KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 5
"Sarah, makasih, ya, sudah mau mengantar gue," ujar Hanifa senang kepada Sarah. Sarah tersenyum manis kepada sahabatnya. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan sahabatnya itu.
"Sama-sama," jawab Sarah tersenyum dan pergi meninggalkan Hanifa dari rumahnya. Setelah jauh dari hadapannya Sarah, Hanifah pun masuk ke rumahnya.
"Pah, Nifa datang," ucap Hanifa dari luar rumah menuju rumahnya.
"Hai, Nifa, apa kabar kakak gue tersayang?" Tiba-tiba manusia yang paling dibenci Hanifa hadir di rumahnya. Ingat, di rumahnya. Hanifa kaget banget melihat gadis itu hadir di rumahnya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Hanifa kaget dan bingung. Hal apa yang terjadi?
"Mau tidak mau lo harus terima kenyataan ini, bahwa aku adik tiri lo." Hanifa berusaha berpikir keras. Apa-apaan ini? Yah, mama Hanifa sudah lama pergi, maka dari itu papa Hanifa merasa kesepian dan mencari pengganti mamanya, yaitu Tante Mirna. Hanifa kali ini merasa tertampar kenyataan yang sangat berat.
"Maksud lo, lo itu anak dari Tante Mirna?" tanya Hanifa memastikan hasil kesimpulan di otaknya. Walaupun dia yakin kesimpulannya itu valid, namun dia masih berharap hal itu salah.
"Yups, lo itu memang cerdas, ya," ujar Silvi pada gadis itu. Musnah harapan Hanifah. Kesimpulannya benar-benar valid 100%.
"Iya, kamu betul sekali, sayang, dan sekarang yang berkuasa atas semuanya adalah saya dengan Silvi," tiba-tiba wanita itu muncul di samping anaknya yang sama-sama.
"Dan selama papa tidak ada, kamu harus jadi pembantu," ujar wanita itu, alias Mirna.
"Maksudnya?" tanyaku pura-pura bingung. Sebenarnya ini bukan bingung hanya saja kaget.
"Lo harus masakin kami makanan, mencuci pakaian, dan menyapu serta beres-beres rumah," jawab Silvi menjelaskan ke Hanifa. Hanifa mengepalkan tangannya.
"Kan ada Bibi Eli," ujar Hanifa mengingat bahwa di rumahnya mereka mempunyai pembantu di rumah.
"Hah? Lo pikir dong, gaji pembantu sudah menghabiskan berapa uang?" bentak Silvi dengan lantang. Hanifa merasa semakin jijik melihat gadis itu. Apakah tidak ada ketenangan di hidupnya? Kenapa selain bertemu gadis sialan ini di sekolah malah harus juga bertemu di rumah? Rumah yang seharusnya tempat ternyaman malah ada malaikat pencabutnya hadir. "Apa-apaan ini, kenapa tiba-tiba masalah kehidupan Nifa langsung banyak seperti ini, dan kenapa harus Silvi pelakunya, kenapa harus dia lagi-lagi orangnya," batin Hanifa kesal dalam hatinya.
Hanifa pun mengerjakan pekerjaannya yang diperintahkan oleh Mirna. Baru saja gadis itu selesai mengepel rumah, tiba-tiba Silvi datang memarahinya.
"Nifa, lo kenapa belum menyetrika? Kalau sempat baju gue ada yang kusut bagaimana?" teriak Silvi pada Hanifah. Gadis ini sangat menjengkelkan. Rasanya Hanifa ingin sekali menamparnya.
"Iya, maaf tadi gue ketiduran soalnya banyak banget kerjaan gue," ujar Hanifa kesal dan membela dirinya. Yah, minimal maklum lah.
"Maunya cuma mengeluh saja," teriak Silvi lagi-lagi tidak mau tahu. Rasanya Hanifa ingin sekali menampar wajahnya itu.
"Kenapa sih harus lo yang dikirim Tuhan menjadi adik tiri gue? Kenapa enggak Sarah saja?" gerutu Nifa dalam hatinya. Dia sangat kesal dengan gadis sialan itu.
Hari Kedua
Hanifa sangat senang karena sudah pagi kembali, waktunya dia akan pergi dari rumah yang isinya malaikat pencabut nyawa.
"Tante, Nifa berangkat dulu, ya," ujar Hanifa berpamitan. Namun, tidak ada balasan sama sekali.
"Lo berangkat naik apa?" Tiba-tiba Silvi bertanya pada Hanifa. Karena malas membuat drama di pagi hari, Hanifa pun menjawab dengan sopan kepada Silvi.
"Naik sepeda," jawab Hanifa sopan kepada gadis itu.
"Sepeda lo tadi dipakai sama Pak Satpam, kasihan Pak Satpamnya enggak ada kendaraan," ujar Silvi dengan senyuman sinis dan menjengkelkan. Rasanya Hanifa ingin sekali menjambak rambut Silvi.
"Astaga, Silvi, gue harus bagaimana dong? Gue nebeng sama lo, please!" ujar Hanifa kesal, karena tidak mungkin dia harus jalan lagi. Ini juga salah Silvi. Kenapa dia memberi sepeda milikku tanpa izinku.
"Ogah!" jawab Silvi menolak dengan enteng. Dasar wanita tidak punya rasa kasihan. Hati nuraninya benar-benar tidak ada.
"Sil, please!" ujar Hanifa memohon ke gadis itu. Namun lagi-lagi ditolak.
"Tidak!" ujar Silvi membentak Hanifa.
"Yah, ya, ya, please, please!" Namun, Hanifa tetap memohon ke gadis licik itu. Yah, minimal tanggung jawablah, kan Silvi yang memberikan.
"Plak!" Tamparan yang keras terjadi di pipi Nifa. Silvi menampar wajah mulus milik Hanifa itu. Pipi Hanifa seketika memerah.
"Gue bilang tidak, ya tidak, mengerti lo sekarang kan?" ujar Silvi membentak.
"Maaf," ucap Nifa. Gadis alay ini berubah seratus delapan puluh derajat. Dia malas menanggapi Silvi, gadis itu pun bergegas pergi sambil berlari agar tidak terlambat.
"Nifa, sepeda lo mana?" Agung yang melihat Hanifa berjalan kaki, menghentikan motornya.
"Eh, Agung, sepeda gue masih rusak," ujar Hanifa malas menjelaskannya.
"Ya sudah, sama gue saja sini," tawar Agung dengan senang kepada Hanifah. Hanifa tidak bisa menolak, karena sebentar lagi terlambat ditambah lagi dia ketua OSIS yang harus disiplin.
"Makasih, ya," Nifa pun naik sambil menghapus air matanya.
"Lo kenapa menangis?" tanya Agung heran. Bagaimana tidak menangis? Rumahnya yang seharusnya tempat dia istirahat malah jadi tempat dia bekerja. Belum lagi keluarga barunya adalah orang yang dia benci.
"Enggak kok, gue enggak menangis," ujar Hanifa berbohong dan malas membahasnya.
"Lo enggak usah bohong deh," ujar Agung meyakinkan kalau Hanifa berbohong.
"Gue cuma kelilipan ditambah lagi pilek," bohong Nifa, namun suara semakin bergetar. Agung paham betul kalau gadis yang diboncengnya sedang menangis. Agung pun menarik tangan Hanifa dan melingkarkan tangannya di pinggang Hanifa.
"Kalau kamu mau menangis, tenggelamkan saja wajahmu ke punggungku, aku aman saja kok," ujar Agung menenangkan orang yang dia cintai itu. Hanifa pun menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi.
Mereka pun akhirnya sampai di sekolah tepat waktu, hatinya terasa lega, bahkan dia sangat senang saat Agung dapat membantunya. Namun dia sangat merasa bersalah karena sudah membasahi baju belakang Agung.
"Maaf, ya, Gung, sudah buat baju lo basah, ini buat lo," Hanifa meminta maaf kepada Agung dan memberi jus sebagai permohonan maafnya.
"Jus?" tanya Agung meyakinkan perbuatan yang dilakukan Hanifa memang untuknya.
"Iya, makasih sudah menolong gue dari keterlambatan," ujar Hanifa berterima kasih.
"Bukannya ini buat Farel, ya?" Lagi-lagi Agung merasa canggung dan menanyakan memang untuknya.
"Enggak, buat Farel, gue titipkan ini, ya, tapi nanti siang saja, pas dia lapar," Hanifa memberi bekal kepada Agung.
"Siap," ucap Agung mengacungkan jempolnya. Padahal itu makanan untuk Hanifa, karena dia sedang menghemat uang jajan, namun untuk Farel apa yang tidak? Semuanya akan diberi Hanifa.
"Astaga, Nifa, segitunya lo suka sama Farel," ucap Sarah yang baru datang dan melihat tingkah laku sahabatnya.
"Ya sudah, kita ke kelas dulu, ya," ajak Sarah kepada Hanifa.
"Sarah!" Hanifa kaget ternyata ada Sarah. Nifa peluk Sarah, seperti tidak bertemu dalam satu tahun saja.
"Eh, Nifa, lo kok menangis?" tanya Sarah melihat mata Hanifa yang sembap.
"Banyak hal yang harus gue ceritakan ke lo, Sar," ujar Hanifa yang ingin sekali menceritakan semuanya ke Sarah.
"Lo hapus air mata lo dulu, ya," ujar Sarah menenangkan hati Hanifa.