NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji Terlarang di Atas Ranjang

Malam itu rumah Paman Arman terasa berbeda. Lampu-lampu halaman menyala lebih terang, seolah menyoroti setiap langkah Arga yang perlahan menyusuri jalan setapak menuju pintu utama. Jantungnya berdetak cepat, menahan campuran rasa waswas dan penasaran tentang apa yang akan dibicarakan pamannya.

Begitu pintu terbuka, aroma khas rumah mewah menyambutnya. Wewangian ruangan yang mahal dan suasana dingin dari AC menyapu kulitnya. Di ruang tamu, Paman Arman duduk tenang dengan segelas wine di tangan, mengenakan setelan rumah yang elegan, kaus putih tipis dan celana kain hitam yang menyatu sempurna dengan posturnya yang masih terjaga di usia kepala empat.

“Duduklah, Ga,” ujar Arman tanpa senyum.

Arga duduk, menjaga ekspresi setenang mungkin. Matanya menatap pria yang selama ini ia hormati... pamannya, bos besar yang disegani banyak orang, sekaligus... pria yang telah menyimpan wanita yang kini mengisi hidup Arga dengan cinta dan dosa.

“Kau tahu, selama ini aku bangga padamu,” ucap Arman, mengaduk wine-nya perlahan. “Kau tidak pernah membuat masalah. Fokus kuliah, hidup bersih... atau setidaknya, kelihatannya begitu.”

Arga menelan ludah. Suasana makin mencekam.

“Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada yang berubah. Kau sering menghilang, terlihat gelisah, dan... dari sumberku, bahkan pernah terlihat dengan seorang wanita.”

Arga membeku. “Kalista?”

Arman mengangkat alis. “Menarik. Jadi kau tahu siapa yang kumaksud.”

Diam.

“Kalista,” lanjut Arman dengan senyum samar. “Cantik, bukan? Lembut, liar, dan... sangat memuaskan.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Arman seperti pisau yang menggores telinga Arga. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia harus menahan diri.

“Paman... hubungan kalian, apa hanya sebatas... itu?”

Arman menatap Arga lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Kalista bukan wanita biasa. Dia tahu cara memanjakan pria. Tapi dia juga terlalu pintar untuk hanya jadi boneka. Dia bisa membuat pria tergila-gila.”

Arga mengepalkan tangan. “Dan... bagaimana kalau saya bilang, saya juga tergila-gila padanya?”

Keheningan menggantung. Arman menatap tajam keponakannya, matanya menyipit.

“Arga... kau bercanda?”

“Saya serius. Saya mencintainya.”

Arman berdiri pelan, meletakkan gelas wine-nya di meja. “Kau tahu konsekuensinya?”

Arga ikut berdiri. “Saya tahu ini salah. Tapi saya nggak bisa pura-pura nggak merasa apa-apa. Setiap kali saya bersama dia... saya merasa hidup.”

“Kalista milikku, Arga,” desis Arman, suaranya dingin seperti es. “Aku yang membesarkan dia dari nol, yang membiayai hidupnya, memberikan segala kenyamanan yang dia punya. Kau pikir dia mencintaimu seperti itu?”

Arga maju selangkah. “Saya nggak peduli. Kalau pun dia awalnya nggak cinta, biar saya yang membuat dia jatuh cinta.”

Arman menatapnya tajam, lalu mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Kalau kau lanjutkan ini... kau akan melawan aku, Arga. Dan melawan aku, artinya kau kehilangan segalanya.”

Namun, Arga tidak gentar. “Saya lebih baik kehilangan segalanya... daripada hidup tanpa Kalista.”

Arman mendesis pelan, lalu memutar tubuh dan berjalan menjauh. “Baik. Tapi ingat, keputusanmu malam ini akan mengubah segalanya.”

Tanpa menunggu, Arga berbalik dan keluar dari rumah itu. Langit malam di atasnya gelap, tapi hatinya lebih mantap dari sebelumnya. Ia tahu jalannya penuh duri, tapi cinta yang ia perjuangkan terlalu kuat untuk dikubur dalam diam.

Sesampainya di apartemen, ia membuka pintu dengan tangan gemetar. Kalista sedang duduk di sofa, masih mengenakan kemeja putihnya yang kebesaran milik Arga.

“Kamu dari rumah Paman?” tanyanya pelan.

Arga mengangguk. “Dia tahu.”

Kalista pucat. “Lalu?”

“Dia memperingatkanku. Tapi aku tetap pilih kamu.”

Kalista menatap Arga lama, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah mendekat. Ia menggenggam wajah Arga dengan kedua tangan, bibirnya bergetar.

“Kenapa kamu sebodoh ini?”

Arga menariknya ke pelukan. “Karena cinta nggak butuh alasan.”

Malam itu, mereka kembali menyatu di ranjang yang sudah menjadi saksi dari ribuan desahan dan sentuhan. Namun kali ini berbeda. Tidak hanya tubuh yang menyatu, tapi juga janji—janji terlarang yang mereka ucapkan di tengah gelap, di antara napas yang tertahan dan harapan yang hampir mustahil.

Kalista berbaring menyamping, tubuhnya masih dibalut selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan lekuk tubuh yang baru saja dimiliki Arga sepenuhnya. Matanya menatap langit-langit, sementara jari-jarinya bermain pelan di dada Arga yang berbaring di sebelahnya, menatap kosong ke arah langit-langit juga.

"Kalau saja semua ini bisa sederhana," bisik Kalista, nyaris seperti angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela.

Arga menarik napas dalam-dalam. "Tapi hidup kita memang nggak pernah sederhana, Lis. Kita hidup di bawah bayang-bayang seseorang yang terlalu kuat, terlalu menguasai segalanya."

“Arman tidak akan melepaskanku begitu saja,” katanya lirih.

"Aku tahu," jawab Arga sambil menggenggam tangan Kalista dan menciumnya pelan. "Tapi kali ini, aku nggak akan mundur."

Kalista berbalik menatapnya. "Kamu akan kehilangan segalanya, Ga. Nama baik keluarga kamu, beasiswa kamu, mungkin bahkan keluargamu sendiri."

"Yang aku takut kehilangan cuma kamu," jawab Arga pelan tapi tegas. “Kalau kamu pergi... aku hancur.”

Kalista menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang mengaduk dalam dadanya. Ia tahu ia bukan gadis suci. Ia tahu dirinya telah masuk ke dunia Arga melalui jalan belakang yang kotor melalui tubuh, bukan cinta. Tapi kini, tubuh itu telah mengikat hati mereka terlalu dalam.

"Kalau kita kabur, kamu siap?" tanya Kalista akhirnya. "Keluar dari semua ini? Hidup sederhana, nggak punya apa-apa, mungkin dikejar-kejar?"

Arga menatapnya dalam. "Asal bersamamu, aku bisa hidup di mana saja."

Tiba-tiba Kalista duduk, menarik napas panjang, dan menatap Arga dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Aku pernah mencoba kabur sebelumnya,” bisiknya. “Satu tahun yang lalu. Tapi aku gagal. Arman menemukanku. Dia... dia nggak pernah memperlakukan aku seperti manusia lagi setelah itu.”

Arga terduduk kaget. “Dia nyakitin kamu?”

Kalista mengangguk pelan, lalu membuka sisi pinggangnya, memperlihatkan bekas luka tipis yang samar namun nyata. Arga membeku. Tangannya mengelus luka itu dengan gemetar, matanya dipenuhi amarah.

“Aku bakal lindungi kamu, Lis. Sekarang... dan selamanya.”

Kalista membungkuk, mencium kening Arga dengan lembut. “Kalau begitu... kita harus pergi besok.”

“Pergi ke mana?”

“Kota kecil. Di luar Jawa. Kita cari kontrakan, kerja serabutan. Yang penting, dia nggak bisa sentuh kita.”

Arga mengangguk. “Aku siap.”

Malam itu, mereka tidak tidur. Mereka berdua duduk bersandar di dinding kamar, membicarakan rencana kabur, membayangkan hidup yang sederhana tapi penuh kebebasan. Tidak ada mobil mewah, tidak ada pesta, tidak ada kebohongan.

Hanya ada mereka.

Namun, di luar apartemen yang tenang itu, seseorang telah mengamati sejak lama. Seorang pria bertubuh tegap dalam mobil hitam berpelat gelap, memantau dari kejauhan dengan mata dingin dan wajah penuh perhitungan.

“Dia memilih untuk melawan,” gumam pria itu sambil menekan tombol di earphone-nya. “Sampaikan pada Pak Arman. Waktunya mempercepat rencana.”

Di dalam kamar, Kalista akhirnya tertidur di pelukan Arga. Lelaki itu masih terjaga, matanya menatap malam yang kelam melalui jendela. Ada ketakutan, ada keberanian, dan ada cinta yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Apapun yang terjadi... aku nggak akan biarkan dia menyentuhmu lagi,” bisiknya pelan, seraya mempererat pelukannya.

Matahari belum sepenuhnya terbit saat Arga dan Kalista bangun. Tanpa banyak bicara, mereka berkemas dalam diam bukan karena ragu, tetapi karena tegang. Setiap detik terasa begitu berharga, setiap suara kecil di luar kamar membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kalista menutup koper kecilnya, hanya membawa baju secukupnya, beberapa dokumen, dan satu bingkai foto kecil: ia dan Arga tertawa di sebuah kafe sebulan lalu.

“Siap?” tanya Arga sambil mengenakan jaket.

Kalista mengangguk, lalu meraih tangan Arga dan menggenggamnya erat. “Kalau ini hari terakhir kita bebas, aku nggak nyesel sedikit pun.”

Mereka turun menggunakan lift, jantung mereka berdebar setiap kali pintu terbuka di tiap lantai. Setibanya di lobi, semuanya tampak biasa. Tidak ada yang mencurigakan. Sampai Arga membuka pintu lobi utama.

Dua pria berbadan besar berdiri di luar, mengenakan pakaian hitam dan kacamata gelap. Kalista langsung berhenti melangkah. Arga memutar badan, menarik tangan Kalista, dan mencoba mencari pintu keluar belakang.

Namun suara berat yang familiar menggema dari arah tangga darurat.

“Mau kabur ke mana, Arga?”

Langkah mereka membeku. Kalista perlahan menoleh dan menemukan sosok yang begitu dikenalnya berdiri di tangga, mengenakan setelan abu-abu rapi, dasi hitam, dan senyum dingin yang membuat darahnya membeku.

Arman.

“Kukira kau cukup cerdas untuk tidak bermain api dengan milikku sendiri,” ucap Arman, menuruni tangga dengan tenang.

“Dia bukan milikmu!” teriak Arga, suaranya penuh kemarahan.

Arman tertawa pelan. “Semuanya adalah milikku ketika aku membelinya, Arga. Termasuk wanita ini.”

Kalista menunduk, tetapi tangannya menggenggam tangan Arga lebih erat.

“Kami tidak akan kembali,” ujar Kalista dengan suara bergetar tapi penuh keteguhan.

Arman berhenti tiga langkah dari mereka, menatap Kalista lekat-lekat. “Aku memberimu segalanya, Kalista. Apartemen, perhiasan, hidup mewah. Dan kau membalasnya seperti ini?”

Arga berdiri di depan Kalista, melindunginya. “Dia bukan barang, Paman. Dan dia punya hak untuk memilih.”

Senyum Arman perlahan menghilang. “Kau pikir kau bisa melindunginya dariku? Dunia ini milikku, Arga. Semua yang kau punya... aku bisa hancurkan dalam semalam.”

Kalista maju selangkah. “Kalau memang hidup ini harus dipertaruhkan, biarlah. Tapi aku nggak akan jadi bonekamu lagi, Arman.”

Arman menatap keduanya, lalu memberi isyarat halus ke dua pria bertubuh besar di belakang Arga. Mereka mendekat, siap meringkus.

Tapi tiba-tiba suara sirene polisi terdengar dari luar. Tiga mobil patroli berhenti di depan lobi apartemen. Salah satu pria keamanan gedung menghampiri mereka dengan tergesa.

“Maaf Pak Arman... polisi bilang mereka dapat laporan pengintaian ilegal dan penculikan. Mereka ingin bicara dengan Anda.”

Arman menatap tajam ke arah Arga, yang hanya tersenyum samar.

“Aku nggak sebodoh yang kau kira,” ucap Arga. “Tadi malam aku lapor polisi, lengkap dengan rekaman suaramu waktu Kalista cerita tentang semua perlakuanmu.”

Arman mencengkeram rahangnya, namun mencoba tetap tenang. Polisi mulai masuk ke lobi, berbicara sopan namun tegas, meminta Arman untuk ikut ke kantor. Arman menatap Kalista satu kali lagi, dengan mata penuh amarah.

“Kau belum menang.”

“Tapi kami juga belum kalah,” jawab Kalista mantap.

Setelah Arman dibawa polisi, Arga dan Kalista keluar dari lobi, menuruni tangga dengan langkah gemetar. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka bisa bernapas lega.

Langit pagi tampak cerah. Matahari mulai menembus celah awan, menyinari jalan yang kini terbuka di hadapan mereka.

“Ayo,” ucap Arga, menarik tangan Kalista. “Kita mulai hidup baru.”

Kalista tersenyum. “Di mana pun asalkan bersamamu... aku siap.”

Mereka masuk ke dalam taksi yang telah menunggu sejak semalam, dan pergi menjauh dari kota yang penuh kenangan, luka, dan rahasia.

Menuju masa depan yang tak pasti, tapi bebas dan bersama.

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!