Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Menginginkan Lagi
...•••...
Pagi masih enggan beranjak dari kelembutan malam ketika Hayaning menggeliat pelan di dalam dekapan Ben. Tubuh pria itu hangat, seperti perapian yang nyaman di tengah udara dingin.
"Penyatuan pagi, I want you again."
Suara berat Ben menyelinap ke telinganya, menggoda dengan nada penuh arti.
Hayaning mendesah pelan. "Ben..."
Tanpa peringatan, pria itu menariknya, membuat tubuh mereka semakin dekat. Dengan satu gerakan ringan, Hayaning kini berada di atasnya, matanya bertaut dalam tatapan yang membuat napasnya tertahan sesaat.
"Oh, meresahkan. Kamu sangat memesona, Haya. Saya tidak berbohong kalau bilang pemandangan ini adalah yang paling indah di pagi hari."
Pipi Hayaning merona, tak mampu menyembunyikan rasa malu yang merayapi dirinya. Ben selalu tahu cara menggoda dengan kata-kata yang tak terduga.
Tawa kecil keluar dari bibir pria itu, lalu tangannya meluncur ke pinggang Hayaning, menariknya hingga kepalanya terjatuh di atas dada bidangnya.
"Cium saya," bisik Ben, suaranya bergetar di antara detak jantungnya yang tenang.
"Tidak!"
Ben menaikkan sebelah alisnya. "Oh? Tidak mau?"
Senyuman jahil itu muncul di wajahnya sebelum ia mulai menggelitik pinggang Hayaning, membuat perempuan itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Ben! Hentikan!" serunya, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu yang terlalu kuat.
"Saya tidak mendengar kata ‘tolong’," goda Ben santai.
Hayaning menggigit bibirnya, mencoba mendorong dada pria itu, tetapi Ben justru semakin mempererat pelukannya.
"Kalau tidak mau cium saya, saya tidak akan berhenti," ancamnya ringan, masih dengan nada main-main.
"Aku tidak mau!"
Namun, tawa Hayaning semakin pecah saat Ben kembali menyerang pinggangnya dengan jemarinya yang tak kenal ampun.
"Saya kasih kesempatan terakhir, Little Rose," bisik Ben di telinganya, suaranya mengandung nada menggoda yang dalam. "Cium saya atau saya akan lanjutkan sampai kamu menyerah?"
Hayaning terengah, napasnya naik-turun. Matanya menatap Ben dengan kesal yang tak sungguh-sungguh.
"Kamu licik," gumamnya.
Ben mengangkat bahu, tersenyum penuh kemenangan. "Saya hanya tahu cara mendapatkan apa yang saya mau."
Dan tanpa menunggu lebih lama, ia menarik wajahnya lebih dekat, membiarkan napas mereka saling bertautan dalam jarak yang begitu intim.
Namun, ketika bibir mereka bersentuhan, Hayaning tiba-tiba menjauhkan dirinya.
"Jangan serakah, Tuan Benjamin," bisiknya dengan nada menggoda.
Ben menghela napas, lalu membiarkannya berbaring di dadanya. Ia mengusap punggung Hayaning dengan gerakan lembut.
"Aku mau tanya sesuatu," ujar Hayaning tiba-tiba.
"Hmm?"
Perempuan itu menarik napas panjang sebelum bertanya, "Ben, tubuhmu banyak luka. Apa kamu selalu suka menantang maut?"
Ben terdiam sesaat, menatap langit-langit dengan ekspresi yang sulit ditebak. Jemarinya masih menelusuri punggung Hayaning dengan sentuhan pelan.
"Menantang maut, ya?" gumamnya, sedikit terkekeh. "Terdengar keren, tapi saya tidak pernah ingin menantang maut."
Hayaning mengangkat kepalanya, menatapnya dengan alis bertaut. "Lalu? Luka-luka ini dari mana?"
Jarinya menyentuh bekas luka samar di sisi perut Ben, lalu berpindah ke bekas goresan tipis di lengannya.
Ben mengusap wajah cantik nya, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.
"Ada banyak alasan," katanya akhirnya. "Pekerjaan saya bukan pekerjaan yang aman. Dan saya bukan tipe orang yang bisa diam saja ketika sesuatu terjadi."
"Kamu selalu menempatkan diri dalam bahaya?"
Ben menoleh, sudut bibirnya terangkat dalam seringai kecil. "Kalau itu demi melindungi orang yang saya pedulikan, mungkin iya."
Hayaning menggigit bibirnya, ada sesuatu yang berat dalam jawaban itu.
"Dan itu termasuk aku?" tanyanya pelan.
Ben menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menempelkan dahinya ke kening Hayaning.
"Sejak awal, Hayaning. Memang itulah pekerjaan saya."
Hayaning menggenggam lengan Ben, mengingat bekas luka panjang yang terukir di bahunya. "Tapi aku masih penasaran... luka yang di bahumu, bagaimana bisa kamu dapatkan?"
Senyuman Ben sedikit memudar. Ia menghela napas, lalu mengusap bibir Hayaning dengan jemarinya.
"Cambukan dari Eyang Kakung," jawabnya tanpa ragu.
Hayaning membelalakkan mata. "Ke-kenapa?"
Ben tertawa kecil, melihat ekspresi cemas di wajah perempuan itu.
"Eyang Kakung saya memang keras," ujarnya, mengusap garis rahang Hayaning dengan lembut. "Tapi bukan dalam arti buruk."
Hayaning masih menatapnya penuh tanya. "Maksudmu?"
Ben menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar lebih berat.
"Saya besar dalam lingkungan yang disiplin. Kalau saya buat kesalahan, saya harus menanggung akibatnya. Itu salah satu hukum di keluarga saya."
Hayaning menatapnya, ekspresinya tidak bisa dijelaskan.
"Lalu, apa yang kamu lakukan sampai dihukum begitu?"
Ben terdiam sejenak, lalu tersenyum miring.
"Saya memberontak. Melawan aturan. Saya tidak suka dikendalikan, dan saya pikir saya bisa menentukan jalan sendiri."
Hayaning mengerutkan kening. "Dan itu membuatmu dihukum?"
Ben menatapnya dalam, sebelum mengangkat bahu. "Di keluarga saya, harga dari kebebasan adalah luka. Tapi saya tidak menyesal."
Hayaning mendesah pelan. "Salah satunya karena apa?"
Ben tersenyum kecil, menikmati bagaimana perempuan ini selalu punya rasa ingin tahu yang besar.
"Saya pasang tato," ujarnya santai. "Kamu lihat sendiri kan, sebesar apa terpasang di tubuh saya?"
Hayaning mengangguk pelan. "Kamu bandel banget ya, ternyata."
"Ya."
"Tapi kamu tidak pernah kasar kepada perempuan," nilai Hayaning.
Ben terkekeh rendah. "Well, saya bukan malaikat. Saya bisa jadi jahat kalau situasinya menuntut, tapi tidak dengan perempuan yang tahu caranya bersikap." Jemarinya mengangkat dagu Hayaning, membuatnya menatap langsung ke matanya. "Dan kamu, Hayaning, adalah perempuan yang cukup pintar untuk tahu batasannya."
"Tapi kalau aku melanggar batas?" tantangnya pelan.
Ben menyeringai, matanya berkilat penuh misteri. "Kita lihat nanti."
Hayaning mendengus, tapi pipinya justru semakin merona.
"Ah sudahlah, aku mau mandi. Lengket banget."
Hayaning berusaha bangkit dari ranjang, tetapi Ben menahannya dengan satu tangan. "Saya masih betah begini," ujarnya santai.
"No! Aku mau mandi, titik." Hayaning melotot tajam, memasang ekspresi sarkastik yang malah membuat Ben tertawa kecil. Namun, akhirnya ia melepaskannya, ingin melihat bagaimana perempuan itu akan berjalan setelah semalaman digilas olehnya.
Begitu Hayaning meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, Ben kembali menahannya. "Saya kedinginan. Sudah, jalan saja. Lagipula, saya sudah melihat semua inci tubuhmu tanpa tersisa."
Hayaning mendelik kesal. "Pelit!" Dengan mendengus, ia menepis tangan Ben, lalu turun dari kasur. Namun, belum sempat melangkah jauh, kakinya yang terasa lemas mendadak kehilangan keseimbangan, membuatnya hampir terjatuh kembali ke atas ranjang.
Ben tersenyum miring. "Apa Nona perlu bantuan?"
"Ngga!" jawabnya ketus.
Dengan susah payah, Hayaning akhirnya berhasil berdiri tegak. Ia mulai berjalan perlahan menuju kamar mandi, tanpa repot-repot menutupi tubuh nya.
Ben menggigit bibirnya, berusaha menahan godaan yang semakin menjadi-jadi. "Oh, fuck."
Tak tahan lagi melihat cara Hayaning berjalan yang terhuyung-huyung dengan sisa-sisa gelora tadi malam, Ben pun bangkit, menyibak selimutnya, lalu dengan cepat menarik tubuh perempuan itu dan mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi bersamanya.
Ben bergerak cepat, menekan tubuh Hayaning ke dinding kaca kamar mandi. Tubuhnya yang lebih besar menjebak perempuan itu di antara lengannya yang kokoh, membuatnya tak bisa bergerak ke mana-mana.
"Ben...!" Suara Hayaning nyaris tercekat, napasnya memburu ketika merasakan dada bidang pria itu menempel erat di puggungnya.
Ben menunduk, bibirnya berbisik tepat di telinga Hayaning. "Kamu tahu, saya selalu punya cara untuk membuatmu tetap di sini."
Tangannya meluncur pelan, menelusuri pingging ramping Hayaning, menciptakan sensasi yang membuat perempuan itu menegang seketika.
"Ben, kita harus mandi..." protes Hayaning dengan suara yang nyaris melemah.
Ben terkekeh, napasnya menggelitik kulit leher Hayaning. "Tentu saja, Sayang... Kita memang akan mandi."
Namun, dari cara pria itu menatapnya melalui pantulan kaca, Hayaning tahu bahwa ‘mandi’ bukan satu-satunya hal yang ada di kepala Ben saat ini.