Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Suci
Aula itu sunyi.
Sunyi yang aneh—bukan karena kosong, tapi karena semua orang menahan napas.
Dentum pelan musik biola dan organ gereja mengalun, melayang di udara, menutup setiap celah keheningan. Aroma mawar putih dan peach bercampur dengan wangi lilin gereja yang lembut.
Pendeta tua dengan jubah putih berdiri tegap di depan altar, tangannya menangkup Alkitab. Wajahnya teduh, mata tuanya penuh wibawa dan damai.
Hari itu, aula keluarga Evander bukan sekadar aula. Hari itu, aula itu adalah gereja.
Para tamu duduk dengan rapi di kursi berlapis satin putih.
Beberapa dari mereka—wanita tua dengan topi kecil, pria-pria berjas mahal—membetulkan posisi duduk, wajah-wajah mereka berseri. Kamera dari media dan beberapa fotografer profesional mengabadikan setiap sudut ruangan, tapi tak ada yang berani bergerak terlalu cepat, seolah takut merusak keagungan momen itu.
Di depan altar, Kael sudah berdiri.
Setelan jas hitamnya jatuh sempurna, dasi peraknya senada dengan bros kecil di kerah. Wajahnya tetap setenang pahatan marmer. Tapi kalau diperhatikan lebih dekat—di rahang itu ada ketegangan, di jemari itu ada ketidaktenteraman.
Kael menggenggam dan melepaskan tangannya sendiri. Sekali, dua kali.
Seolah ia sedang mencoba menenangkan badai kecil yang mengamuk di dadanya.
Pintu Besar Itu Terbuka
Semua kepala menoleh serentak.
Dan di ambang pintu, Lovy berdiri.
Gaun putihnya menangkap cahaya chandelier, membuatnya seperti bercahaya. Veil halus membingkai wajahnya, sementara buket mawar putih di tangannya hampir bergetar karena ia menggenggamnya terlalu erat.
Lovy menarik napas panjang. Satu, dua.
Lalu langkah pertamanya terdengar—tap.
Dan seolah lantai marmer ikut bergetar.
Bisik-bisik pelan mulai terdengar. Flash kamera tak henti-hentinya menyala, menangkap banyak gambar memukau.
"Cantik sekali…"
"Seperti malaikat…"
"Neneknya pasti bangga di surga… "
"Kenapa jadi neneknya?"
"Sssttt... Ku dengar dia cucu keluarga Luwiys. Sebelum Neneknya meninggal, perjodohan ini sudah disepakati, tapi ditentang oleh pihak wanita."
"Gosip dari mana itu?! Hentikan! Nanti ada yang mendengar!"
Kamera-kamera memotret. Tamu-tamu berbisik kagum sekaligus bergosip riang.
Tapi di barisan paling belakang, ada satu sosok yang tidak ikut tersenyum.
Seorang wanita cantik.
Gaun merah maroon membalut tubuhnya, terlalu mencolok dibandingkan dress tamu lain yang sopan dan netral. Bibirnya merah darah, matanya tajam—dan mereka menatap Lovy dengan iri yang tak disembunyikan.
Ia tidak duduk. Ia berdiri di pojok aula, menatap semua prosesi itu seperti sedang menonton panggung yang seharusnya miliknya.
Tidak ada undangan di tangannya. Tidak ada nama di daftar tamu.
Ia tidak diundang.
Bisik-bisik kecil terdengar dari tamu terdekat. Etensi mereka ke arah wanita itu.
"Siapa itu? Aku tidak kenal."
"Dia tamu Tuan Kael? Atau keluarga Luwiys?"
"Gaunnya… kenapa merah sekali?"
Wanita itu tidak peduli dengan bisikan itu.
Ia hanya menatap ke depan—menatap Lovy, menatap Kael, matanya berkilat… ada rasa iri, ada rasa dendam, dan entah apa lagi.
Lovy tidak langsung menyadarinya karena fokusnya pada altar, tapi Samuel menangkap bayangan itu sekilas. Ia mengernyit, matanya menajam.
Sementara itu, Donovan, yang duduk tak jauh dari sana, hanya tersenyum tipis saat matanya bertemu dengan wanita itu.
Sekilas—hanya sekilas—mereka seperti saling mengenal.
****
Lovy tersenyum kecil. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya menatap lurus ke depan—ke arah Kael.
Dan di sana, Kael menatap balik.
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ekspresi Kael berubah.
Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang bahkan Lovy tidak bisa artikan sepenuhnya.
Bukan senyum, bukan tawa, tapi bukan datar juga. Lebih seperti…
… akhirnya.
Ya. Itu tatapan orang yang akhirnya menemukan sesuatu yang lama ia tahan.
Lovy merasakan wajahnya memanas. Hatinya memukul-mukul dadanya dari dalam.
Samuel berjalan di samping Lovy, sebagai wali. Jasnya rapi, dasinya sempurna, tapi matanya merah. Bukan merah marah—merah karena menahan air mata.
Langkah mereka berdua menuju altar terasa panjang.
Setiap tapak seperti menyibak kenangan.
Samuel mengingat gadis kecil yang dulu suka mengejarnya sambil membawa buku gambar. Gadis kecil yang menangis keras waktu lututnya berdarah jatuh dari sepeda. Gadis kecil yang tidur memeluk boneka beruang cokelat lusuh di rumah mereka.
Gadis kecil itu sekarang… memakai gaun pengantin.
Samuel menggigit bibir. Bahunya bergetar pelan.
"Jangan nangis, Kak." Lovy berbisik, suaranya samar di bawah musik biola. "Nanti aku juga nangis."
Samuel menghela napas, tersenyum tipis meskipun air matanya tetap jatuh.
"Biar aja, Lovy," katanya serak. "Hari ini… nangis itu boleh. Bukan berarti aku cengeng!"
Lovy hanya tersenyum lembut sebagai balasan.
Sampai di depan altar, Samuel terhenti.
Ia menatap Kael. Tatapan itu lama, berat, seakan ada ribuan kata yang tak pernah terucap.
Ada percakapan diam di Antara mereka.
"Kalau kamu sakiti dia, aku akan jadi musuhmu."
"Aku tahu. Aku tidak akan sakiti dia."
Samuel menghela napas dalam, seperti melepaskan sesuatu yang selama ini digenggam. Matanya beralih pada Lovy. Perlahan, jemarinya menyentuh pipi lembut itu, memperbaiki veil yang sedikit bergeser—gerakan kecil, tapi penuh arti.
Lalu ia menuntun tangan Lovy—dan menyerahkannya pada Kael.
Pendeta membuka Alkitabnya, suaranya lembut tapi tegas, bergema di seluruh aula.
"Hari ini, kita berkumpul untuk menyaksikan penyatuan Adrian Kaelith Evander dan Lovy Crisela Luwiys dalam ikatan pernikahan…"
Kata-kata itu melayang-layang, mengisi ruang, masuk ke dada Lovy.
Ia melirik Kael. Pria itu berdiri di sampingnya—tenang, kokoh, seolah semua yang ia takutkan semalam hilang dalam sekejap.
Pendeta berhenti, menatap ke seluruh jemaat.
"Jika ada di antara kalian yang merasa kedua mempelai tidak seharusnya disatukan… katakanlah sekarang, atau selamanya diam."
Sunyi.
Seketika Lovy merasa tenggorokannya kering. Samuel menahan napas. Bahkan Syegi—yang biasanya tak bisa diam—ikut bungkam.
Dan saat itulah…
Donovan bergerak.
Dari bangku sisi kanan, Donovan melangkah ke depan sedikit. Langkahnya pelan tanpa menimbulkan suara.
Senyumnya manis. Terlalu manis.
Seperti tamu baik hati yang ingin memberi ucapan. Tapi tatapannya… tatapannya seperti pisau.
Ia menatap Kael—dan senyumnya sedikit melebar.
Lalu tatapan itu berpindah ke Lovy. Sekilas, hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat jantung Lovy berhenti berdetak.
"Nikmatilah hari bahagiamu dulu. Aku tidak akan mengganggu sekarang, Nak," gumamnya pelan tanpa menghapus senyumnya sama sekali.
Ucapan "Nak" terdengar seperti ejekan.
Isabella yang dari kejauhan memutar bola matanya melihat kelakuan Donovan.
Pendeta menunggu beberapa detik—lalu melanjutkan.
Suara pendeta kembali terdengar.
"Kael, ulangi setelah saya."
Kael menatap Lovy, lalu mengucapkan setiap kata dengan suara rendah, dalam, tapi tegas.
"Aku, Adrian Kaelith Evander… mengambil engkau, Lovy Crisela Luwiys… menjadi istriku. Aku berjanji untuk mencintaimu, menghormatimu… dalam suka dan duka… sampai maut memisahkan kita."
Lovy menggigit bibir bawahnya. Air mata menggenang.
Pendeta beralih ke Lovy.
"Lovy, ulangi setelah saya."
Lovy menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara bergetar.
"Aku, Lovy Crisela Luwiys… mengambil engkau, Adrian Kaelith Evander… menjadi suamiku. Aku berjanji untuk mencintaimu, menghormatimu… dalam suka dan duka… sampai maut memisahkan kita."
Suara Lovy pecah di kalimat terakhir.
Syegi di bangku tamu menatap ke atas, mengibaskan tangan ke wajah.
"Aduh," bisiknya pelan, "mata aku masuk bawang."
Samuel menyerahkan dua cincin emas putih di atas bantal kecil.
Kael mengambil cincin Lovy. Jemarinya sedikit bergetar saat ia menyarungkan cincin itu ke jari manis Lovy.
Mata Kael menatap mata Lovy.
Ada sesuatu di sana.
Sesuatu yang membuat Lovy ingin menangis lebih keras—karena untuk pertama kalinya, ia yakin tatapan itu bukan hanya dingin. Ada yang lain di sana. Ada rasa.
Lovy mengambil cincin untuk Kael. Tangannya lebih gemetar, hampir jatuh, tapi Kael menahan tangannya pelan, menuntunnya.
Cincin itu masuk ke jari manis Kael.
Pendeta tersenyum, menutup Alkitab.
"Dengan ini, aku nyatakan kalian… suami dan istri di hadapan Tuhan.
Kael… you may kiss the bride."
Sunyi.
Semua mata tertuju pada mereka.
Kael menatap Lovy. Tatapan itu dalam, panjang, menusuk.
Jemarinya mengangkat veil Lovy perlahan.
Lovy merasa jantungnya hampir berhenti.
Dan di hadapan semua orang, Kael menunduk—dan mencium Lovy.
Lembut. Singkat. Tapi cukup untuk membuat dunia berputar. Membalaskan keinginan tadi malam.
Tepuk tangan meledak di aula.
Kamera memotret, musik mengalun lebih riang. Beberapa tamu berdiri.
Samuel menutup wajahnya lagi—air mata tak berhenti.
Isabella menatap anaknya, bibirnya tersenyum… tapi matanya? Ada sesuatu yang disembunyikan.
Donovan?
Masih tersenyum. Masih berdiri diam. Masih seperti ancaman manis yang membeku.
Syegi?
Ia berdiri di kursinya, menepuk tangan keras-keras.
"YESSS!" teriaknya. "Akhirnya cium juga!"
Beberapa tamu menoleh, tapi Syegi hanya mengibas-ngibaskan tisu ke wajahnya.
"Aduh, mata aku masuk bawang 2 kilo!"
Di tengah semua sorak sorai, Lovy menatap Kael—dan senyumnya muncul. Ia bahagia.
Tapi jauh di sudut hatinya… ada ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan.
Karena di ujung aula, Donovan masih berdiri di sana.
Tersenyum.
Senyum yang manis… tapi terlalu manis.
Dan Lovy tahu, di balik senyum itu ada badai yang belum datang.
.
.
.