Kevin Darmawan pria berusia 32 tahun, ia seorang pengusaha muda yang sangat sukses di ibukota. Kevin sangat berwibawa dan dingin ,namun sikapnya tersebut membuat para wanita cantik sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanannya. Banyak wanita yang mendekatinya namun tidak sekalipun Kevin mau menggubris mereka.
Suatu hari Kevin terpaksa kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar jika kakeknya sedang sakit. Dengan setengah hati, Kevin Darmawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Desa Melati, sebuah tempat kecil yang penuh kenangan masa kecilnya. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan desa itu, fokus mengejar karier dan membangun bisnisnya hingga menjadi salah satu pengusaha muda yang diperhitungkan di ibukota.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alya Pergi,benar-benar pergi
Sementara itu di kamarnya, Alya tengah membereskan barang-barangnya. Tangannya bergetar saat ia melipat pakaian sederhana yang ia bawa dari desa. Dadanya sesak. Ia berusaha menahan tangis yang terus mendesak keluar.Saat Alya hampir selesai, Bu Linda mengetuk pintu pelan.
"Non Alya," panggil Bu Linda dengan suara lembut.
Alya menghapus cepat air matanya lalu membukakan pintu.
"Ada apa, Bu Linda?"
Bu Linda menatapnya dengan sedih, lalu masuk ke dalam dan menutup pintu.
"Apa kau yakin ingin pergi, Nak? Dan...diluar cuacanya sangat mendung kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan," kata Bu Linda, suaranya penuh kehangatan.
Alya tersenyum kecil, meski getir.
"Maafkan saya, Bu. Tapi saya rasa, saya memang tidak pantas ada di sini."
Bu Linda menghela napas panjang, lalu memeluk Alya erat-erat. Alya pun membalas pelukan itu, akhirnya membiarkan air matanya jatuh lagi.
Di ruang tamu, Kevin terduduk di sofa, menatap kosong ke arah pintu kamar Alya. Ia tahu, jika ia membiarkan Alya pergi sekarang, mungkin ia takkan pernah bisa memanggilnya kembali.
Tanpa berpikir panjang, Kevin mencoba untuk menemui Alya, meninggalkan Soraya yang masih berdiri terpaku di sana.
Tok tok tok!
Kevin mengetuk pintu kamar Alya dengan lembut. Ia ingin bersikap baik pada gadis itu. Demi janjinya pada kakek Daniel,apapun yang terjadi Kevin tak ingin hal ini menjadi masalah baginya.
"Alya, tolong, buka pintunya! Kita bicara sekali lagi!." bujuk Kevin.
Dari dalam kamar, Alya menggenggam koper tuanya erat-erat. Tangannya gemetar, hatinya ragu. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mendengarkan suara Kevin yang terus memanggil namanya.
Alya membuka pintu itu sambil menarik koper ditangannya, Kevin memperhatikannya dengan seksama. Ia merasa telah mengecewakan gadis itu tanpa ia sadari perasaan yang tersembunyi dibalik kekhawatirannya.
"Alya, dengarkan aku. Aku tak ingin mengingkari janjiku pada Kakek. Aku tak ingin disalahkan."
Alya semakin kesal mendengar ucapan Kevin,
"Tenang saja Tuan, tidak ada seorangpun yang akan menyalahkan anda.Bahkan dirimu sendiri."
Kevin tertegun mendengar jawaban Alya. Suara gadis itu terdengar dingin, seolah-olah tak ada lagi ruang tersisa untuk memperbaiki semuanya.
"Alya, bukan itu maksudku," ucap Kevin cepat, mencoba memperbaiki kata-katanya. Ia merasa frustrasi pada dirinya sendiri yang selalu salah bicara di hadapan Alya.
Namun Alya hanya menunduk, menggenggam koper tuanya lebih erat.
"Saya tahu, Tuan Kevin. Saya hanya beban di sini," lanjut Alya, suaranya lirih namun tegas.
"Kakek Daniel mungkin hanya merasa kasihan. Tapi kasihan saja tidak cukup membuat seseorang bertahan di tempat ini."
Alya langsung meninggalkan Kevin tanpa sempat mengatakan apapun . Lalu Kevin berbalik dan mengatakan sesuatu yang akan membuat Kevin menyesalinya.
"Baik,jika kau ingin pergi. Pergi lah.Tapi ingat... Jangan pernah lagi kau menginjakan kakimu di rumah ini."
Alya berhenti di tengah lorong. Tubuhnya menegang, seolah ucapan Kevin baru saja menghujam hatinya lebih tajam daripada apa pun yang pernah ia rasakan. Perlahan, ia berbalik. Matanya yang berkaca-kaca kini memandang Kevin dengan penuh luka.
"Terima kasih, Tuan Kevin," ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
"Terima kasih sudah membuat semuanya menjadi lebih mudah untuk saya."lanjutnya.
Tanpa menunggu lagi, Alya melangkah turun. Koper tuanya menyeret lantai, menimbulkan suara gesekan yang menyakitkan di telinga Kevin.
Baru setelah punggung Alya menghilang di balik pintu utama, kesunyian yang mencekam memenuhi seluruh rumah. Kevin berdiri di lorong, terdiam, menyadari kebodohannya. Ia baru saja mengusir satu-satunya orang yang mengingatkannya pada sosok kakeknya.
Soraya hanya bisa menatap ketegangan itu. Kini ia sadar jika perasaan Kevin telah berubah. Tidak dingin seperti dulu. Tanpa Kevin sadari ,Kevin telah meruntuhkan dinding pertahanannya selamanya ini.
Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik. Alya berjalan di bawah langit kelabu, tanpa payung. Air hujan bercampur dengan air mata di pipinya, tapi ia terus melangkah. Setiap langkah terasa berat. Setiap tetes hujan terasa seperti tamparan pada luka yang belum sempat sembuh.
Namun di dalam hatinya, Alya tahu tidak ada lagi alasan untuk bertahan di tempat di mana dirinya tidak diinginkan. Sementara itu, di dalam rumah, Kevin masih berdiri mematung.
Soraya yang dari tadi melihat mereka akhirnya berani melangkah mendekat. Mendekat dengan langkah pelan, seolah takut salah gerak. Ia mencoba menyembunyikan kegembiraan kecil di balik wajah prihatin yang dipaksakan.
"Kevin..." panggilnya lembut.
"Sudahlah. Alya memang tidak seharusnya ada di sini sejak awal. Kau melakukan hal yang benar."
Kevin perlahan menoleh, matanya yang biasanya tajam kini kosong. Soraya mengulurkan tangan, mencoba menyentuh lengan Kevin, tapi ia segera menepisnya tanpa banyak kata.
"Pergilah, Soraya," gumamnya serak.
Soraya tertegun, tersinggung, tapi menahan diri. Ia tahu, kalau sekarang ia memaksa, Kevin hanya akan semakin menjauh.
"Aku hanya... ingin kau tahu, aku selalu ada di sini untukmu," ucap Soraya, berusaha terdengar manis.
"Terimakasih, Soraya." ucapnya datar namun pelan.
Kevin berusaha menutupi penyesalannya dari Soraya.Ia menatap kosong ke arah pintu yang sudah tertutup. Kepalanya dipenuhi bayangan terakhir tentang gadis itu,tatapan penuh luka, kata-kata yang diucapkan dengan getir, langkah kecil yang perlahan menjauh dari hidupnya.
Sementara Alya terus berjalan tengah hujan,ia ingin kembali ke desa namun Alya mengurungkan niatnya itu. Alya tak ingin Bibi Ratna merasa terbebani dengan kehadirannya. Alya ingin mandiri ,itulah yang ada dipikirannya saat ini.
Dengan tubuh menggigil dan pakaian basah kuyup, Alya akhirnya menemukan sebuah halte kosong di pinggir jalan. Ia duduk di bangku dingin itu, memeluk koper tuanya erat-erat, berusaha menenangkan hatinya yang terasa hancur.
Langit semakin gelap. Angin menusuk tulang. Tapi Alya bertahan. Ia menatap jalanan yang sepi, bertanya-tanya ke mana langkah berikutnya akan membawanya.
"Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri, suaranya gemetar.
"Aku pasti bisa bertahan."batinnya.
Tak lama kemudian, sebuah bus malam berhenti di depannya. Sopir membuka pintu, menatap Alya dengan heran.
"Mau naik, Nona?" tanyanya.
Alya mendongak, ragu. Ia tidak tahu akan ke mana. Tapi ia tahu ia tidak bisa tetap di sini.
Dengan keberanian yang tersisa, Alya berdiri, menyeret kopernya naik ke dalam bus.
"Ke mana, Nona?" tanya sopir lagi.
Alya menggigit bibirnya. Matanya menerawang keluar jendela.
"Lanjut saja... sejauh mungkin dari sini," jawabnya pelan.
Sopir mengangguk, mengerti tanpa perlu bertanya lagi. Pintu bus menutup, dan perlahan bus itu melaju, membawa Alya pergi—menuju ketidakpastian, namun juga menuju harapan baru.
**
Sementara itu di rumah besar yang kini terasa jauh lebih dingin, Kevin akhirnya terduduk di tangga. Tangannya mengacak rambutnya dengan frustasi.
Bayangan wajah Alya terus terngiang di benaknya, bersama dengan kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya sendiri. Meminta gadis itu agar tak menginjakan kaki lagi ke rumah itu.
Kevin memejamkan mata rapat-rapat. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar. Kesalahan yang mungkin tidak akan bisa diperbaiki.
"Kenapa aku sebodoh itu..." gumamnya, suaranya parau.
Soraya yang masih berdiri di sudut ruangan memperhatikan Kevin. Hatinya bergemuruh antara lega dan khawatir. Lega karena Alya telah pergi, namun khawatir karena reaksi Kevin jauh berbeda dari yang ia harapkan.
Soraya tahu, jika Kevin benar-benar menyadari perasaannya terhadap Alya, maka dirinya tidak akan pernah lagi memiliki tempat di hati pria itu.
**
Di dalam bus yang bergoyang pelan, Alya menyandarkan kepalanya ke jendela. Hujan terus mengguyur, membuat dunia di luar terlihat kabur dan kelabu. Namun di matanya, ada secercah tekad yang mulai tumbuh.
"Aku akan membuktikan," bisik Alya pada dirinya sendiri.
"Aku bisa hidup, aku bisa bahagia... tanpa mereka."
Bus itu pun melaju menjauh, membawa Alya menuju awal yang baru.
Cinta datang tanpa qta sadari,, dia tumbuh d dlm hati dlm kelembutan dan kasih sayang...,, bila kau memaksanya utk tumbuh dan d sertai dgn ancaman atwpun kebohongan ,, cinta itu akan berbalik menjauhimu.... Jangan lakukan sesuatu yang akan semakin membuatmu menyesal lebih dalam lagi tuan Kevin.
Tapi,, ga ap2 sih biarlah semua mengalir apa adanya,, biar waktu yg akan mengajarkan kedewasaan,, kebijaksanaan dan kesabaran serta keikhlasan utk Alya dan tuan Kevin. Karna aq yakin...,, mau kemana pun kaki melangkah,, dia tetap tau dimana rumahnya,, kemana pun hati akan berselancar,, dia akan tetap tau dimana rumah utk kembali.
Trus,, pelan2 dekati alyanya...,, jangan maksa2....,, ntar Alya kabur lagi.
Tapi,, Alya jangan mau d ajak pulang sama tuan Kevin yaaa,, Krn masih ad si ular Soraya d rumah.