"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Karena Tulus
Suara langkah kaki mendekat, diikuti sapaan lembut seorang perawat. “Selamat pagi, Pak Ziyo. Bagaimana kondisi Anda hari ini?”
Ziyo mengangkat wajahnya sedikit, meskipun ia tidak bisa melihat. “Selamat pagi. Saya baik-baik saja,” jawabnya tenang. “Tapi, bisakah Anda membantu saya duduk? Saya ingin mengubah posisi.”
“Tentu, Pak. Sebentar, ya.” Perawat itu mendekat, dengan gerakan hati-hati memeriksa selang infus dan perban di tubuh Ziyo untuk memastikan semuanya aman. “Saya akan membantu Anda sekarang.”
Ziyo merasakan tangan perawat itu menyentuh lengannya dengan lembut, membantunya bergeser dari posisi setengah berbaring ke posisi duduk tegak. Punggungnya bersandar pada bantal yang disusun ulang dengan cekatan.
“Apakah posisi ini sudah nyaman, Pak?” tanya perawat sambil memastikan Ziyo tidak merasa kesulitan.
“Ya, terima kasih. Ini jauh lebih baik,” jawab Ziyo. Ia menggerakkan bahunya perlahan, menghilangkan rasa pegal yang mulai mengganggu.
“Kalau ada yang Anda butuhkan, jangan ragu memanggil saya, ya, Pak,” ujar perawat itu sebelum melangkah pergi.
Namun, sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Ziyo berkata, “Tunggu sebentar.”
Perawat itu berbalik, menatapnya dengan penuh perhatian. “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”
“Apakah tante saya yang biasa menunggu di sini sudah pulang pagi ini?” tanyanya dengan nada datar.
Perawat itu tampak mengingat-ingat sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Iya, Pak. Beliau sempat berpamitan pada saya tadi.”
Ziyo mengangguk kecil. “Terima kasih.”
Perawat itu tersenyum tipis sebelum akhirnya meninggalkan ruangan, membiarkan Ziyo kembali sendirian dengan pikirannya.
Ziyo bersandar, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat. "Aku harus tetap tenang," gumamnya dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih memegang kendali atas hidupnya, meskipun kegelapan kini menjadi temannya.
Ziyo menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Keheningan memberinya waktu untuk merenung. Ia tak bisa melihat apa pun, hanya kegelapan yang menemaninya. Namun, ia tak mengizinkan rasa takut merajai dirinya. Ia tahu, panik atau merasa kasihan pada diri sendiri tak akan mengubah apa pun.
Ketukan lembut terdengar di pintu. Rita masuk dengan wajah khawatir, membawa termos kecil. “Tante membawakan sup. Kau pasti jenuh dengan makanan rumah sakit,” ujarnya lembut sambil mendekat.
Ziyo tersenyum kecil. “Terima kasih, Tante Rita. Tapi aku belum lapar.”
Rita duduk di kursi samping ranjangnya, memandangnya dengan tatapan penuh perhatian. “Ziyo, tidak apa-apa kalau kau ingin berbicara. Kau baru saja melewati kecelakaan besar. Kau tidak harus terlihat kuat sepanjang waktu.”
Ziyo menggeleng perlahan. “Aku sudah melewati yang lebih berat dari ini, Tante. Mama dan Papa sudah tiada, aku tahu bagaimana caranya bertahan. Aku baik-baik saja.”
“Tetap saja, kehilangan penglihatanmu sementara waktu… atau mungkin lebih lama… itu bukan hal kecil, Ziyo.”
Ziyo mengangkat bahu dengan santai, meski hatinya sebenarnya memberontak mendengar kata-kata itu. “Aku tidak punya pilihan selain menerima. Jika aku terus meratap, apa bedanya aku dengan orang lemah? Lagi pula, masih ada banyak hal yang harus aku pikirkan, terutama tentang perusahaan.”
Rita terdiam, terkesan dengan ketenangan Ziyo. “Kau benar-benar seperti papamu, selalu memikirkan tanggung jawab lebih dulu.”
Ziyo tersenyum samar. “Papa selalu bilang, kalau aku jatuh, aku harus bangkit dengan kepala tegak. Dan aku berniat melakukannya, Tante.”
Namun, begitu Rita pergi dan pintu kembali tertutup, Ziyo bersandar lebih dalam ke bantal. Ia menghela napas panjang, tangannya mengepal erat di atas selimut. Dalam keheningan itu, akhirnya ia membiarkan sedikit keretakan muncul di tembok emosionalnya. Tapi hanya sejenak. Sebelum siapa pun melihat, ia akan kembali menjadi Ziyo yang tenang dan tak tergoyahkan.
***
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Ziyo akhirnya diperbolehkan pulang. Dokter menyarankan agar ada seseorang yang bisa membantunya dalam aktivitas sehari-hari selama masa pemulihan. Mengetahui hal itu, Hania mencari cara agar bisa berada di sisi Ziyo dan merawatnya.
Dan di sinilah Hania berada, berdiri di depan pos satpam rumah Ziyo, menggenggam tas kecilnya dengan erat. Ia terlihat gugup, sesekali melirik ke arah pintu gerbang besar yang tertutup rapat. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia melangkah maju.
“Pak, maaf mengganggu,” sapanya dengan suara lirih.
Satpam paruh baya yang tengah duduk santai sambil membaca koran menoleh. Ia mengangkat alis, matanya langsung memindai penampilan Hania dari ujung kepala hingga kaki. Kacamata tebal, kawat gigi yang mencolok, tompel besar di pipi, dan pakaian yang sederhana membuatnya tampak seperti orang biasa dari desa.
“Ada apa, Neng?” tanya satpam itu akhirnya, nada suaranya setengah waspada.
“Saya dengar dari orang-orang kalau keluarga di sini sedang mencari perawat, Pak,” kata Hania penuh harap. “Saya sangat butuh pekerjaan. Kalau ada lowongan, bisakah saya melamarnya?”
Satpam itu mendengus pelan sambil melipat korannya. “Maaf, Neng. Yang mereka cari itu perawat, bukan pembantu. Lagipula, Neng punya pengalaman atau sertifikat?”
Hania menggeleng cepat. Matanya mulai berkaca-kaca. “Saya memang tidak punya sertifikat, Pak. Tapi, saya pernah merawat paman saya yang sakit stroke selama bertahun-tahun. Saya tahu bagaimana merawat orang sakit. Tolong, Pak. Saya sangat butuh pekerjaan untuk menyambung hidup.”
Satpam itu menatapnya dengan ragu. “Neng, yang di dalam itu orang penting. Mereka pasti maunya yang profesional. Saya nggak bisa asal rekomendasi orang.”
Air mata Hania mulai mengalir, ia meremas tangannya sambil terisak. “Tolong, Pak. Saya tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau saya tidak bekerja, saya tidak tahu bagaimana harus makan. Saya mohon, Pak. Izinkan saya mencoba.”
Pak Satpam menatap Hania yang terus meremas tangannya dengan air mata mengalir di wajahnya. Ia terdiam, rasa iba mulai muncul di wajahnya. Gadis itu tampak benar-benar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan segala hal dan berusaha menggenggam secercah harapan terakhir. Suaranya bergetar penuh permohonan, namun di balik itu, ia bisa melihat ada ketulusan yang sulit, diabaikan.
Bukan kali pertama ia menghadapi orang yang datang ke rumah besar ini dengan harapan bekerja. Banyak yang mencoba menawarkan diri, beberapa bahkan memohon dengan cara serupa. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari gadis di depannya ini. Ia tidak melihat ambisi atau kepalsuan dalam matanya, melainkan kejujuran yang hampir menyakitkan untuk disaksikan. Namun, ia tetap tampak ragu.
Ia tahu ini ide gila. Membantu seseorang yang bahkan tidak punya sertifikat untuk pekerjaan seperti ini bisa saja menjadi masalah besar. Apalagi ia tidak mengenal gadis itu. Tapi, ia tidak tega. Keputusasaan gadis itu begitu nyata, seperti lonceng kecil yang terus-menerus berdentang di benaknya, meminta untuk didengar.
“Neng,” akhirnya Pak Satpam berkata, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia menghela napas panjang, menatap wajah Hania yang penuh harap. “Ini ide gila. Tapi kalau saya bilang tidak, Neng bisa pingsan di depan saya karena terlalu sedih.”
Mata Hania yang basah memancarkan secercah harapan. “Pak,” ujarnya lirih, penuh permohonan. “Kalau Bapak tidak keberatan, tolong katakan kalau saya ini tetangga. Saya janji tidak akan macam-macam. Saya akan bekerja sebaik mungkin. Bapak hanya perlu bilang kalau saya orang yang bisa dipercaya. Tolong, Pak.”
Pak Satpam kembali menghela napas panjang. “Saya nggak yakin ini langkah yang benar. Tapi kalau saya menolak, rasanya saya nggak akan bisa tidur nyenyak malam ini.”
Hania menggenggam tangannya erat, seolah takut harapan itu menguap begitu saja. “Saya janji, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak.”
Pak Satpam menggeleng pelan sebelum akhirnya mengangguk, menyerah pada ketulusan di mata gadis itu. “Baiklah. Tapi Neng harus janji, jangan sampai macam-macam,” katanya, mencoba terdengar tegas meski hatinya sudah luluh. “Dan kalau ada apa-apa, jangan seret saya ke dalamnya.”
“Saya janji, Pak. Saya hanya ingin bekerja dengan baik dan tidak akan melibatkan Bapak dalam masalah apa pun.” Hania menatapnya dengan penuh kesungguhan, rasa lega mulai menghangatkan dadanya.
Satpam itu hanya menggelengkan kepala sambil mengembuskan napas panjang, menyesali apa yang akan ia lakukan, tapi hatinya telah kalah oleh rasa iba."Baiklah, kamu boleh masuk."
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Hania sambil menghapus air matanya. Ia membungkuk berkali-kali dengan rasa syukur yang tak bisa disembunyikan.
Melihat senyum penuh syukur dan ucapan terima kasih yang keluar dari Hania, ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ia telah membantu seseorang yang terlihat benar-benar membutuhkan. Mungkin ini adalah keputusan yang berisiko, tapi hatinya berkata bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
...🔸"Tindakan yang lahir dari hati nurani adalah cermin jiwa yang murni. Hanya jiwa yang murni yang bisa melihat ketulusan hati."🔸...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania membantu ziyo supaya posisinya tidak bs digeser sebagai pemilik perusahaaan...
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....