Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
Keluarga Bramasta memang dikenal di mana-mana. Namun, yang terlihat hanyalah sisi baik mereka. Ketika sepotong keburukan dari mereka muncul, semuanya bisa menjadi kacau. Siapa yang berani melawan keluarga ini? Mungkin ada, tetapi mustahil untuk lepas dari cengkeraman mereka.
Kakek, sang tetua di keluarga Bramasta, memang telah tiada. Namun, selama Javas Bramasta masih hidup, pengaruh dan kekuatan keluarga ini tetap terasa. Javas, sebagai penerus, tidak hanya mengemban warisan, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga nama besar keluarga. Dengan karisma yang dimilikinya, ia mampu menarik perhatian banyak orang, baik teman maupun lawan.
Keluarga Bramasta bukan sekadar nama; mereka adalah simbol kekuatan dan status. Setiap langkah yang diambil oleh Javas selalu diperhatikan, baik oleh kalangan atas maupun bawah. Dalam dunia yang penuh intrik dan persaingan, Javas harus bijak dalam setiap keputusan. Ia menyadari bahwa setiap tindakan dapat berpengaruh besar pada reputasi keluarganya.
Namun, di balik semua itu, Javas juga menghadapi tekanan yang tak terhingga. Harapan dan ekspektasi dari keluarga dan masyarakat menuntutnya untuk selalu tampil sempurna. Ia harus berjuang melawan bayang-bayang masa lalu yang kadang menghantuinya, berusaha untuk tidak terjebak dalam kesalahan yang sama yang mungkin pernah dilakukan oleh pendahulunya.
Keluarga Bramasta selalu memiliki cara untuk menjaga agar rahasia dan kelemahan mereka tetap tersembunyi. Namun, dalam era keterbukaan saat ini, tantangan baru muncul. Javas harus pandai mengelola informasi dan menjaga citra baik keluarganya di hadapan publik. Ini adalah ujian sejati bagi seorang pemimpin.
Pernikahan antara Skala dan Aurora menyimpan sebuah kisah yang jauh dari pandangan umum. Di balik gaun pengantin yang anggun dan senyum yang tersungging, terdapat sebuah realitas yang menyakitkan. Media, yang seharusnya menjadi jendela informasi bagi masyarakat, tidak mengetahui bahwa hubungan ini bukanlah hasil dari cinta yang tulus, melainkan sebuah keterpaksaan yang dipaksa oleh keadaan.
Ada kalanya, di balik kebahagiaan yang diperlihatkan, tersembunyi beban yang berat. Dalam hal ini, baik Skala maupun Aurora terjebak dalam situasi yang memaksa mereka untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan media yang tidak mendapatkan informasi ini, karena jika mereka mengetahuinya, citra dua keluarga ini akan ternoda di mata masyarakat.
Skala membuka pintu kamar setelah selesai berbincang bersama ayah dan pamannya. Dia menatap sekelilingnya, tidak ada Aurora di sana. Pandangannya beralih menatap pintu bercat putih yang hampir menyatu dengan cat dinding. Dia yakin Aurora pasti berada di sana.
Langkahnya pelan, namun begitu tegas. Perlahan dia membuka pintu tersebut.
Aurora yang memang berada di sana pun menoleh. Tangannya yang memegang kuas seketika berhenti di udara.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya gadis itu. Dia meletakkan kuas yang tadi dia pegang.
Skala tak menjawab, dia melangkah untuk melihat lukisan Aurora yang belum terlalu jelas, karena memang belum selesai semuanya.
"Istirahat, masih ada hari esok," ujarnya dengan suara berat nan serak.
Aurora menatap kanvas di depannya. Sedikit lagi selesai. Tapi, bukankah dia harus patuh pada suami?
"Baiklah," ucapnya pelan. Dia merapikan alat-alat yang dia gunakan sebelum keluar dari sana untuk mencuci tangan.
Skala sendiri memilih diam mengamati lukisan tersebut. Meski samar, dia tau apa yang dilukis oleh Aurora; wajah seorang wanita dengan dua sisi. Di bagian kiri, dia tersenyum, tapi di bagian kanan, tidak ada senyum yang menghiasi.
"Skala? Kamu masih di sini?" Aurora menyembulkan kepalanya, mengintip ke arah Skala yang sedang melihat lukisannya.
Skala menoleh. "Sudah selesai?" tanyanya sambil memandang Aurora.
Aurora mengangguk, memberikan jawaban yang menenangkan. Skala pun segera melangkah keluar dari ruangan tersebut. Aurora mengikuti di belakangnya.
"Skala..."
Skala yang hendak menarik selimut pun menghentikan pergerakkan nya.
"Hm?"
"Besok..." Aurora menjeda ucapannya. "Bolehkah aku mengunjungi rumah ayah?"
"Siapa yang melarang? Lakukan jika itu adalah hal baik untukmu. Aku yang akan antar kamu," balas Skala. Dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, sedangkan Aurora sendiri masih berdiri di samping ranjang.
"Tidak perlu. Aku bisa ke sana sendiri. Bukankah kamu sibuk di kantor?"
Skala terdiam. Benar apa yang dikatakan Aurora. Besok, banyak jadwal di kantor. Rapat, bertemu klien, lalu memeriksa proyek yang masih dikerjakan.
"Baiklah. Sekarang tidur."
Aurora tersenyum. "Terimakasih!" ujarnya lalu bergabung dengan Skala.
...-...
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
...-...
Evanda menatap sinis Aurora yang menuruni tangga bersama Skala. Raut wajahnya berubah saat dia menatap gadis yang sedang duduk di salah satu kursi meja makan.
"Evelyn, kamu berangkat dengan Skala saja, bagaimana?"
Di sana hanya ada dirinya, Evelyn serta para pembantu. Nenek Aster dan yang lainnya belum keluar.
Aurora memperlambat langkahnya, dia menatap Evelyn yang asik berbincang dengan ibu mertuanya. Dia tau, Aurora tau siapa Evelyn. Perempuan yang terlihat dewasa dengan proporsi tubuh ideal seperti seorang model. Evelyn adalah perempuan pilihan Evanda. Pantas saja Evanda bersikeras menjodohkan Evelyn dengan Skala, penampilan Evelyn sangat cocok dengan Skala. Mereka serasi. Tidak seperti Aurora dan Skala yang cenderung seperti kakak adik, karena tubuh Aurora yang memang mungil dan Skala yang seperti Titan. Namun, bukankah mereka tetap pasangan serasi? Si mungil milik si Titan, begitu?
"Selamat pagi, Mom," sapa Aurora.
"Ya." Evanda membalasnya dengan acuh.
Aurora tersenyum pada Evelyn, lalu dia hendak membantu pelayan, tapi Skala lebih dulu mencegahnya.
"Duduk," ujar Skala dengan suara beratnya.
Aurora tidak langsung menurut seperti biasa, dia melirik Evanda yang sesekali meliriknya dengan sinis.
"Aku ingin membuatkan kopi untukmu," ujar Aurora pada Skala.
"Tidak perlu. Aku tidak butuh kopi. Duduklah," titah Skala.
Sekalipun hanya membuat kopi, Skala tidak pernah mengijinkan Aurora untuk menyentuh peralatan dapur jika ada pelayan di sana. Itu sebabnya dia keberatan saat Evanda menyuruh Aurora untuk membeli telur, padahal hal itu bisa dilakukan oleh pelayan.
Evanda dan Evelyn hanya diam menatap keduanya. Evelyn sendiri tak menyangka kalau Skala akan memperlakukan Aurora seperti itu. Dia pikir, Skala akan bersikap kasar pada Aurora.
Melihat wajah Skala yang galak, Aurora jadi ciut. Dia pun menurut dan duduk di samping suaminya.
Tak lama dari itu, nenek dan yang lain datang ikut bergabung.
"Evelyn? Pagi-pagi sekali kamu kemari," sapa Javas.
Evelyn tersenyum. "Iya, Paman. Bibi Eva mengundang ku untuk sarapan bersama," jelasnya.
"Iya. Aku yang menyuruhnya datang," tambah Evanda pula.
Nenek Aster hanya melirik Evelyn sekilas, lalu dia menatap Aurora yang sedang mengambilkan nasi untuk Skala.
"Rora, siang ini bisa temani Nenek?"
Bukan hanya Aurora saja yang menoleh, semua yang ada di sana menatap wanita tua itu.
"Aurora hendak berkunjung ke rumah keluarganya, Nek." Skala menyahut.
Aurora langsung menggeleng. "Tidak. Kalau siang, Rora sudah pulang. Rora bisa temani Nenek," ujar Aurora pada Nenek Aster.
Nenek Aster tersenyum mendengarnya. "Baiklah."
Evelyn menuangkan susu untuk Skala. "Susu hangat sangat cocok untuk teman sarapan," ujarnya seraya menyodorkan segelas susu pada Skala.
Tangan Aurora yang memegang gelas berisi susu hangat pun terhenti di udara. Dia tidak jadi memberikannya pada Skala, dan memilih meletakkannya di samping piringnya.
"Terimakasih, tapi aku memiliki istri, Evelyn." Skala mendorong gelas pemberian Evelyn ke arah perempuan itu.
Evelyn menggepalkan tangannya di bawah meja. Bibirnya mencoba tersenyum meski penuh paksaan. "A-ah, iya. Maaf," ujarnya.
Skala berdeham singkat. Dia menatal Aurora yang sedang menatapnya dengan lugu.
"Berikan." Tangannya bergerak mengode Aurora agar memberikan gelas berisi susu tadi.
"Oh, iya." Aurora segera meletakkan gelas tersebut di samping piring Skala.
Kenapa Skala jadi seperti ini? Harusnya mereka tidak akan akur sampai kapanpun! batin Evanda.
bersambung...
LIKE LIKE LIKEEEE
tolong jangan nabung bab🙏😔
lanjuuuut