Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan Hari di Kegelapan
8.1 Keajaiban Dzikir
Hari ke-8 di bunker, gelapnya kegelapan masih menyelimuti mereka, dan suasana di dalam bunker tetap mencekam. Kegelapan yang pekat terus melanda, dan udara terasa semakin tipis. Namun, meskipun segala kesulitan ini, para orang beriman merasa ada keajaiban yang menguatkan mereka—dzikir yang mereka amalkan.
Sarah duduk di sudut bunker, mulutnya terus-menerus berdzikir. Meskipun dia tidak dapat melihat apa-apa, dia merasa ketenangan yang luar biasa melalui setiap kata yang diucapkannya. “Subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar,” gumamnya pelan, mengulang-ulang dengan penuh keyakinan. Keajaiban dzikir ini memberi mereka sedikit kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertahan.
Sementara itu, di bagian bunker yang lain, sekelompok orang kafir dan non-Muslim yang sebelumnya sempat nekat keluar mengalami kesulitan yang lebih berat. Mereka tampak putus asa dan menghadapi keadaan yang semakin memburuk. Ketidakpercayaan mereka terhadap dzikir dan iman membuat mereka menghadapi penderitaan lebih parah.
“Berapa banyak lagi yang harus kita hadapi?” terdengar suara frustasi salah satu dari mereka, David, yang duduk dengan lesu. “Kita sudah kehabisan semua makanan dan air. Kita hampir tidak bisa bertahan lebih lama lagi.”
“Air kencing kita harus cukup untuk bertahan,” kata salah seorang lainnya, Susan, dengan nada pasrah sambil menatap gelas kecil di tangannya. Mereka terpaksa meminum air kencing mereka sendiri untuk bertahan hidup, sebuah tindakan yang sangat memprihatinkan.
8.2 Kesulitan dan Kegigihan
Di dalam bagian bunker tempat orang beriman berkumpul, mereka melakukan segala cara untuk menjaga semangat tetap hidup. Beberapa dari mereka berkumpul untuk berbagi cerita dan saling mendukung. Meskipun kegelapan dan kepenatan membuat mereka merasa sangat kelelahan, semangat dzikir membantu mereka tetap bertahan.
“Kita harus terus berdoa,” kata Ahmad, mencoba memberikan motivasi. “Ini adalah ujian berat, tetapi kita harus percaya bahwa Allah akan memberikan jalan keluar untuk kita.”
“Benar,” tambah Aisyah dengan penuh keyakinan. “Dzikir dan doa kita adalah penghubung kita dengan Allah. Kita tidak boleh menyerah.”
Sementara itu, keadaan di sisi bunker yang lebih gelap semakin mengkhawatirkan. Terlihat beberapa orang yang semakin tidak terawat, kulit mereka kering dan pucat karena kekurangan cairan. Mereka saling bergantung pada satu sama lain untuk mengatasi kesulitan ini.
“Aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan,” kata Michael, dengan suara lemah. “Kondisi ini benar-benar mengerikan.”
“Aku merasa tubuhku semakin lemah,” kata Susan, yang mengeluh karena meminum air kencing dan merasa mual. “Kami butuh solusi yang lebih baik.”
Para orang beriman, meski menghadapi kesulitan, tetap berusaha membantu mereka yang berada dalam kondisi kritis. Mereka memberikan dukungan moral dan doa, berharap ada jalan keluar dari kegelapan ini.
8.3 Ketegangan dan Harapan
Hari-hari berlalu, dan para orang beriman terus berdzikir dengan penuh keyakinan, meskipun beberapa dari mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang ekstrem. Mereka mencoba untuk menjaga semangat dan harapan tetap hidup, berharap suatu saat Allah akan memberikan pertolongan.
Di sisi lain, kelompok orang kafir dan non-Islam semakin berputus asa. Mereka merasa tersiksa dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Satu-satunya harapan mereka adalah terus bertahan hingga ada solusi yang datang, meskipun keyakinan mereka terhadap dzikir dan doa sangat minim.
“Kita harus bertahan sedikit lebih lama,” kata David, mencoba membangkitkan semangat teman-temannya. “Mungkin ada harapan.”
“Tapi harapan itu semakin menipis,” balas Susan dengan nada putus asa. “Kami tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan.”
Di dalam bunker, meskipun suasana masih sangat gelap dan penuh kesulitan, ada satu hal yang terus menguatkan mereka—keyakinan akan pertolongan Allah yang akan datang. Mereka terus berdzikir dan berdoa dengan penuh harapan, berharap hari-hari yang gelap ini akan segera berlalu dan mereka akan mendapatkan cahaya harapan kembali.
8.4 Permohonan dan Harapan Baru
Hari ke-8 di bunker, suasana masih mencekam dengan kegelapan yang menyelimuti. Beberapa orang beriman terus berdzikir, sementara di sisi lain, keadaan semakin kritis bagi kelompok non-Muslim. Mereka yang kehabisan cara dan putus asa mulai mencari harapan baru.
Salah satu pria dari kelompok non-Muslim, Mark, yang tampak sangat lemah dan hampir tidak mampu berdiri, mendekati ulama dengan suara bergetar. Dia menggenggam perutnya yang kosong dan tampak sangat menderita.
“Tuan,” kata Mark dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Bolehkah saya mengikuti Anda? Saya sudah menggigil kelaparan dan rasanya hampir mati.”
Ulama itu, yang duduk dengan tenang di tengah kegelapan, mengangguk dengan penuh simpati. “Tentu, itu sangat bagus,” jawabnya dengan nada yang menenangkan. “Pertama, bacalah dua kalimat syahadat dengan tulus. Ini adalah langkah awal untuk memulai perjalanan imanmu.”
Mark, dengan tangan yang gemetar, mulai mengucapkan syahadat dengan suara yang pelan namun jelas, “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah.”
Ulama itu mengangguk puas. “Bagus, sekarang kamu telah memulai langkah pertama. Selanjutnya, mari kita berdzikir bersama. Ingat, dzikir adalah kunci kita untuk bertahan di tengah segala kesulitan ini.”
Mark, meskipun masih lemah, mencoba mengikuti dzikir bersama ulama dan orang-orang beriman lainnya. “Subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar,” ucapnya pelan, berusaha menenangkan diri.
Meskipun suasana di dalam bunker tetap gelap dan penuh ketegangan, kehadiran Mark yang baru bergabung memberikan harapan baru bagi banyak orang. Kelompok orang beriman merasa lebih kuat dengan adanya tambahan dukungan dan percaya bahwa mereka dapat membantu satu sama lain untuk bertahan.
Beberapa orang beriman, termasuk Sarah dan Ahmad, mendekati Mark dan memberinya sedikit makanan dan air. “Kami tidak punya banyak,” kata Ahmad sambil memberikan sepotong kecil roti, “tetapi ini semua yang kami punya. Semoga ini membantu.”
Mark mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih banyak. Saya sangat menghargai ini.”
Ulama itu mengarahkan perhatian kepada seluruh kelompok. “Sekarang, mari kita semua fokus pada dzikir dan doa kita. Kita harus tetap bersabar dan saling mendukung. Ini adalah ujian yang sangat berat, tetapi kita akan melewatinya dengan iman dan keteguhan hati.”
Seiring berjalannya waktu, ulama terus memimpin doa dan dzikir, sementara para pengikutnya berusaha untuk saling mendukung dan menguatkan. Meskipun mereka masih dalam kegelapan, ada sedikit cahaya harapan yang memancar dari keyakinan mereka, dan mereka terus berdoa agar Allah memberikan pertolongan untuk melewati masa-masa sulit ini.
8.5 Penantian dan Kesabaran
Hari ke-8 berlalu dengan penuh tantangan. Kegelapan di bunker semakin terasa menekan, dan udara di dalam semakin panas. Para penghuninya terus berusaha bertahan hidup dengan hanya mengandalkan dzikir dan doa. Namun, untuk kelompok non-Muslim, keadaan semakin memprihatinkan.
Mark, yang baru bergabung dengan kelompok beriman, terlihat semakin lemah. Dia duduk bersandar di dinding bunker, sementara orang-orang beriman membantunya sebaik mungkin. Meskipun begitu, tidak semua orang non-Muslim bersedia mengikuti jalan yang sama.
Di sisi lain, beberapa orang kafir dan non-Muslim yang tetap bersikeras menolak ajaran ulama tetap melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Mereka mulai mendekati titik putus asa, dan ketidakstabilan emosional semakin meningkat.
Salah satu dari mereka, Lisa, terlihat sangat tertekan. Dia berteriak dengan frustasi, “Ini tidak ada habisnya! Kami hampir mati kelaparan dan Anda semua hanya duduk di sini, berdzikir!”
Seorang pria dari kelompok beriman, Faisal, mencoba menenangkan Lisa. “Kami semua berada di sini bersama-sama. Ini bukan saatnya untuk saling menyalahkan. Kami harus terus bertahan dan berdoa.”
Lisa menatap Faisal dengan mata merah penuh amarah. “Mudah bagi kalian untuk mengatakan itu, tapi kalian tidak tahu betapa sulitnya situasi kami!”
Ulama itu kemudian berdiri dan mendekati Lisa dengan langkah pelan. “Sabar, saudariku. Kesabaran adalah bagian dari iman. Jangan biarkan kemarahanmu menguasai dirimu. Allah melihat usaha dan doa kita.”
Lisa, meskipun masih merasa marah dan putus asa, mulai menyadari bahwa mungkin ada sedikit kebenaran dalam kata-kata ulama. Dengan enggan, dia mulai mengikuti dzikir bersama. Suara dzikir di bunker membentuk semacam irama yang memberikan ketenangan di tengah kekacauan.
Sementara itu, kelompok beriman mulai merasakan sedikit perubahan. Perasaan lapar dan kehausan yang mereka alami tidak menghilang sepenuhnya, tetapi mereka merasa lebih kuat secara mental. Dukungan dari satu sama lain dan keyakinan yang semakin mendalam membuat mereka tetap bertahan.
Mark, dengan penuh kesyukuran, mengucapkan, “Terima kasih atas semua bantuan dan doa kalian. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang.”
Ulama itu menanggapi dengan lembut, “Semua ini adalah bagian dari ujian. Kita harus terus berusaha dan berdoa. Kita tidak tahu kapan kegelapan ini akan berakhir, tetapi kita harus tetap beriman dan saling mendukung.”
Para pengikut ulama mulai berdzikir lebih intensif. Meskipun dalam kegelapan, mereka merasa bahwa kekuatan iman mereka memberikan secercah harapan di tengah kesulitan. Mereka saling menguatkan, berbagi cerita, dan mendengarkan satu sama lain untuk menjaga semangat tetap hidup.
Dengan setiap dzikir dan doa, mereka berharap agar Allah memberikan keajaiban dan mengakhiri masa-masa sulit ini. Meskipun masa depan tampak suram, harapan dan keteguhan hati mereka tetap menjadi sumber kekuatan di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka.
8.6 Bau Menyengat dan Kesulitan Semakin Meningkat
Delapan hari di dalam bunker tanpa cahaya, makanan, atau air membuat suasana semakin menyiksa. Mulut para penghuninya mulai mengeluarkan bau busuk yang menyengat, hasil dari kekurangan makanan dan minuman. Aroma ini semakin pekat karena kondisi tubuh mereka yang melemah, dan kegelapan hanya memperburuk keadaan.
Lisa, yang mulai mengikuti dzikir, merasakan betapa menawannya bau tersebut. “Aduh, bau apa ini?” keluhnya sambil menutup hidung dengan ujung bajunya. “Ini benar-benar tidak tertahankan.”
Faisal, yang duduk di dekatnya, mengangguk setuju. “Kami semua merasakannya. Bau ini berasal dari mulut dan tubuh kita yang sudah tidak mendapatkan nutrisi selama delapan hari. Kita harus terus berdzikir dan berdoa.”
Sementara itu, ulama mencoba menenangkan suasana dengan memberikan dorongan moral. “Saudaraku, jangan biarkan bau dan ketidaknyamanan membuat kita kehilangan semangat. Ini adalah ujian berat dari Allah. Kita harus terus berdoa dan saling mendukung. Ketika kita merasa lemah, ingatlah bahwa iman kita adalah kekuatan terbesar kita.”
Seorang wanita, Maria, memandang ulama dengan penuh harapan. “Tuan, apakah ada kemungkinan untuk bertahan lebih lama seperti ini? Apakah ada harapan bahwa keadaan akan membaik?”
Ulama itu menatap Maria dengan lembut. “Kita tidak bisa tahu pasti kapan Allah akan mengakhiri ujian ini, tetapi kita harus percaya bahwa setiap ujian ada batasnya. Kita terus berdoa dan berusaha semaksimal mungkin. Ini adalah cara kita menunjukkan kesabaran dan keimanan kita.”
Di tengah-tengah kegelapan, beberapa orang tampak mulai kehilangan kesabaran. Salah satu pria, David, berteriak dengan frustrasi, “Aku tidak tahan lagi! Bau ini terlalu menyiksa dan perutku terasa sangat kosong!”
Seorang wanita dari kelompok beriman, Fatimah, mencoba menenangkannya. “Kita semua mengalami kesulitan yang sama. Sabar, David. Kita harus terus berdzikir dan berdoa.”
David menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku hanya berharap ada sedikit cahaya di ujung terowongan. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini.”
Ulama kemudian memutuskan untuk memimpin dzikir bersama. Suara dzikir di bunker mulai bergema, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan. “Ingatlah, saudaraku, setiap dzikir adalah cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah sumber kekuatan kita dalam kegelapan ini.”
Meskipun bau dan ketidaknyamanan semakin menjadi-jadi, kehadiran ulama dan semangat dari kelompok beriman memberikan sedikit kelegaan. Mereka saling berbagi kata-kata dorongan dan dukungan, berusaha menjaga semangat hidup mereka di tengah kesulitan yang semakin memuncak.
Kegelapan di luar tetap tebal dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, tetapi di dalam bunker, harapan dan keteguhan hati mereka tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka.
8.7 Kekacauan di Dalam Kegelapan
Di tengah suasana yang mencekam dan bau yang semakin menyengat, ketegangan di dalam bunker mencapai titik puncaknya. Salah satu orang kafir, Jonathan, yang tidak mampu menahan kesabarannya, memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat mengganggu.
Jonathan, yang sudah sangat frustrasi, sengaja mendekati teman-temannya yang juga kafir, Daniel dan Alex. Dengan sengaja, dia menghembuskan nafas busuknya ke arah mereka. “Hei, rasakan ini!” teriak Jonathan dalam kegelapan, suaranya penuh dengan nada ejekan.
Daniel, yang sudah sangat terganggu oleh bau tersebut, melompat kaget. “Apa yang kamu lakukan, Jonathan?” tanyanya marah. “Apa kamu tidak bisa menunjukkan sedikit rasa hormat?”
Alex, yang merasa bau tersebut semakin menyengat, tidak bisa menahan emosinya. “Berhenti bermain-main! Kita semua sudah menderita di sini, dan ini yang kamu lakukan?”
Pertengkaran kecil ini dengan cepat berkembang menjadi perkelahian. Di dalam kegelapan, mereka tidak bisa melihat satu sama lain, dan hanya bisa saling merasa dan mendengar. Suara tinju dan pukulan saling bertemu, diiringi dengan jeritan dan teriakan marah.
“Aku tidak tahan lagi dengan bau ini!” teriak Jonathan, tampak semakin marah. “Kalian semua seharusnya bersyukur masih hidup di sini!”
Daniel berusaha untuk membela diri. “Kau yang menyebabkannya, Jonathan! Kenapa harus begitu jahat?”
Perkelahian semakin sengit, dengan tinju-tinju yang saling menghantam dan suara-suara kesakitan yang terdengar. Para pengikut ulama berusaha memisahkan mereka, tetapi karena keterbatasan penglihatan dan ruang yang sempit, usaha mereka untuk meredakan konflik menjadi sangat sulit.
Fatimah, yang melihat kekacauan ini, berteriak, “Berhenti! Kalian semua harus tenang! Ini hanya akan membuat keadaan semakin buruk!”
Ulama segera mendekati keributan tersebut. “Saudaraku, hentikan perkelahian ini! Kita semua berada di sini dalam kondisi yang sama. Pertikaian seperti ini hanya akan membuat kita semua lebih menderita!”
Dengan suara tegas, ulama memimpin beberapa orang untuk mencoba meredakan keributan. “Berdirilah semua! Saling berpegangan tangan dan berdzikir. Ini adalah saatnya untuk bersatu, bukan berkelahi.”
Beberapa orang mulai mengikuti perintah ulama dan berdzikir bersama, sementara yang lainnya masih berusaha menenangkan diri. Jonathan, Daniel, dan Alex, yang terengah-engah, akhirnya berhenti berkelahi, tetapi suasana di dalam bunker tetap tegang.
Ketegangan yang sudah melanda mereka semakin meningkat, tetapi semangat dari para pengikut ulama tetap menjadi penyejuk di tengah kekacauan. Meskipun kekurangan makanan, minuman, dan kelelahan fisik yang semakin parah, mereka terus berusaha untuk tetap bersatu dan saling mendukung di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka.