NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:602
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 DESTINASI PERTAMA: HUTAN

Hari berikutnya, Zia terbangun dengan tenggorokan kering dan gelas kosong di meja samping tempat tidur. Ia menarik selimut, melangkah turun ke dapur dengan langkah ringan. Tak lagi peduli pada para penjaga, seolah mereka tak ada.

Hanya mengenakan celana pendek yang tertutup oleh kaus panjang, Zia menggaruk kepala yang masih berantakan. Kausnya terangkat sedikit tanpa ia sadari. Ia membuka kulkas, menuangkan air dingin, dan meneguknya habis dalam satu tarikan. Kini tenggorokannya membaik.

“Hei!”

Zia terkejut, hampir menjatuhkan gelas. Viren berdiri di samping kulkas, entah sejak kapan dia di sana.

“Apa?” gumam Zia sambil mendongak.

“Bersiaplah. Kita akan pergi,” Ucap Viren sebelum berlalu dengan cangkir di tangannya.

“Tunggu, pergi kemana? Viren... Hei!” Zia memanggil, bergegas menyusul.

“Lima belas menit,” ujarnya datar tanpa menoleh.

“Cih.” Zia mendengus kesal lalu berlari menaiki tangga.

Sepuluh menit kemudian, ia turun dengan rok semata kaki dan kaos lengan pendek. Rambutnya digerai seadanya. Di luar, Viren sudah menunggu dengan topi dan kacamata hitam seperti biasa, tubuh tegap dan pakaian santai yang pas di badannya.

“Masuk.”

“Kemana kita?” tanya Zia, tetap berdiri.

“Masuk,” ulang Viren, lebih tegas.

Zia memutar bola mata lalu menuruti perintahnya. Beberapa saat kemudian, Viren ikut masuk. Jake dan Manuel sudah duduk di kursi depan, Manuel yang menyetir.

Mobil melaju menjauh dari Calligo. Pepohonan bergantian melintas di jendela, menemani keheningan dalam mobil yang terasa seperti pemakaman. Tak ada percakapan, hanya napas Zia yang sesekali terdengar berat.

Ternyata seperti ini hidup bersama pria pebisnis, pikirnya. Kaku dan tegang di setiap kondisi.

“Sebenarnya... kita mau ke mana? kenapa kalian semua kompak dengan pakaian seperti itu?” tanya Zia akhirnya.

“Berburu,” jawab Viren singkat.

Zia menoleh cepat. “Apa?! Berburu?!” Nadanya kesal. Ia menunduk melihat penampilannya. Rok. Untuk berburu?! Tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai perjalanan ini.

Senyum tipis hampir tak terlihat muncul di wajah Viren. Ada kepuasan kecil di balik ketenangannya.

Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di kawasan hutan yang memang dikhususkan untuk berburu. Jake membuka bagasi dan mengeluarkan beberapa senjata.

“Tuan,” ujarnya sambil menyerahkan senjata pada Viren dan ransel kecil.

Viren menerimanya, lalu melirik Zia. “Ayo.”

Zia mengikutinya tanpa banyak bicara. Tangan terlipat di dada, berjalan di belakang Viren. Jake dan Manuel menyusul di belakang mereka. Jalanan tidak terlalu curam, hutan ini jelas dibuat agar tetap ramah untuk pengunjung.

“Tuan, sebaiknya kita berpencar,” usul Jake. “Aku dan Manuel akan ke arah sana.” Ia menunjuk ke arah matahari terbit.

Viren mengangguk. “Baiklah.”

Mereka pun berpisah. Zia tetap mengikuti langkah Viren meski wajahnya penuh keberatan.

“Kenapa kau tidak memberitahuku kita akan berburu?” tanya Zia kesal.

“Aku sudah bilang tadi,” jawab Viren sambil membidik sesuatu.

“Terlambat,” Zia mengumpat pelan. Rasanya ia ingin mengutuk pria itu, tapi rasa takutnya lebih besar dari keberaniannya.

Di sisi lain, Jake dan Manuel berjalan menyusuri semak-semak.

“Apa menurutmu baik-baik saja meninggalkan mereka berdua?” tanya Manuel pelan.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? tuan Viren ahli dalam segala hal,” jawab Jake.

“Tapi dia bersama istrinya. Itu tidak biasa.”

“Lagipula dia yang mengajak. Kita hanya mengikuti.”

“Kau benar... Asal mereka tidak terpisah.”

Tiba-tiba seekor babi hutan berlari melewati mereka. Jake membidik dan melepaskan tembakan.

“Sial, masih lolos,” desahnya kesal.

Matahari tepat di atas kepala. Zia mengusap keringat. Sudah seharian ia mengikuti jejak Viren tanpa tahu tujuannya.

“Apa di sini ada sungai?” tanyanya, setengah lelah.

“Kau haus?” tanya Viren.

Zia mengangguk. “Aku juga lapar.”

“Kau benar-benar merepotkan,” gumamnya sambil menyodorkan sebotol air.

Zia duduk di batang pohon tumbang, meneguk air perlahan.

“Kau sering berburu begini?” tanyanya.

“Tidak. Hanya beberapa kali dalam setahun.”

“Oh...” Zia membalas pendek.

Setelah istirahat sebentar, Zia berdiri. Angin menerpa rambutnya yang tergerai. Suasana hutan terasa lebih teduh dari sebelumnya. Viren melangkah duluan.

“Sebelah sini.”

Zia mengikutinya, melangkah hati-hati. Salah kostum jelas menyulitkannya, meski untung ia tak pakai heels—hanya flatshoes.

“Cuma kalian yang berburu di sini?”

“Tidak.”

“Lalu—”

“Sstt.” Viren memberi isyarat diam. Seekor babi hutan muncul di hadapan mereka.

Viren membidik. Tepat sebelum menembak—

“Stop!” seru Zia tiba-tiba.

Viren menoleh dengan alis terangkat. “Lihat, itu induk babi,” katanya datar, melihat hewan itu kabur bersama anak-anaknya setelah suara tembakan menggema dari kejauhan.

Ia menghela napas panjang. Zia masih berdiri, tapi kini langkahnya tertatih. Beberapa saat kemudian, ia berhenti dan duduk di batang kayu besar di tepi jalur setapak.

“Aku tak tahan...” gumamnya sambil melepas sepatunya.

Viren menoleh. “Apa lagi sekarang?”

Zia tak langsung menjawab. Ia melepas flatshoes-nya dengan susah payah, lalu menunjukkan bagian belakang tumitnya yang lecet parah. Kulitnya robek dan berdarah, luka yang makin perih karena terus bergesekan saat berjalan.

“Lukanya makin sakit. Aku hampir tidak bisa jalan tadi,” ujarnya, menuang sedikit air dari botol untuk membersihkannya. “Aw...” Ia meringis kecil saat air menyentuh luka terbuka.

Viren mendekat. Tatapannya turun ke arah kakinya, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjongkok dan membuka tas kecil yang tergantung di pinggangnya. Ia menarik sepotong kain tipis dari dalam saku—seperti potongan bekas baju lap—dan mulai merobeknya perlahan dengan tangan.

Zia melihatnya sekilas, lalu berkata, “Kalau ada sisa... boleh aku minta?”

Viren tidak menjawab. Ia hanya melemparkan sepotong kecil kain yang tersisa ke arah Zia.

Zia menangkapnya dan langsung mengikat rambutnya yang tergerai berantakan sejak pagi. Ia menguncirnya asal, tidak rapi, tapi cukup untuk membuat wajahnya terasa lebih lega dari keringat.

Sementara itu, Viren sibuk membalut luka di kaki Zia. Gerakannya cepat, efisien, tanpa drama. Satu tangan menahan pergelangan kaki Zia, tangan lain mengikat kain dengan simpul yang kokoh.

“Setidaknya... ini akan mengurangi gesekan,” katanya akhirnya.

Zia menyelesaikan ikatan rambutnya dan melihat ke bawah, memperhatikan kakinya yang kini terbalut seadanya tapi cukup rapi.

“Terima kasih,” ucapnya pelan.

Viren tidak menanggapi. Ia hanya berdiri, menepuk celananya yang kotor oleh tanah.

“Kau bisa saja langsung jadi dokter lapangan,” kata Zia, mencoba mencairkan suasana.

Viren menoleh sebentar. “Diamlah.”

Zia tertawa kecil.

Viren mengulurkan tangan. Zia sempat ragu, tapi akhirnya menyambutnya agar bisa berdiri lebih mudah. Ia mengenakan kembali sepatunya perlahan, mencoba berdiri dengan berat sebelah.

“Lebih baik kita kembali,” ujar Viren. “Ayo.”

Zia mengangguk. Langkah mereka kali ini lebih lambat, tapi terasa lebih tenang. Rambutnya kini terikat seadanya dengan potongan kain lusuh, dan ia berjalan di belakang Viren, sedikit tertatih namun tanpa keluhan.

Langit mulai meredup ketika mereka kembali ke titik awal. Udara hutan berubah dingin, angin lembab mulai menusuk kulit. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki memecah semak. Jake dan Manuel muncul, keduanya membawa senjata dan wajah yang sedikit lelah.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Viren tanpa basa-basi.

Jake mengangkat bahu. “Seekor rusa kecil. Sisanya... terlalu cepat lari.”

Viren hanya mengangguk.

Jake sempat melirik Zia yang berdiri sedikit di belakang Viren, tampak lesu dengan rambut yang kini diikat asal menggunakan sepotong kain lusuh.

“Kau baik-baik saja, nyonya?” tanya Jake, menahan senyumnya.

Zia mengangkat alis. “Kau lihat sendiri. Aku setengah mati diseret ke tengah hutan untuk berburu dalam rok.”

Jake mengangguk sambil menyembunyikan senyum geli. Wajahnya lebih ramah dari biasanya kali ini. “Catatan untuk kami: beri arahan berpakaian dulu sebelum berangkat.”

“Catatan untuk kalian: jangan memanggilku nyonya, itu terlalu berat di telingaku,” balas Zia.

“Masuk ke mobil,” potong Viren, nadanya datar. Ia berjalan lebih dulu.

Zia mendesah, lalu menyusul. Ia masuk ke mobil dan duduk di baris tengah. Viren duduk di sampingnya, Jake dan Manuel kembali ke kursi depan—Manuel di balik kemudi, Jake di sebelahnya.

Mobil melaju, meninggalkan kawasan berburu dan menyusuri jalan berbatu sebelum kembali ke jalan utama. Di dalam mobil, suasana kembali hening. Hanya suara mesin dan angin luar yang mengisi ruang.

Zia menyandarkan kepala ke jendela, napasnya berat. Ia tidak tidur, tapi jelas lelah.

“Lain kali, kau tetap bisa bilang kalau kau tidak ingin ikut,” ujar Viren tiba-tiba, suaranya pelan.

Zia tidak menoleh. “Aku tidak tahu lain kali itu benar-benar akan terjadi atau cuma cara halusmu bilang cukup sekali’”

“Aku tidak pernah halus,” balasnya singkat.

Zia tertawa kecil. “Benar juga.”

Sesaat hening lagi. Lalu Zia melirik ke bawah, ke arah pergelangan kakinya yang terbalut.

“Kau cukup cekatan untuk seseorang yang tak suka dekat dengan orang.”

Viren menoleh sedikit. “Kau terlalu banyak bicara untuk seseorang yang kelelahan.”

“Tapi aku tidak tertidur, kan?” Zia tersenyum tipis. “Aku cuma... memastikan kamu tahu, aku perhatikan.”

Viren tak membalas. Tapi kali ini, ia tidak meminta Zia diam.

Mobil terus melaju. Lampu-lampu kota mulai tampak di kejauhan. Calligo tinggal beberapa menit lagi.

Setibanya di depan gerbang, penjaga membukakan pintu otomatis. Cahaya temaram dari halaman menyambut mereka saat mobil perlahan memasuki kompleks.

Zia merapikan duduknya dan menarik napas panjang. “Setidaknya sekarang aku tahu. Hidup bersamamu tidak pernah bisa ditebak.”

Viren memandang ke depan. “Dan ini baru yang pertama.”

Mobil berhenti di depan pintu utama. Jake turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Zia.

“Terima kasih,” ucapnya pada Jake sambil turun hati-hati.

Viren masih duduk sejenak, lalu menyusul turun. “Istirahat. Kita mulai lebih pagi besok.”

“Besok?” Zia menoleh cepat. “Kau bercanda—kan?”

Tapi Viren sudah berjalan masuk, meninggalkan Zia yang ternganga di anak tangga. Jake dan Manuel pura-pura sibuk membongkar barang dari bagasi, menahan tawa mereka sendiri.

Zia hanya bisa menatap punggung pria itu sambil bergumam, “Gila.”

Lalu ia pun melangkah masuk ke Calligo, pelan-pelan.

Beberapa menit kemudian, Zia kembali ke kamarnya. Lampu kamar ia biarkan menyala redup. Tanpa melepas bajunya, ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka sepatunya perlahan. Luka di tumitnya tampak mengering tapi masih menyakitkan saat disentuh.

Ia mengambil kotak P3K dari laci kecil di meja. Menyobek perban, menuangkan antiseptik ke kapas, lalu menggigit bibir saat cairan itu menyentuh luka.

“Aww...” rintihnya pelan, mengernyit.

Ia membersihkan darah kering dengan hati-hati, lalu membalut ulang lukanya dengan perban bersih. Gerakannya pelan, sedikit canggung, tapi cukup rapi. Tak ada tangan Viren kali ini. Hanya ia sendiri di kamar yang dingin dan sunyi.

Setelah selesai, Zia bersandar ke bantal. Ia mengendurkan ikatan rambutnya, lalu memandangi kain kusut bekas yang kini berada di tangannya. Potongan kain robek yang tadi ia pakai untuk mengikat rambut, pemberian tak sengaja dari Viren.

Zia memutar kain itu di jari-jarinya, lalu tersenyum samar.

“Hidup denganmu memang... tidak membosankan,” gumamnya pelan.

Ia menaruh kain itu di meja samping, mematikan lampu, lalu berbaring menghadap jendela.

Di luar, angin malam mulai bertiup. Hutan telah jauh di belakang, tapi dalam kepalanya, langkah-langkah mereka di antara pepohonan masih terus terputar.

Dan untuk pertama kalinya, Zia tidak yakin apakah ia benar-benar ingin hari itu berakhir.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!