sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SATU HARI MENJALANKAN MISI AGEN PIPI
Hal yang membuat Pika tidak tenang selama mengajar kelas tambahan bersama para cowok-cowok bandel ini adalah; menatap wajah Pian yang super duper menyebalkan.
Pian duduk di kursi paling depan sambil mengulas senyum lesung pipit miliknya. Maaf saja, Pika nggak pernah merasa tertarik sedikit pun, meski lesung pipit Pian sedalam dua meter. Lalu menaikan alisnya berulang kali, dan memegang selembar kertas HVS yang sengaja diangkat tinggi-tinggi. Tertulis dengan tintah hitam huruf
kapital ceker ayam; SATU HARI MENJALAKAN MISI AGEN PIPI.
Demi Tuhan Pika tidak mungkin lupa dengan ajakan Pian kemarin. Karena selama semalaman suntuk ponsel Pika terus berbunyi notif pesan masuk. Dan semua pesan masuk secara beruntun tersebut datang dari Pian yang membahas tentang jalan-jalan.
"Gue Cuma mau bilang sama kalian semua. Sekarang udah nggak ada waktu buat main-main lagi. Karena beberapa minggu lagi kita bakalan mengikuti ujian semester. Gue nggak mau Bu Ratih marah-marah ke gue karena gue gagal bikin nilai kalian jadi bagus. Please, mohon kerjasamanya."
Itu kalimat terakhir Pika seusai melaksanakan tugasnya menjadi guru privat The Brandals.
"Siap cikgu! Dengan sangat bangga Pian akan bekerjasama dengan cikgu untuk membentuk hubungan yang sakinah mawaddah dan warahma,"
ujar Pian asal. Masih menggoyang-goyangkan kertas HVS di hadapan Pika.
Sandi menoyor kepala Pian. "Emangnya ente mau nikah pake-pake kata samawa segala."
Pian diam tidak berkomentar. Sedangkan Tristan hanya tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Dan Pika mengembuskan napas lelah.
"Pelajaran buat hari ini kita akhiri sampai di sini. Kalian boleh pulang.."
"PULANG!!!" Sandi berteriak heboh. Langsung meransel tas miliknya dan berlari keluar dari kelas. Tapi hanya beberapa detik saja menghilang, Sandi kembali lagi masuk ke dalam kelas.
"Hoi, bahlul. Ente nggak mau pulang?" teriaknya pada Pian.
Pian masih duduk tenang di kursi. Menggeleng pelan.
"Ente mau tidur di kelas ini sampe ujian dimulai? Percuma, Yan, ente nggak akan berubah jadi pintar."
"Siapa bilang?" wajah Pian tanpa dosa. Tersenyum menyebalkan. "Kalau orang bodoh nggak bisa jadi pintar itu jangan salahkan kemampuan otaknya."
"Terus salah siapa? Salah ibunda mengandung?" Sandi bercanda. Hampir saja Pian ingin melemparnya dengan kursi. Sandi langsung merapatkan kedua telapak tangannya. "Maaf, Yan. Canda..."
"Tapi salahkan teman-teman sekitar yang sama bodohnya," lanjut Pian. Sandi menunjuk dirinya sendiri. "Maksudnya ane? Tristan? Henrik? Sialan ente, Yan."
Pian tertawa sekilas. "Jadi kalau mau jadi pintar itu harus pandai pilih teman-teman yang pintar juga. Misalnya..." Pian beranjak dari kursi dan berjalan ke arah Pika. "Ehem..." Pian berdehem. "Pika mau nggak jadi temannya Pian, biar pintarnya bisa nular."
"Ogah!" Pika berseru jutek.
"Tapi Pika nggak lupa kan dengan janji Pika yang kemarin. Mau ya jalan-jalan sama Pian sehari aja, biar kepintaran Pika bisa terbang dibawa angin terus nular ke Pian." Lalu Pian menghadap ke Tristan dan berdesis, "makanya naik motor, Tris."
"Wooo, modus!!!!" sorak Tristan. Sandi tertawa."Pintar juga cara ente ajak jalan cewek, Yan!"
"Gue tunggu di parkiran. Lime menit. Nggak pake lama!" kata Pika cepat. Buru-buru mengambil perlengkapannya dan keluar dari kelas.
Pian menaikan alisnya berulang kali seraya tersenyum jail di hadapan Tristan.
"Gantian ya, Tris. Rejeki anak soleh!" kemudian Pian ikut berlari mengejar langkah Pika.
Tristan tertawa. Geleng-geleng kepala.
"Ente nggak cemburu Pian bisa ajak jalan Pika?" Sandi menepuk pundak Tristan.
"Cemburu?" Tristan tercenung. "Buat apa?" lanjutnya lagi.
"Udahlah, Tris. Nggak perlu bohong-bohong lagi sekarang. Ane tau kalau ente suka sama Pika kan?"
"Tau dari mana? Jangan sok tau, Rab."
"Dari tatapan mata seseorang." Sandi mulai bergaya dramatis. "Cara melihat seseorang jatuh cinta itu, kita Cuma perlu melihat tatapan matanya. Contohnya aja kayak si Pian. Setiap kali Pian natap Pika, matanya selalu berbinar-binar. Nah, ane lihat mata ente gitu terus kalau natap Pika."
Sudut bibir Tristan tertarik ke atas. "Mungkin bagi kita-kita yang udah kenal lama sama Pian dan udah tau gimana sifatnya Pian, kita selalu menanggap kalau Pian itu gokil dan lucu. Tapi bagi Pika, sebagai seorang perempuan, dia justru menganggap Pian itu terlalu over dan kampungan."
"Pika bilang begitu ke enter, Tris?"
Tristan mengangguk. "Pika bilang dia nggak suka sama Pian karena dia itu terlalu norak. Tipe cowok Pika cool dan santai."
Sandi menghela napas berat. Menepuk pundak kiri Tristan. "Ane tau, Tris. Tapi Cuma mau ingeti aja kalau Pian itu teman kita, teman ente juga.
Jangan sampai kalian berantem gara-gara cewek. Dan saran ane, jangan sampai ada teman makan teman."
"Rab.." Tristan balas menepuk pundak Sandi. "'Aku ngerti. Tapi nggak salah kalau Pika sendiri yang menentukan pilihannya kan?"
Dan Sandi hanya diam seribu bahasa. Tidak bisa berkutik sedikit pun. Hanya mampu menatap punggung Tristan yang perlahan menghilang dari balik pintu kelas.
"Ta-da...Motor Napi siap mengantar perjalanan Agen Pika tersayang."
Pian membawa motornya dan berhenti di samping Pika saat cewek itu menunggu di depan gerbang sekolah.
Pika memasang wajah cemberut. Memerhatikan penampilan Pian yang tidak pernah terlihat rapi.
Kali ini cowok itu justru memakai jaket kulit berwarna hitam. Menaiki motor kawasaki ninja 150 R keluaran tahun 2006 berwarna hijau muda. Dan di badan motornya terdapat stiker bertulisan NAPI.
"Ayo naik, Agen..." Pian mengisap rokok terakhirnya sebelum membuangnya ke aspal dan menginjaknya hingga mati.
Pika menatap motor Pian dengan ragu. Pasalnya Pika sama sekali belum pernah naik motor.
Boro-boro mau naik motor, terkadang Pika merasa parno kalau ada motor dengan kecepatan tinggi yang mendadak lewat di sebelahnya.
"Kok nggak naik? Kalau motornya Cuma dilihati aja nggak akan bisa jalan, Agenku."
Pika melototi Pian sedetik. "Nggak ada kendaraan lain? Taxi atau apa gitu kek. Gue males naik motor lo," ujar Pika judes.
"Napi ini satu-satunya kendaraan kesayangan yang selalu nemani Pian. Nggak ada yang lain selain Napi. Pian nggak pandai selingkuh."
Pika menatap Pian sebal atas kalimat bercandanya.
"Tapi..." Diam sebentar. "Gue nggak pernah naik motor, Pian!"
"Agen, kita harus punya pengalaman. Anggap aja ini uji coba buat Agen Pika naik motor kalau sewaktu-waktu Agen nggak punya mobil lagi."
"Tapi jangan ngebut ya bawa motornya!"
"Siap laksanakan perintah Agenku!" Pian menghentakan sebelah kakinya di aspal.
"Biasa aja. Nggak usah berlebihan!" Dengan sangat hati-hati akhirnya Pika duduk di jok penumpang belakang.
"Udah bilang sama orang rumah belum, kalau Agen Pika dibawa jalan-jalan sama sopirnya Neil Armstrong?" Pian memutar kepalanya ke belakang.
"Idih, Neil Armstrong pergi ke bulan nggak pake supir kali!"
"Hehe. Neil Armstrong punya supir nggak perlu sombong."
Pika mendengus jengkel. "Gue udah bilang ke Ibu kalau mnau dibawa jalan sama orang gila."
"Terus Ibu Agen Pika setuju?"
"Ibu bilang jangan lupa bawa suntikan rabies. Takut-takut orang gilanya kambuh."
"Terus suntikannya dibawa nggak?"
"Ih, bawel banget sih jadi orang. Kalau mau ajak jalan, yaudah jalan aja langsung!" Pika mulai kesal. Pian tersenyum tenang. "Jangan marah-marah dong Agen, nanti perjalanan kita jadi nggak berkah. Ini kan bulan ramadhan, bulan penuh berkah."
Pika hanya memonyongkan bilbirnya sambil mengejek kalimat sok bijak Pian.
"Are you ready Agen Pika?" Pian berteriak. Berhasil bikin Pika malu dan harus menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Nggak usah teriak gitu kenapa sih!" Pika memukul pundak Pian.
"Pegangan Agen, ntar jatuh. Mending kalau jatuhnya di hati Pian, bisa jadi cinta. Kalau jatuh di aspal? Malah jadi sakit."
"Ini bulan ramadhan. Bulan penuh berkah. Nggak boleh pegang-pegangan yang bukan muhrim."
Pian tertawa terpingkal-pingkal. Sekali lagi, semua orang yang lewat di sekitar mereka jadi memperhatikan mereka dengan raut wajah aneh.
"Oke, kalau itu mau Agen Pika. Jika terjadi kesalahan pada penumpang, penyupir tidak betanggung jawab."
Pian memutar kunci. Menyalakan mesin. Menarik gas berulang kali. Kemudian menginjak gigi satu dan kembali menarik gas. Pika terkejut dan akhirnya menarik jaket Pian kuat-kuat.
"Katanya bukan muhrim...." ledek Pian.
"Bawel!" Pika menyembunyikan wajahnya dari balik pundak Pian yang kokoh.
SALAM MAK PIAN