Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Bukan Sekadar Mirip
Sejak hari itu, Jordan justru semakin penasaran. Sampai akhirnya dia kembali dipertemukan oleh Laura, Noah, dan Leon. Jordan sengaja mengadakan pertemuan keluarga pada hari jadi perusahaan. Langkah kaki Jordan terhenti begitu saja di venue tempat acara akan berlangsung.
Mata Jordan membeku pada satu titik. Seolah dunia sekelilingnya tiba-tiba menjadi sunyi dari gelak tawa, ucapan selamat, hingga musik yang mengalun pelan. Di seberang tempat dia berdiri, kini Laura tampak cantik dalam balutan gaun krem, rambutnya dikuncir rendah, posturnya masih sama seperti dulu.
Namun, bukan itu yang membuat jantung Jordan terhenti. Di sebelah Laura berdiri Noah yang sedang tersenyum hangat, dia menatapnya seolah mereka berbagi rahasia yang tak bisa ditembus orang luar. Dari kejauhan terlihat Leon yang melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Jordan.
"Mama, siapa paman itu?" tanya Leon dengan polos sambil menunjuk Jordan yang berdiri berseberangan dengan mereka.
"Dia Pak Jordan, bosnya mama."
Tiba-tiba Leon melepaskan genggaman tangannya pada jemari Laura. Dia langsung berlari mendekati Jordan dan berdiri tepat di hadapannya. Sebuah senyum lucu kini terukir di bibir bocah tersebut.
“Paman Jordan!” seru bocah itu tiba-tiba.
Jordan menunduk, bingung. “Siapa namamu, Nak?”
Sebelum bocah itu menjawab, Laura sudah melangkah cepat dan memeluk si kecil dari belakang. “Leon, sayang, jangan berlari sembarangan.”
“Maaf,” ucap Laura sambil tersenyum tipis ke arah Jordan.
"Jadi, namanya Leon?" tanya Jordan sambil tersenyum ke arah bocah laki-laki tersebut.
Laura terdiam, tidak membalas. Namun, sorot matanya penuh kehati-hatian. Jordan bisa merasakannya, ada sesuatu yang disembunyikan.
Terutama ketika Jordan memerhatikan wajah bocah itu lebih dekat. Mata Leon seperti miliknya sendiri. Terlebih ketika melihat senyum manisnya.
"Sebagai ayah dari Leon, saya minta maaf, Pak." Noah mengulurkan tangannya kepada Jordan.
"Ayah?"
Kalimat yang keluar dari bibir Noah seakan menikam Jordan dengan pelan, tetapi sangat dalam. Dia membalas jabatan tangan Noah secara otomatis, matanya masih menelusuri Laura. Laura hanya tersenyum canggung.
Jordan perlahan melepaskan genggamannya dari tangan Noah. Kini dia berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Leon. Dia tersenyum tipis kepada bocah laki-laki tersebut.
“Berapa umurmu, Leon?”
“Enam setengah tahun, Paman!” jawab Leon antusias.
Otaknya langsung berpikir keras usai mendapatkan jawaban dari Leon. Jordan menelan ludah. Tangannya mengepal di samping tubuh, dan tiba-tiba semua detail menjadi penting, warna mata anak itu, bentuk alis, garis rahang kecilnya.
---
Sepulang dari pesta, Laura berdiri di balkon apartemen kecilnya, menatap langit Jakarta yang tak pernah benar-benar gelap. Leon sudah terlelap di dalam kamarnya. Namun, pikiran Laura masih kacau.
Perempuan tersebut masih berpikir keras karena Leon tampak mulai penasaran dengan Jordan. Terlebih setelah pertemuan kedua antara mereka. Leon terus banyak bertanya tentang Jordan dan membandingkan banyak hal tentang lelaki itu dengan dirinya.
“Leon tak boleh terlalu dekat dengan Jordan,” gumam Laura.
Laura masuk ke kamar dan memandangi putranya yang tengah tidur lelap, napasnya pelan. Namun, tiba-tiba Leon membuka mata. Dia menatap sang ibu dengan tatapan polos.
"Mama, kenapa Paman Jordan terlihat sangat mirip denganku? Apakah kita bersaudara dengan Paman Jordan? Jika aku sudah besar, apakah akan setampan Paman Jordan?" tanya Leon dengan polosnya.
Bocah itu tak berdosa. Dia hanya ingin tahu, ingin dekat dengan orang yang secara naluriah terasa familiar. Namun, Leon tak boleh tahu.
Tidak sekarang. Tidak setelah Laura membangun semuanya dari awal, menyembunyikan aib masa lalu, dan membentuk hidup baru yang tenang untuk anaknya. Laura duduk di tepi ranjang, membelai rambut Leon.
“Pak Jordan cuma bos mama di kantor.”
“Kenapa dia sangat mirip sama aku, Ma?" tanya Leon sambil menautkan kedua alisnya.
Jantung Laura mencelus. Dia baru menyadari kalau putranya sudah tumbuh menjadi pribadi yang sangat teliti dengan rasa ingin tahu tinggi. Laura pun memutar otak dan akhirnya menjawabnya dengan asal.
“Kalian mirip karena sama-sama suka main game."
"Lalu, kenapa tadi Paman Noah mengatakan kalau dia ayahku? Kenapa paman berbohong?" protes Leon.
Kini bibir Laura menganga tanpa mengeluarkan suara. Dia tak habis pikir kalau ternyata Leon se-kritis itu. Kali ini dia akan melimpahkan semuanya kepada Noah.
"Mama juga tidak tahu. Bagaimana kalau besok Leon tanya langsung kepada paman kenapa dia berbohong!" Laura memaksakan senyumnya dan berusaha mengakhiri percakapan malam itu.
---
Keesokan harinya, Jordan duduk di ruangannya yang luas sambil memandangi layar laptop dengan pikiran yang tak bisa fokus. Dia memutar ulang setiap detik pertemuan semalam di benaknya.
Wajah Laura yang tegang, suara Noah yang mengklaim diri sebagai ayah, dan terutama mata Leon yang seperti mencerminkan masa lalu Jordan sendiri. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.
Jika anak itu benar milik Jordan, kenapa Laura tak pernah menghubungi. Bahkan satu pesan pun tak pernah datang. Dia ingat malam itu, ketika Laura datang di waktu yang tidak tepat. Tiba-tiba menghilang setelahnya, seakan sengaja pergi membawa anaknya menjauh.
Jordan tak bisa menahan diri lagi. Dia menekan tombol interkom. “Panggil Laura ke ruanganku. Sekarang.”
Tak lama kemudian Laura datang dan berdiri kaku di depan pintu kaca ruangan Jordan. Dia menarik napas panjang sebelum mengetuk dan masuk. Jordan duduk dengan tangan terlipat di depan dada, wajahnya tenang, tetapi matanya tajam.
“Aku ingin tahu yang sebenarnya mengenai Leon,” kata Jordan tanpa basa-basi. “Tentang anak itu.”
Laura menggigit bibir bawahnya. “Apa yang ingin kamu ketahui tentang Leon?”
“Apa dia anakku? Apakah dia anak kita? Wajahnya ....”
“Bukan. Jordan, tolong. Jangan paksakan sesuatu hanya karena mirip. Kamu sudah punya hidupmu, dan aku juga. Jangan ganggu apa yang sudah aku bangun.”
Jordan berdiri dan melangkah mendekat. “Kalau dia benar anakku, kamu pikir aku akan diam saja? Kamu menyembunyikan ini selama tujuh tahun?”
“Kamu sudah salah paham!" Suara Laura meninggi.
"Lalu, kenapa kamu tiba-tiba menghilang?" Kini suara Jordan mengimbangi Laura yang sedang diselubungi oleh emosi.
“Saat aku pergi ke apartemenmu malam itu, dan mendapati kamu bersama Leysha, hatiku sangat hancur! Apakah alasan itu tidak cukup untuk aku meninggalkan kamu, Jordan?"
Jordan mengerjap. “Aku ... itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Sudah terlambat, Jordan. Aku pergi karena tahu kamu tidak pernah serius denganku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk hidup tanpa bayang-bayangmu!”
Mereka saling menatap, napas keduanya cepat. Suasana ruang itu terasa seperti bom waktu.
“Aku ingin tahu kebenarannya,” kata Jordan akhirnya, dengan nada lebih lembut. “Jika dia anakku, aku punya hak untuk tahu.”
Laura menunduk, air mata menggenang. “Tolong jangan hancurkan dunia kecilku, Jordan. Itu saja yang kupinta.”
Di luar ruangan, Noah berdiri diam, mendengarkan sepenggal percakapan dari balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Tangannya mengepal. Rahasia yang selama ini dilindungi Laura, tampaknya tak akan bisa tersembunyi lebih lama.