Dunia dimana yang kuat berkuasa dan yang lemah di tindas, tempat dimana banyak harta karun tersembunyi dan hewan moster berkeliaran. Seni bela diri adalah kehidupan dan kehidupan adalah seni bela diri itu lah kehidupan para kultivator
Zhou Yun yang merupakan keturunan dari Klan Zhou yang agung, serta mempunyai bakat yang luar biasa ingin menyatukan seluruh upper realm dibawah namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pengangguran Sukses, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balas Dendam
Langit senja menyelimuti Sekte Pedang Surgawi ketika sosok Zhou Yun turun perlahan dari puncak gunung tetua agung. Aura tubuhnya berbeda—tenang, tapi setiap langkahnya membuat udara bergetar, seolah pedang tak terlihat selalu menyertainya.
Namun, semakin ia mendekati wilayah murid elit, kening Zhou Yun berkerut. Bau darah samar tercium.
Saat ia tiba di halaman fraksinya, pemandangan yang menyambutnya membuat dadanya bergetar hebat.
Rumah megah yang diberikan sekte kepada Fraksi Pedang Dao Surgawi kini hancur porak-poranda. Tiang-tiang patah, dinding retak, dan halaman penuh bercak darah.
Di antara reruntuhan, ia melihat murid-muridnya tergeletak, sebagian tak sadarkan diri. Zhou Shen duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat, darah mengalir dari bibir. Lan Xue terbaring dengan luka pedang di bahu, dan Su Linger’er memegangi perutnya yang berlumuran darah, napasnya terengah.
“Zhou… Yun…” suara serak Zhou Shen memanggil ketika melihatnya.
Zhou Yun segera melangkah cepat, membantu mereka dengan aura spiritualnya.
“Siapa yang melakukan ini!?”
Zhou Shen menggertakkan giginya, suaranya penuh amarah.
“Fraksi… Dragon Sword… Lin Feng… dia menyuruh Pang Tong dan para anjingnya menyerbu. Mereka bilang fraksi kita hanya sampah… lalu mereka hancurkan semuanya.”
Lan Xue menatap Zhou Yun dengan mata penuh kesedihan.
“Kami melawan… tapi terlalu kuat. Pang Tong sendiri… berada di ranah True God… kami tidak mampu menahannya.”
Su Linger’er mencoba tersenyum, meski tubuhnya gemetar.
“Kami… menunggu kau kembali, tapi mereka tidak memberi kesempatan…”
BRUK!
Aura pedang membuncah dari tubuh Zhou Yun. Tanah bergetar, reruntuhan terbelah. Murid-murid yang masih sadar terdiam, tubuh mereka gemetar bukan karena luka, tapi karena aura membunuh yang begitu pekat seakan malam berubah menjadi neraka.
Wajah Zhou Yun tetap tenang, tapi matanya menyala seperti bara.
“Lin Feng… Pang Tong… kalian berani menyentuh orang-orangku…”
Udara di sekitar berdesir, seperti ribuan pedang yang ditarik dari sarung. Bahkan langit tampak meredup, seakan merasakan amarah yang menekan.
Namun, Zhou Yun tahu satu hal—ketua sekte sedang dalam pelatihan tertutup, tidak bisa diganggu. Tetua agung pun masuk ke dalam meditasi setelah mengajarinya, juga tidak bisa dihubungi.
Itu berarti… dia harus menanggung semuanya seorang diri.
Dengan tatapan dingin, Zhou Yun berdiri di tengah reruntuhan fraksinya.
“Mulai malam ini… Fraksi Pedang Dao Surgawi akan bangkit kembali dengan darah.”
Suara itu bukan teriakan, namun setiap kata seakan menancap di jiwa murid-muridnya.
Zhou Shen yang masih terluka tersenyum getir.
“Zhou Yun… kau… akan benar-benar melawan Fraksi Dragon Sword?”
Zhou Yun menatap lurus ke arah langit, ke puncak tempat kediaman Fraksi Dragon Sword berdiri megah.
“Bukan hanya melawan… aku akan menebas mereka sampai dunia tahu… siapa yang berani menyentuh pedangku.”
Di tengah reruntuhan yang porak-poranda, Yan Mei berlari-lari kecil sambil membawa kantong obat spiritual. Wajahnya pucat, tapi tatapannya penuh tekad.
“Cepat! Bawa yang pingsan ke sini! Aku masih punya pil pemulih luka,” teriaknya pada murid-murid lain.
Beberapa murid perempuan ikut membantu, merawat Lan Xue, Su Linger’er, dan murid-murid yang terluka parah. Cahaya hijau dari teknik penyembuhan Yan Mei menyelimuti tubuh mereka, menahan pendarahan agar tidak semakin parah.
Di sisi lain, Zhou Yun berdiri tegak, matanya menatap reruntuhan markas dengan dingin. Di belakangnya, lima anggota inti yang masih berdiri gagah melangkah maju satu per satu.
Feng Yuhao, dengan pedang hitamnya, wajah penuh amarah.
Bai Yufan, yang meski penuh luka gores, masih menggenggam pedangnya erat.
Chen Rong, si tenang berwajah dingin, matanya berkilat membunuh.
Lu Tianhe, tubuh besar seperti gunung, darah menetes dari kepalan tangannya.
Huo Zhan, rambut merahnya berkibar, aura apinya bergetar menahan amarah.
Mereka berdiri membentuk setengah lingkaran di belakang Zhou Yun, seakan lima jenderal yang siap berperang.
“Zhou Yun,” ucap Feng Yuhao dengan suara berat. “Kami masih bisa bertarung. Kami ikut denganmu.”
“Benar,” sambung Bai Yufan, menggertakkan gigi. “Fraksi Dragon Sword sudah melukai saudara-saudari kita. Kalau kita hanya berdiam diri, apa gunanya kita disebut murid pedang?”
Lu Tianhe mengangkat pedang besinya, wajahnya suram.
“Aku ingin mematahkan tulang Pang Tong itu dengan tanganku sendiri.”
Chen Rong hanya mengangguk singkat, tapi aura pedangnya bergetar liar, lebih dari cukup untuk menunjukkan tekadnya.
Huo Zhan meludah ke tanah, matanya menyala bagai bara api.
“Kalau kau menyerang Dragon Sword malam ini, Zhou Yun… aku ada di barisan depan.”
Zhou Yun menatap kelima sahabat seperjuangannya. Ia tidak berkata panjang, hanya mengangguk pelan, lalu menghunus pedangnya. Cahaya tajam membelah malam, membuat semua murid yang melihatnya bergidik.
“Kalau begitu, ikuti aku. Malam ini… darah Dragon Sword akan mengalir.”
Mereka berenam berjalan meninggalkan reruntuhan, langkah mereka mantap, aura mereka menekan meski hanya enam orang.
Di belakang, Yan Mei menatap punggung mereka yang menjauh. Ia menahan air mata, sambil terus merawat yang terluka.
“Zhou Yun…” bisiknya pelan, “hati-hati. Jangan sampai kau juga hilang dari kami.”
Malam itu, markas Fraksi Dragon Sword dipenuhi cahaya obor. Puluhan murid sedang berpesta merayakan kemenangan mereka. Gelas arak beradu, tawa keras menggema, dan lagu pedang dinyanyikan dengan suara mabuk.
Di aula utama, Pang Tong duduk di kursi tinggi, wajahnya penuh senyum puas.
“Hahaha! Lihatlah, fraksi baru itu hancur dalam sekejap. Mereka pikir bisa menolak Dragon Sword? Dasar bodoh!”
Para bawahan tertawa keras, memuji Pang Tong, membicarakan bagaimana Fraksi Dao Surgawi tidak akan pernah bangkit lagi.
Namun di saat pesta sedang ramai, sebuah teriakan mengguncang langit:
“Lin Feng! Pang Tong! Keluarlah kalian tikus busuk! Aku, Zhou Yun, datang menagih darah yang kalian tumpahkan!”
Suara itu seperti guntur, bergema ke seluruh markas Dragon Sword. Obor bergetar, bahkan lantai batu berderak seolah retak karena getaran auranya.
Suasana pesta mendadak membeku. Semua murid Dragon Sword terdiam, wajah mereka pucat.
“Z-Zhou Yun…?” bisik salah satu murid.
“Bagaimana mungkin dia berani datang ke sini… sendirian?!”
Tapi begitu mereka keluar dari aula, pandangan mereka membelalak. Zhou Yun berdiri di gerbang markas Dragon Sword dengan jubah putihnya yang berkibar, pedang di tangan, dan lima murid inti di belakangnya—Feng Yuhao, Bai Yufan, Chen Rong, Lu Tianhe, dan Huo Zhan.
Enam orang itu berdiri bagaikan enam dewa perang, aura mereka menekan seluruh markas.
Zhou Yun melangkah maju, suaranya dingin menusuk tulang:
“Dragon Sword… malam ini, kalian akan membayar dengan darah.”
Aura pedangnya melonjak, menembus langit malam. Bahkan murid-murid yang berdiri jauh merasa paru-paru mereka terhimpit.
Tiba-tiba terdengar suara tawa keras. Dari dalam aula, Pang Tong keluar dengan langkah mantap, diikuti belasan murid elit Dragon Sword. Aura True God menyembur dari tubuhnya, mengguncang udara.
“Hahaha! Jadi benar kau datang, Zhou Yun!” teriaknya dengan suara keras.
“Bagus! Aku sudah menunggu saat ini. Kau pikir enam orangmu bisa menghancurkan Dragon Sword? Kau terlalu tinggi hati!”
Ia mengangkat tangan, menunjuk lurus pada Zhou Yun.
“Malam ini, aku akan membuat semua orang tahu bahwa Fraksi Dao Surgawi hanya bayangan yang tidak layak ada di Sekte Pedang Surgawi!”
Di belakangnya, belasan murid Dragon Sword bersorak, menarik pedang mereka.
“Bunuh mereka! Hancurkan Dao Surgawi sepenuhnya!”
Zhou Yun tidak bergerak, hanya menatap Pang Tong dengan mata tajam bagaikan pedang terhunus.
“Mulutmu banyak bicara, Pang Tong. Mari kita lihat… apakah tubuhmu sekuat lidahmu.”