NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 7: dr. Sofia Valentine

Tiiin…! Tiiin…! Tiiin…! Yak, para pembaca sekalian, silahkan nikmatilah simfoni jalanan kota Andawana yang begitu sibuk di siang hari ini. Di sisi kanan dan kiri jendela mobilku bisa terlihat dengan jelas tidak ada sedikitpun celah untuk keluar dari kemacetan ini. Kalian mau tahu sumber kemacetannya apa? Maka, dengarkan ini baik-baik.

Menurut berita lokal di internet, kemacetan ini terjadi karena ada proyek pengaspalan jalan di simpang utara Kota Andawana. Wow! Entah kenapa aku nggak kaget lagi mendengar tindakan bodoh pemerintah kota ini. Maksudku, ngapain kalian ngaspal jalan di tengah hari kayak gini pas orang-orang lagi pada keluar buat nyari makan siang? Ada-ada aja kelakuan kalian ya, dasar orang-orang dongo!

Ya sudahlah, yang penting sedikit lagi aku akan memasuki perumahan Dahayu Permai, dimana klinik dr. Sofia berada. Hari ini aku sengaja tutup lebih awal karena punya janji konsultasi dengan beliau. Tapi, sepertinya aku harus minta maaf saat pertemuan kami nanti gara-gara terlambat datang berkat kemacetan ini.

Begitu para mobil di sekitar sudah mulai bergerak, aku langsung memotong ke lajur kiri, meski mobil lain di belakangku pada marah-marah dengan klaksonnya. Lalu lintas yang tadinya diam mematung, sekarang sudah bergerak perlahan-lahan. Akhirnya, aku bisa memasuki lingkungan perumahan Dahayu Permai yang berada kurang lebih 100 meter dari tempatku barusan.

Seperti perumahan elit pada umumnya, situasi di sini begitu tentram dengan sistem one-gatenya. Rumah-rumah di sekitar tampak seragam dan berdiri megah dengan 3 lantai yang menjulang. Intinya, komplek perumahan ini adalah tempat tinggal idaman bagi seluruh insan di negeri ini.

Setelah muter-muter selama beberapa menit, akhirnya aku sampai di depan klinik dr. Sofia. Sama seperti diriku, beliau kayaknya mengalihfungsikan lantai satu rumahnya sebagai tempat kerja, sementara lantai dua dan tiganya difungsikan sebagai tempat tinggal. Itu adalah sebuah langkah yang bagus di tengah tingginya biaya sewa bangunan di Ibu Kota Andawana.

Begitu turun dari mobil, aku langsung berjalan ke depan pintu rumahnya untuk bertemu dengan dr. Sofia. Tapi, setelah memencet tombol bel rumahnya berkali-kali, tidak ada satupun orang yang muncul untuk menyambutku. Agak aneh, ya. Padahal, aku cuma telat 9 menit doang.

“Tapi saya kan sudah bayar lunas!” Tiba-tiba, dari arah samping, terdengar suara teriakan wanita yang begitu melengking.

“Saya mengerti, tapi kami berjanji akan menggantinya dengan satu unit rumah yang sama di blok lain.” Kemudian, terdengar lagi suara berat seorang pria yang membalas ocehan wanita itu.

“Nggak bisa! Saya udah bayar mahal untuk unit yang ini, tahu!” Karena penasaran, aku langsung berjalan ke sumber suara itu untuk melihat apa yang terjadi.

Di balik tembok rumah dr. Sofia yang langsung bertemu dengan trotoar jalan, aku melihat seorang wanita sedang berdebat dengan seorang pria botak. Wanita itu memiliki postur tubuh yang pendek, rambut berwarna coklat, dan mengenakan jas berwarna putih. Kalau dilihat dari ciri fisiknya, wanita itu pasti adalah dr. Sofia karena aku sempat melihat foto profilnya saat bikin janji online kemarin malam.

Sementara, sang pria botak memakai mantel kulit hitam dengan panjang sampai ke lutut. Tampangnya garang seperti preman dengan bekas luka sayatan yang menghiasi pipinya

“Hei, hei! Ada apa ini?!” Bentakku sambil berjalan mendekat untuk melerai cekcok mereka berdua, karena aku nggak pengen waktu konsultasi yang berharga ini semakin terpotong lagi.

“U-Uh… N-Nggak ada, ini cuma permasalahan pribadi aja.” Balas pria botak itu dengan terbata-bata.

“Oh, ya? Tapi aku punya janji untuk konsultasi dengan dr. Sofia yang sedang kau ajak debat itu. Jadi, pergi kau jauh-jauh!” Balasku dengan nada yang semakin ganas.

...***...

Setelah menyelesaikan keributan tadi, aku langsung disambut hangat oleh dr. Sofia untuk melakukan konsultasi. Jujur, sampai sekarang aku masih nggak tahu apa duduk permasalahan dari pertikaian mereka. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa juga aku memperdulikan hal itu. Yang penting, sekarang aku akan mendapatkan sesi konsultasi sesuai dengan janji kita berdua.

Saat sudah berada di ruangan, aku diminta untuk merebahkan badan di sebuah sofa panjang yang empuk. Semetara itu, dr. Sofia duduk di seberangku sembari membawa sebuah clipboard kayu yang berisi kertas kerjanya. Entah kenapa, suasana ruangan ini begitu nyaman, hingga membuatku merasa ingin tidur saat ini.

“Makasih banyak, ya, udah bantu nyelesaiin perkara tadi. Aku jadi merasa nggak enak gara-gara ngerepotin pasien karena masalah pribadiku.” Ucap dr. Sofia, sambil melemparkan senyuman hangat. Dia juga sedikit membungkukkan badannya, seakan menunjukkan permohonan maaf yang mendalam.

“Ah, nggak masalah, dok. Jadi, bisa kita mulai sesi konsultasinya?” Balasku dengan nada yang dibuat seramah mungkin.

“Tentu! Silahkan ceritakan masalah yang kamu hadapi. Aku akan mendengarkannya dengan baik.” Kata dr. Sofia dengan nada yang ceria dan ramah, sambil menopang dagu dengan tangannya.

“Oke, jadi gini, dok. Belakangan ini, aku sering ngalamin halusinasi parah tentang mendiang istriku. Yang paling baru, dia tiba-tiba muncul di rumah dan ngegoda aku kayak biasanya. Bahkan, sentuhan tangannya itu terasa benar-benar nyata, dok.” Jelasku dengan nada datar.

“Udah dari kapan kamu ngalamin ini?” Tanyanya sambil terlihat menulis sesuatu di atas kertasnya.

“Kejadian pertamanya itu waktu tanggal 15 kemarin, pas aku lagi ngukur tanah di Sentawar.” Jawabku terhadap pertanyaannya itu.

“Wah, udah lumayan lama, ya…” dr. Sofia terlihat menulis sesuatu lagi di kertasnya. “Oke, kayaknya sesi konsultasi ini bakal berlangsung agak lama. Apa kamu nggak masalah dengan hal itu?” Tanyanya lagi untuk meminta konfirmasiku.

“Nggak apa, dok. Aku udah ngeluangin banyak waktu untuk konsultasi ini.”

“Baiklah, kalau gitu, mari kita lanjut dengan pertanyaan yang lebih mendalam.”

...***...

Setelah konsultasi yang memakan waktu satu jam lebih, aku akhirnya dipersilahkan untuk pulang dan beristirahat. Diagnosa awal beliau, halusinasi ini disebabkan karena ada bagian dalam diriku yang masih sedih akibat kematian Felicia. Ditambah lagi, aku memaksakan diri untuk bekerja di tengah kondisi psikologis yang masih buruk. Sehingga, perlahan-lahan, aku jadi mengalami depresi yang bisa dikategorikan berat.

Agar penyakit ini nggak mengganggu kegiatan sehari-hari, dr. Sofia memberikan sebuah pil khusus yang harus diminum setelah sarapan dan juga makan malam. Obat ini harus tetap dikonsumsi, namun perlahan-lahan dosisnya akan diturunkan untuk melihat perkembangan kesehatan mentalku. Jika semuanya sudah normal, maka aku diizinkan untuk berhenti meminumnya.

Aku berjalan menuju mobilku dengan diantar oleh dr. Sofia. Sebagai seorang psikiater muda, aku akui kualitasnya nggak main-main. Dari segi pelayanan, kecerdasan merangkai kata-kata, dan usahanya dalam menciptakan suasana yang nyaman benar-benar patut untuk diacungi jempol.

Dilihat dari biodatanya, dr. Sofia ternyata seumuran dengan Alvie. Tapi, kualitas dirinya sebagai seorang profesional benar-benar jauh melebihi adikku.

“Terima kasih banyak atas sesi konsultasinya hari ini, dok.” Ucapku sambil membuka pintu mobil.

“Tidak masalah! Datanglah lagi minggu depan agar kita bisa melihat perkembanganmu.” Balasnya dengan nada yang terdengar ceria.

Saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba aku kepikiran dengan kejadian yang menimpa dr. Sofia tadi. Pasalnya, akan jadi masalah kalau misalnya si botak itu muncul lagi minggu depan di tengah-tengah sesi konsultasiku. Sebagai seseorang yang udah rela bayar mahal, tentunya aku nggak akan membiarkan itu terjadi.

“Ngomong-ngomong, boleh aku tanya sesuatu, dok?” Tanyaku pada dr. Sofia yang masih berdiri di halaman rumahnya.

“Boleh, emang mau nanya apa?” Jawabnya sambil memiringkan kepala.

“Sorry kalau pertanyaannya personal. Tapi, apa masalah anda dengan orang botak yang tadi itu?” Mendengar pertanyaanku itu, dr. Sofia langsung terlihat sedikit terkejut. Namun, perlahan-lahan, dia mencoba untuk mengembalikan senyumannya yang ramah dan profesional itu.

“Yah, orang itu adalah anak buah dari pemilik perumahan ini. Dia minta aku buat pindah ke blok sebelah karena katanya ada masalah yang bikin rumah ini nggak layak huni. Padahal, alasan sebenarnya adalah karena ada orang yang mau beli rumahku dengan harga yang jauh lebih tinggi.” Jelasnya sambil menghela napas panjang, seolah sudah muak dengan masalah yang dihadapinya.

“Dan anda sudah bayar lunas?” Tanyaku singkat untuk memastikan lebih lanjut.

“Iya.” Jawabnya dengan wajah yang terlihat sedikit sedih. “Aku bahkan melunasinya dengan waktu yang lebih cepat dari yang tertera di kontrak. Niatnya, sih, biar langsung dapat posisi rumah yang strategis buat buka klinik.”

“Ah, jadi begitu.” Balasku singkat.

Gila, ya, ternyata ada juga pemilik perumahan yang berani ngelakuin wanprestasi kayak gini. Padahal, kalau dr. Sofia mau, dia bisa aja nuntut si pemilik itu ke pengadilan.

Nah, bagi yang nggak tahu, wanprestasi itu sederhananya adalah tindakan ingkar janji terhadap suatu perjanjian. Kalau kalian udah bikin perjanjian dengan seseorang melalui sebuah kotrak, tapi orang itu malah ngelanggar kontrak yang sudah dibuat, maka kalian bisa menuntutnya ke pengadilan.

Walaupun mengetahui solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh dr. Sofia, tapi sepertinya aku nggak perlu ikut campur lebih dalam lagi dari ini. Toh juga aku punya permasalahan sendiri yang harus diselesaikan.

“Kalau gitu, aku pamit pulang dulu.” Ucapku pada dr. Sofia, sambil masuk ke dalam mobil.

“Baiklah, hati-hati di jalan.” Balasnya dengan nada yang sudah terdengar ceria kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!