Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Terungkap
Alghazali berdiri tegap di hadapan semua santri dan para ustadz. Dengan suara tegas dan tenang, ia berkata, “Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti kuat. Saya ingin tiga orang saksi yang melihat siapa saja yang masuk ke kamar Nayla sebelum gelang itu ditemukan.”
Semua santri saling berpandangan. Beberapa terlihat ragu, sementara yang lain mulai berpikir keras.
Setelah beberapa detik hening, seorang santri bernama Salma mengangkat tangan dengan ragu. “Saya tidak melihat langsung, tapi tadi siang saya sempat melihat Siti keluar dari kamar Nayla sebelum gelang Zahra hilang.”
Siti, yang sejak tadi diam di barisan belakang, langsung membelalak. “Apa?! Aku cuma lewat! Aku nggak masuk ke dalam!”
Alghazali menatapnya dengan tajam. “Kita tidak akan langsung menyalahkan siapa pun. Tapi kita perlu bukti lebih kuat.” Ia kemudian menoleh ke Ustadzah Aisyah. “Di sekitar area asrama, ada CCTV, bukan?”
Ustadzah Aisyah mengangguk. “Benar, ada di koridor.”
Pak Kyai yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. “Kalau begitu, kita akan cek rekaman CCTV.”
Nayla menatap Alghazali dengan mata yang masih berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang membelanya tanpa keraguan.
Sementara itu, Siti mulai terlihat gelisah. Wajahnya pucat, tangannya menggenggam ujung kerudungnya dengan cemas.
Beberapa santri lain mulai menyadari perubahan ekspresinya.
Apakah dia pelakunya?
Semua orang kini menunggu kebenaran terungkap melalui rekaman CCTV.
Setelah rekaman CCTV diputar, semua mata tertuju pada layar. Terlihat jelas bahwa Zahwa dan Suci masuk ke kamar grup Nayla sebelum Zahra dan Nayla datang setelah sholat subuh.
Pak Kyai menghela napas, lalu menoleh pada Zahwa dan Suci yang kini tampak tegang. “Kalian berdua, ada yang ingin dijelaskan?”
Suci langsung menunduk, wajahnya pucat. Sementara Zahwa menggigit bibirnya, seolah mencari alasan untuk membela diri.
Alghazali tetap diam, menatap keduanya dengan tatapan tajam. Akhirnya, Suci tak kuat dan berkata dengan suara bergetar, “Kami… kami hanya bercanda, Kyai… Kami ingin memberi pelajaran pada Nayla karena dia selalu bersikap sombong…”
Nayla yang sejak tadi diam langsung tersentak. “Apa?! Kalian menuduh aku mencuri cuma karena kalian nggak suka sama aku?!”
Zahwa berusaha menjawab, tapi Pak Kyai mengangkat tangannya, meminta semua diam. Ia menatap kedua santri itu dengan kecewa. “Tuduhan tanpa bukti itu fitnah, dan itu sangat berat dosanya. Kalian sudah mencoreng nama baik teman kalian sendiri.”
Zahra yang awalnya percaya Nayla bersalah kini terlihat menyesal. “Maaf, Nayla… Aku terlalu cepat menuduhmu…”
Nayla mendengus, hatinya masih panas. Tapi sebelum ia sempat membalas, Alghazali berbicara, “Zahwa, Suci, kalian tahu konsekuensinya.”
Pak Kyai mengangguk. “Sebagai hukuman, kalian harus meminta maaf secara langsung pada Nayla dan melakukan kerja bakti membersihkan asrama selama seminggu.”
Zahwa dan Suci menunduk, tahu bahwa mereka tidak bisa mengelak lagi.
Sementara itu, Nayla diam. Di satu sisi, ia masih marah, tapi di sisi lain… ada perasaan lega. Untuk pertama kalinya, ada yang berdiri membelanya di tempat ini.
Dan orang itu adalah Alghazali.
Kabar perjodohan itu datang seperti petir di siang bolong bagi Nayla. Saat Pak Kyai memanggilnya ke ruangannya, ia mengira akan mendapat teguran lagi. Tapi yang terjadi justru lebih mengejutkan.
“Ayahmu ingin menjodohkanmu dengan Ustadz Alghazali,” ujar Pak Kyai dengan tenang.
Nayla membelalak. “Apa?! Saya dijodohkan dengan ustadz sok suci itu? Tidak mungkin!”
Pak Kyai hanya tersenyum. “Ini keputusan ayahmu. Ia ingin kamu memiliki pendamping yang bisa membimbingmu.”
Nayla mendengus kesal. “Ayah pikir saya ini apa? Barang yang bisa ditukar begitu saja?!”
Di saat yang sama, pintu terbuka dan Alghazali masuk. Wajahnya tetap datar seperti biasanya, tapi ada sorot tegas di matanya. “Saya juga baru mendengar tentang ini,” katanya.
Nayla menatapnya tajam. “Bagus! Kalau begitu, tolak saja! Saya tidak mau menikah dengan orang sepertimu!”
Alghazali tetap tenang. “Aku tidak keberatan.”
Nayla nyaris terjatuh dari kursinya. “APA?!”
Pak Kyai tersenyum. “Alghazali adalah pilihan yang tepat. Dia bisa membimbingmu, Nayla.”
Nayla semakin frustasi. Ia memandang Alghazali, berharap pria itu mengubah pikirannya. Tapi tatapan Alghazali begitu tenang dan yakin.
Untuk pertama kalinya, Nayla merasa kalah.
Malam sebelum pertemuan di pesantren, ayah Nayla datang ke rumah keluarga Alghazali.
Dengan wajah penuh kelelahan dan putus asa, ia berlutut di hadapan Alghazali.
“Aku mohon… Tolong selamatkan putriku.”
Alghazali terkejut. Ia terbiasa melihat orang-orang datang padanya untuk meminta nasihat atau bimbingan, tapi kali ini berbeda.
“Tuan Faisal, tolong berdiri. Tidak pantas Anda berlutut di hadapan saya,” ujar Alghazali dengan suara tenang.
Namun, ayah Nayla tetap bersimpuh. Matanya berkaca-kaca. “Aku sudah kehilangan kendali atas putriku. Aku telah mencoba segalanya, tapi Nayla semakin jauh dari kebaikan. Aku takut… Aku takut kehilangan dia.”
Alghazali terdiam. Ia tahu Nayla adalah gadis yang keras kepala, liar, dan sulit diatur. Tapi melihat seorang ayah yang begitu putus asa memohon untuk putrinya, hatinya tersentuh.
“Kenapa saya?” tanyanya akhirnya.
“Karena hanya kamu yang bisa membimbingnya,” jawab sang ayah lirih. “Dia butuh seseorang yang kuat, yang tidak bisa dia permainkan. Jika dia tetap seperti ini, aku takut dia akan hancur…”
Alghazali menghela napas panjang. Menikahi Nayla bukanlah sesuatu yang pernah terpikirkan olehnya. Tapi bisakah ia menolak permintaan seorang ayah yang begitu mengkhawatirkan anaknya?
Setelah hening beberapa saat, akhirnya Alghazali mengangguk pelan.
“Baiklah. Saya akan menikahi Nayla.”
Sang ayah menatapnya dengan penuh haru. “Terima kasih… Terima kasih, Alghazali.”
Namun dalam hati, Alghazali tahu bahwa ini bukanlah keputusan yang mudah.
Nayla duduk di kamarnya dengan wajah kusut. Pernikahan ini harus batal! Ia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan begitu saja.
"Aku harus kabur sebelum semuanya terlambat," gumamnya.
Namun, semakin ia berpikir, semakin ia sadar bahwa ayahnya sudah memutus semua jalur kabur. Tak ada kartu kredit, tak ada akses keluar dari pesantren tanpa izin, dan para pengawal ayahnya pasti berjaga lebih ketat.
"Aku butuh rencana," pikirnya.
Nayla mencoba menghubungi Reynaldi lewat ponsel yang ia pinjam diam-diam dari salah satu santri, tapi tak ada jawaban. Laki-laki itu pasti sudah melupakannya.
Ia mencoba pura-pura sakit, berharap bisa dikirim ke rumah sakit dan mencari celah kabur, tapi Pak Kyai hanya menyuruhnya beristirahat di pesantren.
"Gila! Ini seperti penjara!" Nayla menendang selimutnya dengan kesal.
Hingga suatu malam, ia menemukan ide gila.
"Kalau aku membuat Alghazali sendiri yang menolak menikah denganku, maka semuanya akan selesai!"
Senyum licik muncul di wajah Nayla.
"Baiklah, Ustadz sok suci. Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan."
Nayla akhirnya memberanikan diri untuk menemui Ustadz Alghazali secara langsung.
Ia meminta izin kepada Pak Kyai untuk berbicara empat mata dengan calon suaminya. Meskipun awalnya ragu, Pak Kyai akhirnya mengizinkan, dengan syarat pertemuan itu tetap dalam batas yang sesuai.
Saat Nayla masuk ke ruangan tempat Alghazali menunggunya, ia melihat pria itu duduk dengan tenang, tatapan datarnya menembus matanya.
“Apa yang ingin kau bicarakan, Nayla?” tanya Alghazali dengan suara rendah.
Nayla menegakkan bahunya, menyusun kata-kata dalam pikirannya.
"Aku mau perjanjian."
Alghazali mengangkat alisnya. “Perjanjian?”
"Ya." Nayla menyilangkan tangan di dadanya. "Jika kau ingin aku menikah denganmu, aku punya syarat."
Alghazali tetap diam, menunggu.
"Pertama, setelah menikah, aku bebas. Aku tidak mau tinggal di pesantren ini lagi. Aku harus keluar, pergi ke mana pun aku mau."
Alghazali mengetatkan rahangnya.
"Kedua, aku tidak akan melayanimu sebagai istri. Kau tidak bisa menyentuhku, tidak bisa mengatur hidupku."
Mata Alghazali menyipit, tapi ia masih tetap diam.
"Ketiga," lanjut Nayla, "aku ingin waktu bersama teman-temanku. Aku ingin ke klub, bersenang-senang, tanpa ada yang melarangku."
Alghazali menatapnya tajam. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, pria itu tampak marah.
“Apa kau sadar apa yang sedang kau katakan, Nayla?”
Nayla mendongakkan dagunya, menantang. “Aku sadar. Aku tidak ingin pernikahan ini, tapi kalau kau memaksaku, maka ini syaratnya.”
Ruangan itu sunyi. Mata Alghazali menatapnya tanpa ekspresi.
Kemudian, dengan nada dingin dan penuh ketegasan, ia berkata:
“Baik. Aku terima perjanjianmu.”
Nayla tercengang. "Apa? Kau setuju?"
“Ya. Aku akan menikahimu dengan syaratmu, Nayla. Tapi ingat,” suara Alghazali merendah, tapi penuh makna, “suatu hari nanti, kau sendiri yang akan menghapus semua syarat ini."
Nayla tertawa sinis. "Jangan mimpi, Ustadz."
Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam hatinya yang bergetar saat mendengar kata-kata itu.