Cewek Tengil Itu Istriku

Mila mondar mandir diteras demi menunggu putra kesayangannya yang hingga jam 7 malam belum pulang. Bukan hal yang aneh memang Saga pulang malam, tapi karena hari ini dia mendapatkan undangan pernikahan Rania, perasaannya jadi tidak tenang. Entah Saga yang pandai menyembunyikan masalah, atau dia yang kurang perhatian, sampai sampai tak tahu jika hubungan Rania dan Saga sudah kandas.

Masih basah diingatannya, bulan lalu Saga mengungkapkan niatnya untuk melamar Rania, dan tentu saja dia dan Elgar sangat setuju. Rania sudah sering diajak Saga main kerumah, dan wanita itu, merupakan sosok menantu idamannya.

Mila bernafas lega saat melihat mobil Saga memasuki halaman, setidaknya putranya itu dalam keadaan baik baik saja sekarang.

"Kenapa baru pulang?" Tanya Mila saat Saga mencium punggung tangannya.

"Ada urusan sedikit dikantor Mah."

"Yakin karena itu, bukan karena yang lain?"

"Maksud Mama?"

"Sudah ayo masuk dulu. Papa dan Lani sudah menunggu untuk makan malam." Mila tak mau membahas soal undangan itu lebih dulu.

Keduanya lalu masuk dan langsung menuju meja makan. Disana terlihat Elgar dan Lani yang sudah lebih dulu makan sambil bercengkerama. Elgar dan Lani yang saat itu sedang tertawa, langsung terdiam melihat kedatangan Saga dan Mila. Tatapan mereka tertuju pada Saga. Dan entah kenapa, tatapan itu seperti menunjukkan raut kasihan. Seperti itulah yang tertangkap dinetra Saga.

"Ada apa ini?" Tanya Saga sembari menarik kursi disebalah Lani lalu duduk.

"Kakak baik baik aja kan?"

Semua orang dirumah ini sudah tahu perihal pernikahan Rania. Sebab itulah mereka ikut merasa sedih. Rania sudah sangat dekat dengan keluarga Saga, bahkan Mila sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Lani, gadis itu juga sangat klop dengan Rania.

"Memangnya kakak kenapa?" Saga tak tahu apa yang dimaksud Lani.

"Udah udah, makan dulu, ngobrolnya nanti saja." Mila mengambilkan makanan lalu meletakkan didepan Saga. Rasanya sedikit aneh, pasalnya selama ini Saga selalu mengambil makanan sendiri, tapi hari ini, perlakuan keluarganya seperti berbeda.

Mereka lalu makan dalam diam. Tapi Saga tahu, jika sesekali, mereka meliriknya.

"Bagaimana dengan pembangunan hotelnya, apakah sudah mulai berjalan?"

Huk huk huk

Seketika Saga tersedak. Pertanyaan papanya terdengar seperti momok yang sangat menakutkan. Karena pada kenyatannya, pembangunan belum berjalan sama sekali. Yang ada uangnya raib digondol maling.

Lani yang duduk disebelah Saga reflek menuang air lalu menyodorkan pada kakaknya.

"Semuanya baik baik sajakan?" Elgar merasa Saga panik dengan pertanyaannya barusan.

"Ba, baik Pah. Pembangunan akan segera dilakukan secepatnya."

"Sebenarnya papa sedikit ragu dengan perusahaan teman kamu itu. Selama ini SE Corp hanya bekerja sama dengan perusahaan yang sudah punya nama besar saja. Tapi semoga saja perusahaan rintisan milik sahabatmu itu tidak mengecewakan."

Lidah Saga terasa kelu, bagaimana dia bisa bilang jika sudah tertipu. Yang ada papanya akan murka, hilang kepercayaan serta kecewa.

"Apa nama perusahaannya, papa lupa? Nanti biar papa lihat lihat kesana kalau ada waktu."

Jantung Saga berdegup kencang dengan keringat dingin mulai keluar dari pori pori kulitnya. Kalau dia menyebutkan nama perusahaan itu, papanya akan segera tahu jika itu perusahaan fiktif.

"Ar, Artamara grup."

Elgar mengeryitkan kening mendengar nama perusahaan itu.

"Kenapa namanya sama dengan perusahaan Pak Jeremi?"

"Itu memang perusahaan Pak Jeremi. Saga tak jadi kerjasama dengan Putra." Terpaksa Saga mengatakan itu.

"Bagus itu, bagus sekali. Papa tahu seperti apa Artamara grup, itu perusahaan yang sangat besar. Papa yakin pembangunan hotel kali ini akan berjalan mulus, papa bangga padamu."

Bangga? Kata itu membuat Saga merasa malu. Dengan mengatakan jika perusahaan Jeremi yang akan membangun, itu artinya, mau tak mau, Saga harus setuju dengan syarat yang diajukan Jeremi.

.

.

.

Saga menatap kartu nama yang ada ditangannya. Tak ada pilihan lain, dia harus segera menghubungi Jeremi dan mengatakan setuju. Mungkin seperti inilah jalan takdirnya, Rania tiba tiba memutuskan menikah dengan orang lain, dan seorang ayah tiba tiba menawarkan putrinya untuk dinikahi.

Saga menekan satu persatu nomor telepon Jeremi diponselnya. Tapi sebuah ketukan dipintu, membuatnya urung menelepon pria itu.

"Mama." Ujar Saga saat melihat mamanya masuk kekamarnya.

Mila berjalan mendekati Saga yang duduk diatas ranjang bersandarkan kepala ranjang. Dia kemudian duduk disebelah Saga dan memberikan undangan yang tadi siang dia terima.

Tangan Saga bergetar menerima undangan itu. Dadanya nyeri melihat nama Rania dan Hanafi yang tercetak pada sampul undangan.

"Apa yang sebenarnya terjadi Saga, kenapa kamu tak pernah bilang jika sudah putus dengan Rania?"

Saga melempar pandangan kearah lain, menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Ini menyakitkan, tapi dia tak boleh menangis didepan mamanya.

"Mah, bisa tinggalkan Saga sendirian?"

Mila tahu saat ini Saga sedang tak baik baik saja. Tapi memaksa untuk tetap disini, juga bukan pilihan yang tepat. Mila mengangguk, keluar dari kamar Saga lalu menutupnya kembali.

Saga membuka perlahan undangan warna silver ditangannya. Dengan tinta warna gold, nama Rania terukir indah disana. Dan dibawahnya, tertulis nama Hanafi.

Sebelah tangan Saga meremat sprei kuat saat mengetahui siapa sosok Hanafi. Diundangan itu tertulis jelas jika dia adalah seorang anak kyai pemilik sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal. Jadi ini alasan Rania lebih memilih Hanafi daripada dia?

Apa aku memang tidak pantas untukmu Ran? Apa 6 tahun ini tak ada artinya apa apa bagimu?

Saga tak bisa menahan laju air matanya. Diremasnya undangan itu lalu dilemparkannya kesembarang arah dengan emosi.

Saga bukan pria yang cengeng, tapi luka yang ditorehkan Rania teramat menyakitkan.

Wanita yang baik, untuk laki laki yang baik, dan sebaliknya.

Dalil itulah yang membuat Saga selalu berusaha memantaskan diri untuk Rania. Tapi usahanya sia sia, dia tetap tak bisa mendapatkan Rania.

Saga teringat perkataan Jeremi, jika putrinya itu tengil dan susah diatur. Mungkinkah itu memang jodohnya?

Mungkin aku memang bukan laki laki yang baik, dan gadis seperti itulah yang akan menjadi jodohku.

Akhirnya Saga mantap menelepon Jeremi, mengatakan jika dia setuju dengan tawarannya tadi siang.

.

.

.