, minimarket yang kucari mulai terlihat.
Satu mobil terparkir di tempat parkir tepat di jalur menuju pintu.
Di kursi pengemudi, terlihat siluet seseorang.
Aku mendekat dari belakang, menahan napas. Saat cukup dekat, barulah kulihat: mayat lagi.
Kaca depan minimarket pecah, memperlihatkan isi di dalam. Lampu masih menyala, tak ada gerakan, bahkan mayat pun tidak.
Dengan langkah hati-hati, aku melangkah masuk.
Situasinya benar-benar menghancurkan.
Rak-rak roboh seperti deretan domino, menyisakan majalah dan bahan makanan berserakan di lantai.
Rak dinding yang biasanya penuh kini kosong melompong.
Saat pandanganku beralih ke konter, mataku langsung terpaku pada rak rokok di belakang mesin kasir yang pecah dan di sana, merek favoritku masih terlihat.
Perasaan senang langsung menyambar, tapi aku menekannya. Pelan-pelan, aku memutari jalur menuju pintu masuk konter, menginjak lantai dengan hati-hati, berusaha menghindari serpihan kaca agar tak menimbulkan suara.
Lalu aku melihatnya.
Di dalam konter.
Seorang zombi wanita muda, berseragam biru-putih khas minimarket, tengah menunggangi mayat seorang pria dengan seragam yang sama.
Dari sini, aku bisa melihat seragamnya robek, memperlihatkan kulit pucat yang kontras dengan tulang rusuknya yang berlumuran darah merah tua.
Aku tersentak. Bunyi derak sepatu botku di atas pecahan kaca terdengar begitu jelas di telingaku terlalu jelas.
Wanita itu perlahan menoleh, gerakannya kaku namun penuh ancaman.
Tanpa memberi waktu padanya untuk bereaksi, aku mengangkat tongkat bambu dan menghantamkannya dari atas dengan seluruh tenaga.
Pukulan itu mengenai tepat di ubun-ubunnya. Bunyi gedebuk yang aneh merambat melalui gagang, menusuk telapak tangan dan membuat pergelangan tanganku nyeri. Terlalu erat. Seharusnya tadi kulilitkan kain di pegangannya.
“Ahh…”
Suara lirih itu keluar dari mulutnya sebelum tubuhnya ambruk, tak bergerak.
Untuk memastikan, aku menghantam bagian belakang kepalanya sekali lagi, memukulnya bersama mayat pria yang tergeletak di bawahnya. Tak ada reaksi sama sekali.
Aku mengatur napas, menahan sikap waspada. Tongkat bambu di tanganku hanya meninggalkan penyok kecil tidak retak. Seperti yang kuduga, ini senjata yang andal.
Berterima kasih pada Pak Suryo, tubuhku kini bergerak tanpa ragu. Rupanya pengalaman melawan zombi itu memang tak ternilai.
Mungkin terdengar dingin, tapi di dunia sekarang… berpikir seperti ini bukanlah dosa.
Sebelum menyalakan rokok, aku memutuskan memeriksa halaman belakang.
Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan atau kematian di sana.
Seharusnya ada manajer selain pegawai paruh waktu di minimarket ini. Dia pelanggan tetap; kami sering saling menyapa. Mungkin dia berhasil kabur… semoga saja.
Aku kembali masuk dan mengamati sekeliling. Sunyi. Tidak ada yang bergerak selain diriku.
Ranselku kulepaskan ke lantai. Prioritasku: rokok.
Sambil menahan napas, aku melangkah melewati mayat dan sisa-sisanya, menuju rak di belakang konter.
Merek favoritku ada di sana delapan bungkus. Satu langsung masuk ke saku rompi, sisanya ke dalam tas. Di bawah rak, kutemukan tiga karton tambahan; semua kumasukkan ke ransel, bersama dua karton merek cadangan.
Sekalian, aku ambil seluruh korek api di konter. Percikan api adalah nyawa dalam dunia seperti ini.
Berikutnya, makanan. Rak roti tawar, nasi bungkus, dan kotak makan sudah habis orang lain pasti lebih dulu menggasaknya. Untungnya, di bagian makanan ringan masih ada yang tersisa: kaleng makanan, paket beku vakum, roti manis, mi instan, kue kering, dan manisan kering. Semuanya langsung masuk ke ransel sampai penuh sesak.
Air minum tak perlu; di rumah ada pompa tangan untuk sumur. Terima kasih, Bu.
Beberapa minuman energi dan batang kalori kumasukkan ke saku rompi berguna saat butuh tenaga cepat.
Dan untuk saat-saat darurat di luar sana, aku masih punya peralatan memancing warisan Ayah.
Setelah mendapatkan semua yang kuinginkan, aku segera meninggalkan minimarket.
Begitu keluar, aku memeriksa keadaan sekitar.
Di tempat parkir gedung karaoke sebelah, beberapa zombi berdiri terpaku.
Aku menegang sejenak, tapi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari kehadiranku hanya memandang kosong ke kejauhan.
Penglihatan mereka sepertinya buruk. Syukurlah.
Aku mempercepat langkah pulang, sedikit lebih cepat dibanding saat berangkat.
Tidak ada insiden di sepanjang jalan mungkin berkat langkahku yang hati-hati dan tidak membuat suara berlebihan.
Setibanya di rumah, aku mendirikan tangga lipat menuju balkon, lalu menariknya masuk agar aman.
Masuk ke dalam, aku melepas helm dan sepatu bot, lalu turun ke ruang tamu.
Ransel kutaruh di lantai. Aku menjatuhkan diri di sofa, merogoh saku rompi, dan mengeluarkan sebatang rokok.
Api dari korek baru langsung menyala, dan aku menghisap dalam-dalam rokok pertamaku setelah tiga hari.
“Aaaahhh… enak… enak sekali…”
Aku rebahan di sofa, membiarkan rasa nikmat itu menyelimuti tubuh. Pusing ringan dan sensasi mabuk nikotin membuatku memejamkan mata.
Abu jatuh di sofa, tapi siapa peduli?
Saat ini, aku hanya ingin tenggelam dalam kenikmatan sederhana ini.