Tiga tahun yang penuh perjuangan, Cathrine Haryono, seorang gadis desa yang memiliki ambisi besar untuk menjadi seorang Manager Penjualan Perusahaan Top Global dan memimpin puluhan orang dalam timnya menuju kesuksesan, harus menerima kenyataan pahit yang enggan dia terima, bahkan sampai saat ini.
Ketika kesempatan menuju mimpinya di depan mata, tak sabar menanti kehidupan kampus. Hari itu, seorang pria berusia 29 tahun, melakukan sesuatu yang menghancurkan segalanya.
Indra Abraham Nugraha, seorang dokter spesialis penyakit dalam, memaksa gadis berusia 18 tahun itu, menjalani takdir yang tidak pernah dia pikirkan sama sekali dalam hidupnya.
Pria yang berstatus suaminya sekarang, membuatnya kehilangan banyak hal penting dalam hidupnya, termasuk dirinya sendiri. Catherine tidak menyerah, dia terus berjuang walaupun berkali-kali tumbang.
Indra, seseorang yang juga mengenyam pendidikan psikolog, justru menjadi penyebab, Cathrine menderita gangguan jiwa, PTSD dengan Skizofrenia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ada Rasaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 | Kebebasan yang Terasa Asing
Panggilan terputus, Cathrine pun mengetik pesan balasan dengan gerakan jempol yang cepat.
Catherine Haryono:
| Ti ... Isti ... Masih kangen
| Pengen meet up tapi kamu jauh banget, di Taiwan
| Aku di Jakarta Pusat, tapi mau pulang kampung
| Wah, pasti anak kamu manis kaya Mamanya. Turut berduka cita ya Ti ...
| Maaf ... Merasa berdosa karena nggangurin curcol-an Mama Isti xixixi
Isti Anah :
| Bisa ngetik pesan juga lu
| [ Foto] Ini dua anak gue, satu SMP dan satu kelas 5 SD
| Iya nih, sering2 Bae VC apa telpon, besok2 kalo gue pulang Indo, gercep dah kabarin
| Kerja di sana lu? Apa kuliah? Apa malah dah nikah trus ikut paksu?
| Jelasssssss, emaknya aja pentolan Genk pas SD hahaha
| Ya dah, anak gue udah tenang di Sono kalo mau salam doain aja tiap maljum ok Cah Ayu
| Eh, sori2 Rin, majikan gue manggil, ntar duhur lanjut lagi ya ,,, bye best kuh
Cathrine memberikan reaksi jempol, dengan tatapan binar dan senyum simpul. Untungnya dia masih hafal nama FB Isti, untungnya masih aktif sehingga dia bisa mengirim inbox messenger.
Nama akunnya Cathrine Night, dengan profil langit malam penuh gemerlap bintang dan ini adalah akun baru dia bikin tadi setelah beli ponsel second di konter hp. Meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan bagaikan di kerengkeng manusia atau hasil kerja kerasnya sebagai Manajer Penjualan yang ambisius.
Penampilan Cathrine lebih mirip seperti anak kabupaten yang baru ke kota, dan anehnya dia malah nyaman.
Duduk di kedai gorengan, dekat mana Bapak tukang parkir akan mengobrol dengan satpam BCA setelah mengarahkan motor dan menerima upah.
Tangan kiri menumpu piring kecil, sedangkan tangan kanan memegangi gagang gelas plastik berisi kopi pahit hitam. Dia memesan bakwan dan tahu isi. Catherine merasakan kebebasan, yang terasa asing ini.
Sudah lama Cathrine tidak rileks dan santai, bukan dalam survival mode dengan kewaspadaan penuh. Baru menyadari bahwa kehidupannya terlalu mengejar atau melekat ke suatu.
"Eh, Neng, baru merantau ke luar kota, ya? Udah dapet kerjaan belom?"
Loh, Cathrine kebingungan ...
"Kalo belom, aye ada tempat kos yang murah, aman sama penghuninya guyub rukun. Kaga angker, suer kewer kewer, di lantai bawah ada warung nasi sama bengkel, beh nikmat mana yang engkau dustakan lagi ..."
"Mau, Neng? Murah meriah buat Neng! Diskon 10% kalo deal hari ini ..."
Catherine tersenyum kikuk dan menolak halus. Dia melanjutkan perjalanan ke terminal buat beli tiket bus, sambil mengedar pandang. Menjejali setapak langkah pelan-pelan, yang biasanya selalu terburu mengejar waktu.
Di sekelilingnya ritme orang-orang menjadi begitu cepat, tergesa-gesa bahkan sibuk masing-masing. Barulah Cathrine menyadari, bahwa kemarin-kemarin dia juga sama seperti mereka.
Tin! Tin!
"Eh, gobl*k! Emang ini jalanan punya leluhur loe apa?! Enak bener berdiri tengah jalan! Picek mata lu, ya?! Mobil pick up segede gini kaga keliatan mo belok? Bl*k, gobl*k!"
Catherine segera menyebrang, salahnya diam di gang jalan yang menyambung ke jalan besar. Dia menghadap ke sopir yang tengah merokok itu, mengangguk dan minta maaf.
"Maaf, bang ..."
"Maaf! Maaf! Kalo tadi yang nyetir lagi mabok, apa kaga ke tabrak terus mokad loe?! Zaman sekarang kok masih ada orang gobl*k modelan loe ..."
Tatapan Bapak itu tajam dan segera menutup kaca jendela setelah membuang puntung rokok yang bara apinya padam. Mobil pick up itu lekas melaju kencang.
Catherine duduk dibangku kayu terminal, karena penjaga loketnya katanya sedang pergi ke konter hp untuk mengisi pulsa. Dia mengamati lamat-lamat suasana hiruk-pikuk di terminal dan mendengar bagaimana mereka saling mengobrol dengan berbagai ekspresi wajah.
Catherine mengambil dan bermain ponselnya sambil menunggu. Dia mengetik nama akun FB-nya yang dulu, bernostalgia dengan masa-masa kecilnya sampai foto-foto aib dan kalimat keterangan yang lebay.
Mengeklik nama akun yang saling terhubung, dan menjelajahi halaman serta membaca kolom komentar. Tak terasa penjaga loket tengah menghitung uang pecahan di tas selempang pinggang.
"Permisi, Pak ... Apakah di sini bisaー"
"Huh? Bisa apa, dek?"
"Maaf, Pak, engga jadi. Permisi ..." Catherine melenggang pergi dengan pikiran berkecamuk dan berjalan tanpa tujuan jelas.
"Huh?" wajahnya mundur ke belakang agak miring, dengan ekspresi heran.
Langkahnya terburu-buru seperti jalan cepat, kemudian lari. Menengok ke belakang, lekas kembali menatap depan dan sekitarnya. Otaknya nge-blank dan dia bersembunyi, masuk ke toko oleh-oleh kering, ke bagian terdalam dekat meja kasir.
Catherine mengembus napas lega, lalu mengusap dadanya. Tiga orang pegawai toko yang rata-rata bujang, memperhatikan disela melakukan kerjaan mereka. Catherine menangkupkan tangan dan menyengir, "Maaf, mas ..."
"Gapapa, Teh, santai aja. Ga masalah, cuman heran kita mah ... Dateng-dateng kayak habis dikejar debt colector, teteh ga galbay pinjol, kan?"
"Hah?" kejut Cathrine.
"Bukan galbay dia mah bre. Gayanya aja kaga hedon, palingan kabur dari godaan maut duda pirang si ojol yang kebelet kawin itu ..."
"Bener juga. Tapi kan, dia udah balik kampung dua hari lalu." Dia memelankan suaranya, "Jan bilang, teh, dia simpenan gadun, yang pura-pura berpenampilan polos biar ga dicurigai?"
Temannya menoyornya. "Kalo ngomong yang sopan!"
"Siapa yang tahu? Siapa yang mau~"
Catherine agak canggung ketika dua bujang itu malah berdebat mengenai alasannya masuk ke toko, sedang lelaki satunya hanya sibuk di Buku Akuntasi dan kalkulatornya.
Si pendiam berkacamata yang sedang menghitung berujar, "Silakan, Mbak, dilihat-lihat dulu barangkali ada yang ke pengen, di tempat lain ga ada, siapa tau di sini ada ..."
Dia pun mengedar pandang, banyak sekali oleh-oleh kering dalam kemasan bal dan sedang yang agak asing buatnya. Dia berkeliling dan mengamati satu-satu, ada beberapa nama yang dulu menjadi kesukaannya. Namun, dia kesulitan dan lupa dengan namanya ...
"Manco wijen, kacang umpet sama semprong, Tiganya, 5 pcs, ya, Mas ..."
"Oke, siap bang! Kalo Mbaknya, jadi mau pilih apa?"
"Tiga pilihan tadi, Mas."