🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|Pertentangan musim dingin.
Di tengah lingkaran api kecil, tiga pilar pendiri suku Nahara sudah duduk dengan wajah serius. Di sisi kanan terdapat Tharen, dan Duyan—ayah Liran, dengan wajah sama tegangnya.
“Tunggu, bagaimana bisa itu terjadi? Bukankah kita sudah mengirim daging dan kulit ke mereka?”
Suara Hanle—tetuah suku Nahara pihak ketiga—akhirnya bersuara, nada suaranya meninggi karena rasa tak percaya. Ruangan batu itu mendadak terasa lebih dingin.
“Aku sudah memastikan semuanya,”
Ketua Sao mengembuskan napasnya panjang. Wajah keriputnya menunjukkan kebingungan yang sama besarnya dengan kekhawatiran yang tersembunyi.
“Dieng dan Chenbang menyampaikan padaku… bahwa Selakra menerima kiriman daging dan kulit kita. Mereka juga setuju dengan perjanjian—bahwa kristal putih akan dikirim… tetapi—”
Ia berhenti sejenak, seolah merangkai kata yang tepat.“—mereka mengatakan bahan untuk membuat kristal putih belum siap. Jadi mereka berjanji akan mengirimkannya setelah pembuatan nya selesai.”
Ganhe—tetuah suku ke 2 ikut memijat pelipisnya, tampak frustasi.“Dan sekarang? Bagaimana?" tanyanya dingin.
Ketua Sao menatap para tetua satu per satu.“Sekarang… kita sudah hampir berada di ambang musim dingin. Tapi tak ada satu pun kabar dari Selakra. Tidak ada utusan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanda bahwa kristal putih itu akan mereka kirimkan.”
Suara gemuruh kecil terdengar dari beberapa tetua yang langsung saling bisik, tanda kekhawatiran mulai menyebar.
Semuanya tahu: urusan kristal putih(garam) adalah urusan hidup dan mati.
Hanle mengetukkan tongkat kayunya ke tanah, tatapannya tajam.“Jika suku Selakra mengingkari perjanjian… itu akan membahayakan seluruh lembah kita. Tanpa garam, para pemburu bisa lemah. Anak-anak bisa sakit saat musim dingin tiba.”
Duyan mengeraskan rahangnya, ikut menimpali.“Ketua, ini sudah mencurigakan. Selakra tidak pernah terlambat sebelumnya. Mereka tahu betapa pentingnya garam bagi suku-suku di lembah.”
Tharen yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. Suaranya dalam dan penuh tekanan“Jika mereka tidak mengirimkan kristal putih itu karena ada masalah di desa mereka, kita harus mengetahui sebabnya. Tapi… jika mereka sengaja menahannya, kita perlu bersiap.”
Beberapa tetua langsung menoleh ke arahnya; kata bersiap dari mulut Tharen selalu memiliki makna berat.
Ketua Sao mengangguk pelan, wajahnya semakin muram.“Karena itulah… kita harus membahas langkah selanjutnya. Apakah kita mengirim barang lagi? Atau harus mengirim petarung untuk memastikan keadaan suku Selakra?”
Ruangan kembali hening.
Api di tengah mereka seolah ikut meredup. Konflik baru saja dimulai—dan semua yang hadir merasakan hal itu.
...>>>...
“Kak… apa kau yakin Ayah tidak akan mencari kita?”
Suara Tanaya terdengar lirih, sedikit terputus-putus karena kelelahan. Ia mengikuti langkah Yaren yang menapaki bebatuan besar dengan lincah.
Namun Yaren tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia justru mempererat genggaman tangannya pada tangan Tanaya, seolah memastikan adiknya tidak tergelincir.
“Jangan khawatir,” ucapnya akhirnya, tenang namun tegas.“Kalau Ayah mencari… kita sudah harus kembali sebelum itu.”
Kalimatnya lebih seperti janji, bukan sekadar menenangkan.
Tanaya hanya mengangguk kecil. Nafasnya memburu, keringat membasahi pelipisnya, tapi ia tetap memaksakan langkah. Ini baik—untuk usaha kecilnya demi untuk menurunkan berat badannya.
“Wah… hutannya bagus sekali ya,”gumam Tanaya kagum. Ia menengadah, menatap cahaya matahari yang menembus celah dedaunan bagai serpihan emas.
Hutan ini terasa… hidup. Terjaga. Sunyi, tapi penuh suara alam. Dan ini baru kedua kalinya Tanaya keluar menjelajah sejauh ini—jadi semuanya masih terasa seperti mimpi.
Yaren meliriknya sambil tersenyum kecil.“Apa kamu sebahagia itu, Naya?”tanyanya lembut, suara penuh rasa ingin tahu. Ada semacam kepuasan aneh dalam dirinya setiap kali melihat mata Tanaya membulat senang begitu.
Tanaya mengangguk cepat, seperti anak ayam mematuk. Polos, lucu, dan membuat Yaren gemas.
Mereka pun melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Yaren berhenti dan menunjuk ke arah pohon besar di tepi sungai.
“Kita sudah sampai. Lihat pohon itu... itu pohon buah merahnya.”
Tanaya menoleh cepat. Dan benar saja… sebuah pohon rindang berdiri megah, dengan buah merah yang menggantung banyak sekali sampai-sampai dahan-dahannya tampak berat menahannya.
Yaren memang sengaja membawa Tanaya kemari. Ia ingin adik nya itu melihat sendiri buah kesukaannya, buah yang ia temukan di hutan paling bersih dan terjaga.
Mata Tanaya langsung berbinar.“Wah! Ayo kak, cepat kita ke sana!”
Tanpa menunggu jawaban, Tanaya langsung berlari kecil menuju pohon itu. Namun baru beberapa langkah ia perlahan terhenti.
“Hah… hah… haiss… kenapa tubuh ini berat banget sih…”keluh Tanaya dalam hati sambil menahan napasnya yang mulai tersengal.“Baru lari sebentar aja sudah mau tumbang…”
Ia akhirnya memperlambat langkah, memegangi dadanya sambil mengatur napasnya lagi, sementara Yaren yang berjalan santai di belakangnya hanya menggeleng sambil terkekeh pelan.
“Pelan-pelan saja, adik… Buah merah itu tidak akan kabur. Kalau sampai kabur pun, kakak bakal tangkap lagi buatmu,” ucap Yaren lembut sambil menepuk punggung Tanaya pelan.
Tanaya menghela napasnya panjang, pipinya menggembung kesal dan sedih bersamaan.“Kak… aku merasa tubuh ku kegemukan. Lihatlah… baru lari sebentar saja sudah susah napas. Tubuhku berat sekali…”
Nada suaranya terdengar pelan, hampir bergetar. Mata Tanaya yang tampak bening, kini seperti menahan air matanya.
Yaren yang melihat itu sontak terdiam. Ia jarang sekali melihat adiknya seputus asa ini. Biasanya, Tanaya selalu penuh suara—marah-marah, cerewet, dan keras kepala. Tapi sekarang… ia bahkan terlihat rapuh di matanya.
“Hey…” Yaren menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah adiknya, suaranya pelan dan hati-hati. “Boleh kakak lihat sebentar?”
Tanaya menatapnya bingung, tapi perlahan berdiri tegak. Yaren memperhatikan postur tubuh adiknya sebentar—dan entah bagaimana, senyum itu muncul di wajahnya.
“Memang…” katanya, jujur namun lembut, “kau kelihatan sedikit lebih berisi.”
Tanaya langsung memelototinya.'Sedikit katanya?'
“Tapi,”lanjut Yaren cepat sebelum Tanaya meledak, “itulah yang bikin kau terlihat imut. Bulat… lucu… dan sangat menggemaskan. Seperti kelinci salju yang kegemukan.”tukasnya sambil mencubit pipi Tanaya pelan.
Tanaya membeku. Wajahnya tanpa sadar memerah. Dan naluri pertamanya jelas muncul:
“Aku sumpahin kakak jatuh ke sungai! Jangan bercanda kak...”
Yaren seketika tertawa kecil, suaranya terdengar hangat dan tulus.
“Kakak tidak bercanda, adikku memang sangat menggemaskan...."kekehnya.
"Kalau kau mau menurunkan berat badan, kau harus bisa lakukan nya pelan-pelan. Kakak bisa bantu, tapi jangan benci tubuhmu sendiri, Naya. Kakak sayang padamu dalam bentuk apa pun.”
Kata-kata itu langsung membuat dada Tanaya menghangat. Ia ingin marah, tapi kata-kata terakhir Yaren membuatnya… tidak bisa.
“…Baiklah,” gumam Tanaya pelan sambil manyun."Tapi kakak jangan panggil aku kelinci lagi. Itu… sangat tidak pantas dengan tubuhku yang seperti ini.”
Yaren terkekeh kecil, jelas menahan diri agar tidak kembali menggodanya.“Hm… baiklah. Untuk sekarang tidak,” katanya sambil mengangkat alis. “Jadi bagaimana? Mau kakak ambilkan buah merahnya untukmu?”
Wajah Tanaya langsung berubah cerah seperti matahari muncul dari balik awan. Tanpa ragu ia mengangguk cepat—sampai rambutnya ikut bergoyang.
Melihat itu, Yaren tersenyum tipis lalu berbalik. Dalam satu gerak luwes, ia langsung menapak batang pohon dan mulai memanjatnya. Bagi pemburu seperti Yaren, pohon setinggi itu bukan masalah sama sekali; tubuhnya terlatih, kuat, dan seimbang. Dalam hitungan detik ia sudah berada di dahan atas, tangan cekatan memetik buah satu per satu.
“Jangan jauh-jauh dari bawah ya!” ujar Yaren dari atas.
“Baik kak!”
Beberapa buah merah perlahan jatuh mengenai tanah di sekitar Naya.
Tanaya langsung memungutnya dengan penuh semangat. Pipinya merona, senyumnya merekah, dan ia tampak begitu bahagia seolah dunia hanya berisi dirinya dan buah-buah merah itu.
Ia juga mengambil daun lebar, menatanya, lalu mulai menyusun buah-buah itu di atasnya dengan hati-hati agar tidak rusak.
“Sudah cukup?” suara Yaren terdengar saat ia akhirnya melompat turun dengan ringan.
Tanaya menoleh, ia memeluk bungkusan buah merah itu erat-erat, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun.
“Baiklah… ayo kita pulang sebelum Ayah dan Ibu panik mencarimu.”
Yaren perlahan menggenggam tangan Tanaya, bersiap memutar badan. Namun langkah Tanaya tiba-tiba terhenti. Wajahnya berubah dengan matanya membesar, seolah melihat sesuatu yang tak biasa.
Yaren ikut berhenti, bingung melihat ekspresi adiknya.“Kenapa? Kau melihat apa—”
“Kak!! Lihat itu ikan!!”
Tanaya langsung menjerit heboh. Ia refleks menunjuk ke arah danau tepat di dalam air jernih itu yang bergerak pelan. Sekelompok ikan besar tampak jelas berenang di bawah permukaan, sisik mereka berkilau disinari matahari.
Tanpa menunggu lagi, Tanaya langsung menarik tangan Yaren dan menyeretnya lebih dekat ke tepian danau.
“Ikan?” Yaren mengernyit, ia menatap bingung ke arah air. “Apa itu?”
“Itu ikan, Kak!” Tanaya menunjuk lagi, matanya berbinar cerah. “Ayo cepat ambil! Astaga… ikan-ikan itu besar, dan gemuk. Pasti dagingnya tebal, dan lembuuut… Kak, kita harus ambil!”
Tanaya mencondongkan tubuhnya, hampir terpeleset saking semangatnya. Yaren menahan bahunya agar tidak jatuh, wajahnya masih terlihat ragu.
Cahaya matahari mengenai wajah mereka, memantul di permukaan air. Ia memperhatikan hewan air itu lebih teliti—jenis yang kadang pernah ia lihat, tapi tak pernah disentuh.
“Adik… itu tidak bisa dimakan. Banyak durinya. Lebih baik kita pulang—”
“Tidak!” Tanaya langsung membalas dengan suara memelas. “Kak, kalau kita bersihkan dan masaknya benar, itu pasti enak. Ayo tangkap, ya? Setidaknya empat atau lima ekor saja untuk dibawa pulang.”
Wajahnya penuh harap. Ia sudah lama tidak makan ikan karena alergi, tapi dengan tubuhnya yang berbeda sekarang… mungkin ia bisa mencobanya lagi.
Yaren terdiam. Tatapannya beralih dari Tanaya—yang wajahnya penuh harap ke ikan-ikan yang berenang pelan di bawah cahaya matahari.
Ia akhirnya menghela napasnya panjang, menyerah pada mata memelas adiknya itu.
"…Baiklah. Tapi kau tetap di belakangku. Jangan mendekati air, Kaka akan mengambil nya untukmu.”
Tanaya langsung berseri-seri seperti matahari muncul lagi.
“Iya!! Kak Yaren memang yang terbaik!”
Ia hampir melompat saking gembiranya, sementara Yaren hanya bisa gelengkan kepalanya kecil… tapi sudut bibirnya terangkat, tak mampu menyembunyikan rasa sayangnya.
...>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh