Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Melukis Gunung
Pandanganku lurus ke depan, menggigit bibirku karena sangat gugup luar biasa. Kaki ini tidak mau berhenti bergerak menyentak-nyetak ke meja. Memikirkan waktuku yang sangat singkat ini untuk membatalkan sihir Penyihir yang bahkan wujudnya saja aku tidak tahu, bagaimana caranya aku bisa menghentikannya? Dasar mola-mola, aku akan menarik hidungnya sampai panjang jika aku bertemu lagi dengannya!
"Winola, apa kau mau melumuri tubuhmu dengan cat?"
Samesh mengejutkan lamunanku. Kami berdua sedang berada di paviliun Istana, tepatnya di area melukis.
"Oh, maafkan saya Pangeran, saya terlalu fokus hingga tidak memperhatikan Pangeran." Benar saja, cat air itu tumpah, mengenai rokku.
"Apa yang sedang engkau buat, aku mau melihatnya." Samesh begitu bersemangat menghampiriku, ia sangat sumringah pagi tadi dan membangunkan tidurku yang nyenyak hanya ingin mengajak melukis. Aku Kepalang berbohong bisa melukis indah, dan itu membuat Samesh sangat penasaran, mengajukan tantangan battle melukis.
"Apa ini?" Tanyanya, mendekat.
Dalam suasana hati yang buruk, aku sangat tidak bersemangat sehingga aku hanya membuat lukisan dua gunung mengapit matahari terbit, beberapa petak tanah dan pohon kelapa. Bukankah aku masih jenius karena memikirkan tema lukisan cepat ringkas ini?
"Ini adalah pemandangan di kota Aspen," Kataku, sangat bangga dengan lukisan ini. Waktu aku mengikuti perlombaan dulu, aku menggambar kucing persia, tapi karena aku benci warna putih dan coklat, jadi aku memberinya warna hitam, juri bodoh itu mengira aku melukis rakun dan memberiku peringkat ke tiga puluh tiga, huh.
"Gambaranmu sangat aneh, dan berantakan." Jleppp!, Kata-kata barusan mengiris hatiku menjadi dua. "Tapi ini unik, kau bisa mendeskripsikan rumahmu di sini. Apakah ini pasar? Orang-orang sedang berbelanja?"
"Itu sawah, yang hitam itu padi."
Aku kaget dia menganggapnya pasar, ternyata Samesh lebih kaget jika itu gambar sawah. Matanya berkedut.
"Tetapi, kenapa warnanya hitam?"
"Yeah, padinya gosong terkena matahari." Jawabku, datar.
Mulut Samesh benar-benar mengangga kali ini. Barangkali dia sangat kaget sampai matanya berkedut begitu. "Apa kau tau warna tumbuhan padi?"
Aku tidak pernah melihat tanaman padi sebelumnya, jadi aku pikir warnanya gelap karena terlalu lama kena sinar matahari, sama seperti manusia, kan? "Oh, maafkan saya Pangeran, sepertinya saya memiliki janji untuk bertemu dengan Grand Duke. Saya pamit undur diri."
"Apakah dia selama ini tinggal di gua?" Kudengar, Samesh sedang bergumam di belakangku.
Aku berlari menjauhi Samesh. Pria itu bahkan tak membiarkanku menyentuh makanan sebelum aku menyelesaikan lukisanku. Memang di ceritakan jika obsesinya terhadap lukisan sangat besar, siapa sangka jika ia segila itu.
Napasku terengah, jadi aku istirahat sebentar. Aku melihat Julian di ujung lorong, jadi aku mengejarnya.
"Hey, tuan Julian, ups, Count Julian. Tunggu, tunggu dulu!" Aku berhasil mengejarnya. "Kau—oh, maksudku, anda mau kemana?"
Julian mengangkat sedikit bibirnya, membuat senyum tipis. "Anda tidak perlu berusaha seformal itu kepada saya jika hanya berdua, Lady." Pria ini sangat peka dan baik hati, ya. "Saya mau pergi untuk berlatih."
"Berlatih? Maksudmu, kau mau belajar dokumen-dokumen itu, ya?"
Julian mengeleng, "Bukan, saya harus melatih fisik saya juga."
Aku mengangguk, paham. "Bolehkah aku ikut? Aku juga harus melatih fisikku sebelum melawan penyihir!"
"Mohon maaf, Lady. Tetapi perempuan tidak boleh masuk arena berlatih."
Aku menyingkap lenganku, memperlihatkan bisepku yang kecil ini. "Aku juga bisa menyamar jadi laki-laki!"
Julian tetap kekeh tidak memperbolehkan. Namun, aku terus mengomel seperti kereta uap tanpa henti, membuat waktu berharga Julian terbuang, dan akhirnya ia mengizinkanku masuk, tapi hanya boleh sampai di lorong saja, tak boleh terjun ke arena karena dianggap tidak sopan. Jadi, aku hanya berdiri disini, bersama Hiro dan Boni.
"Tuan Boni, apa kau juga biasanya berlatih tinju-tinjuan? Atau pedang? Oh, mungkin kau ahlinya sumo atau gulat tangan?" Aku sangat penasaran dan bersemangat.
Hiro mulai tertawa kecil. "Kehekeh, Lady, Boni ini hanya tau cara berlari saat bertarung."
Boni memberikan salam tangan kepada wajah Hiro yang mengejeknya. "Saya ahlinya dalam menggunakan senjata jarak jauh, seperti Busur silang, panah, dan senapan."
"Wow, kau keren tuan Boni! Kau harus mengajari aku menggunakan panah. Aku dulu pernah mencobanya dan ikut lomba memanah."
"Juara berapa?" Hiro dan Boni bertanya serentak.
"Juara dua puluh." Alisku bertaut mencoba mengingat lagi, "kalau tidak salah, pesertanya dua puluh tiga. Dua orang gagal menarik busurnya, dan satunya diskualifikasi karena kebelet ke kamar mandi."
Hiro kali ini tertawa terbahak-bahak. Ia bahkan memegangi perutnya saking lucunya, mungkin. Aku pun ikut tertawa saja, setidaknya ini bisa meringankan stres.
"Kehkeh, Lady, anda lucu sekali! Pasti teman anda banyak sekali." Kata Hiro, masih dengan tawa renyahnya.
Boni memberinya salam tangan lagi, "Lady Winola jelas punya banyak teman. Selain cantik, dia juga suka makan, orang yang suka makan pasti banyak teman, haha!"
Aku tersenyum kecut. Teman? Bahkan mereka hanya menjilati sepatuku saat aku masih memiliki semuanya. Ketika aku tidak punya apa-apa, mereka seperti tikus tanah.
Aku marah. "Hey! Kenapa kalian malah bercanda disini! Aku jadi malas, kan. Cepat ajari aku menggunakan senapan ini, ugh, aku sangat marah sampai perutku lapar!"
"Lady, kita belajar yang dasar dulu saja, ya?"
"Kenapa? Meragukan kemampuan ku?"
"Tidak, tapi Lady—"
"Ayo cepat!"
***
Buku-buku bertumpuk diatas meja kerja Grand Duke Aston, ia lembur membaca setiap halaman buku, mencari sesuatu. Mengumpulkan setiap baris kalimat dan di tulis ulang dalam kertas. Ia beberapa kali memijat hidungnya karena merasa lelah. Kantung matanya mulai terbentuk lantaran sulit tidur.
Mendengar suara ketukan di pintu, Ia segera membereskan catatannya dan menyimpannya di laci.
"Anda terlihat tidak tidur, Caspian." Julian membawa nampan dengan gelas keramik berisi teh herbal. "Setidaknya kau harus beristirahat dan menjaga kesehatanmu."
Caspian meminum teh pemberian Julian. Rasa manis dan harum melati membuat kepalanya menjadi lebih ringan. "Apa kau menemukan sesuatu yang aneh dari prilaku Winola?"
"Justru aneh jika beliau bersikap normal." Julian ikut menuang teh dan meminumnya. "Kemarin, Lady menindas dua pelayan, kemarin malam, pegawai dapur mengeluh menemukan kue kering gosong karena ulah Lady yang memasak asal-asalan. Pagi ini Lady Winola meminta saya membawanya ke arena berlatih, beliau memaksa Hiro dan Boni mengajarinya menggunakan senjata jarak jauh."
Julian mengambil minumannya lagi, "Apakah kau juga mendapatkan gangguannya, Caspian?"
Caspian merasakan sudut bibirnya sedikit terangkat membuat senyuman tak berarti. Ia bahkan tak menyangka akan menemukan sosok yang begitu lucu dan berani. "Bukankah dia cukup aneh dan lucu?"
Julian menyandarkan tubuhnya ke belakang, tatapannya menjadi serius. "Caspian, aku sudah berteman dengamu sejak kita masih di Akademi. Aku tahu persis apa yang engkau suka dan tidak." Suaranya merendah, penuh penekanan. "Aku harap kali ini kau lebih bijak menentukan pilihanmu."
Tangan Caspian mengepal ringan, dahinya semakin berkerut ke dalam, menampilkan kekesalan yang sulit diucapkan.
"Terima kasih, Julian."
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih