Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lilin Hitam Kebangkitan Arwah Tumbal
Api hijau dari Lilin Hitam menari-nari di ruang bawah tanah, memancarkan cahaya yang mematikan. Udara menjadi panas dan berbau belerang. Di sekeliling Lilin, bayangan Wanita Pucat (Arwah Tumbal) kini menampakkan wujudnya, melayang di atas peti besi, matanya yang cekung menatap Bian dan Tiara dengan haus.
"Kau tidak akan ke mana-mana, Nak Bian," suara berat yang menyerupai Mbah Pawiro bergaung dari Lilin Hitam. "Kakekmu lari dari janji, tetapi kau, sebagai darahnya, harus membayar. Sumpah harus dilunasi."
Bian mencengkeram tangan Tiara, menariknya menjauh dari peti besi. "Dia ada di dalam lilin itu! Mbah Pawiro mentransfer dirinya ke sana! Dan Arwah itu menjadi penjaganya!"
Arwah Tumbal itu tidak menyerang. Ia hanya melayang, membiarkan aura terornya bekerja. Sementara itu, Lilin Hitam mulai meleleh dengan cepat, dan dari lelehan lilin itu, cairan hitam kental merayap di lantai batu, membentuk simbol Mata Tunggal yang perlahan bergerak ke arah kaki Bian dan Tiara.
"Kita harus memadamkan lilin itu!" seru Tiara.
Bian mencari sekeliling. Tidak ada air, tidak ada benda berat. Ruangan itu hanya berisi peti besi, lilin terkutuk, dan mereka berdua.
"Liontin!" Bian teringat pada Liontin Tumbal yang masih berada di cekungan peti besi, bersinar merah pucat.
Bian bergegas ke peti besi, tetapi Arwah Tumbal segera menghalangi jalannya. Wajahnya yang pucat kini hanya berjarak beberapa senti dari wajah Bian. Bau amis dan dingin yang menusuk hidung Bian membuatnya terhuyung.
"Kau tidak bisa mengambil kunciku," bisik Arwah Tumbal di pikiran Bian. "Aku akan mengambilmu sebagai ganti Pranoto."
Tiara bertindak cepat. Ia melihat gulungan kulit Kakek Pranoto yang jatuh di lantai. Ia meraihnya, lalu membacanya secepat kilat.
"Bian! Kakek menulis... Lilin ini terbuat dari campuran darah tumbal dan sumpah! Satu-satunya cara memadamkannya adalah dengan Liontin Kunci itu, tetapi tidak dengan menyentuhnya! Lilin itu harus dipukul mundur oleh energi pembebasan!" teriak Tiara.
Mbah Pawiro, melalui Lilin Hitam, tertawa keras. "Terlalu terlambat! Kutukan ini sudah aktif kembali. Sekarang, rasakan!"
Dari dinding dan langit-langit ruangan bawah tanah, sekumpulan akar-akar tua yang selama ini tersembunyi tiba-tiba merayap keluar. Akar-akar itu, tebal dan menyerupai sulur-sulur hitam, bergerak cepat ke arah Bian dan Tiara, berusaha menjerat mereka.
"Hancurkan Lilinnya!" teriak Bian, menghindari sulur-sulur akar yang sudah melilit kakinya.
Tiara tahu ia tidak bisa mendekati Lilin karena dihalangi oleh Arwah Tumbal. Ia menatap Liontin Tumbal yang bersinar merah di cekungan peti besi.
Ia teringat pada kata-kata Jaga: Liontin itu adalah janji Pranoto kepada Arwah Tumbal untuk membebaskannya.
Tiara mengumpulkan semua kekuatannya. Ia menutup mata, memfokuskan pikirannya pada satu hal, pembebasan. Ia berteriak, bukan karena takut, tetapi karena tekad.
"Kau berhak bebas, Wahai Arwah yang dikhianati! Kami cucu Pranoto, dan kami datang untuk menggenapi janjinya! Bukan tumbal yang kau butuhkan, tetapi kebebasan!"
Begitu Tiara mengucapkan kata-kata itu, energi merah pucat dari Liontin Tumbal meledak keluar. Bukan ledakan yang merusak, melainkan gelombang kehangatan yang kontras dengan aura dingin Arwah Tumbal.
Gelombang energi itu mengenai Arwah Tumbal. Wanita Pucat itu menjerit melengking. Bukan jeritan kemarahan, melainkan jeritan kesakitan dan kebingungan. Wujudnya menjadi transparan, dan ia mundur, seolah janji kebebasan itu adalah racun bagi dendamnya.
"Pengkhianat! Jangan dengarkan mereka!" teriak Mbah Pawiro dari Lilin Hitam, mencoba mempertahankan kendalinya.
Bian melihat celah itu. Arwah Tumbal telah mundur ke sudut ruangan. Sulur-sulur akar yang menjeratnya melonggar sesaat.
Bian berlari ke peti besi. Ia meraih Liontin Tumbal dan segera menariknya keluar dari cekungan. Begitu Liontin itu berada di tangannya, cahayanya menjadi lebih terang.
Bian memfokuskan seluruh energinya dan melemparkan Liontin Tumbal itu sekuat tenaga.
Liontin itu menghantam Lilin Hitam tepat di dasarnya.
BUK!
Lilin itu tidak hancur. Tetapi api hijaunya segera padam, dan sumbunya menciut ke dalam lilin.
Mbah Pawiro menjerit kesakitan yang memilukan. "Tidak! Kau tidak bisa memadamkanku! Aku abadi!"
Energi kutukan di ruangan itu lenyap seketika. Sulur-sulur akar di dinding layu dan jatuh ke lantai. Arwah Tumbal kembali menjadi bayangan samar di sudut, lemah dan tidak fokus.
Mereka berhasil memadamkan inti kutukan.
"Kita harus keluar!" teriak Bian, memegang Liontin Tumbal yang kini terasa dingin di tangannya.
Mereka berlari ke tangga batu. Pintu besi di atas mereka masih terkunci rapat, disegel oleh Jaga yang kini dikendalikan oleh bayangan Mbah Pawiro.
Bian mencoba mendorong pintu itu, tetapi sia-sia.
Saat Bian frustrasi, ia melihat ke tanah. Di sisi pintu, ada celah kecil tempat Bian dan Tiara melihat tetesan cairan hitam tadi.
Tiba-tiba, Tiara menunjuk ke arah Liontin Tumbal. "Liontin itu kuncinya! Liontin itu membuka dan menutup peti besi. Mungkin ia juga bisa membuka pintu ini!"
Bian menyadari bahwa Liontin itu bukan hanya kunci peti, tetapi kunci yang dibuat Kakek Pranoto untuk membuka segala yang terkunci oleh sumpah.
Bian menggesekkan Liontin itu di celah kecil di sisi pintu. Awalnya tidak terjadi apa-apa.
Namun, Bian mengingat pengakuan kakek Pranoto ...Pawiro tahu cara menghidupkannya kembali.
Mbah Pawiro mungkin sudah tidak bersuara, tetapi ia meninggalkan jebakan.
Dari dalam Lilin Hitam yang padam, muncul sehelai rambut hitam panjang, yang merayap cepat di lantai. Rambut itu merayap ke arah Liontin Tumbal yang dipegang Bian.
Tiara dengan sigap menginjak rambut itu, mencoba menahannya, tetapi rambut itu terasa seperti kawat, menusuk telapak sepatunya.
Bian menggunakan waktu itu. Ia menyentuh Liontin Tumbal ke celah sekali lagi, dan kali ini, ia berteriak, memanggil sumpah Pranoto.
"Jaga! Kau mengunci kami! Tapi kakekku meminta kami untuk memutus sumpah ini! Bebaskan kami! Ini perintah dari Pranoto!"
Tepat saat Bian mengucapkan nama kakeknya, pintu besi itu bergetar hebat. Di atas kepala mereka, terdengar suara erangan kesakitan yang lebih keras dari yang mereka dengar di Desa Raga Pati. Itu adalah suara Jaga yang tengah berjuang melawan kendali bayangan Mbah Pawiro.
BRAK!
Bunyi keras terdengar, dan pintu besi di atas mereka tiba-tiba terangkat sedikit, cukup untuk Bian dan Tiara merangkak keluar.
Mereka berlari menaiki tangga. Di atas, mereka melihat Jaga ambruk di lantai, dengan luka memar di kepalanya. Di sekujur tubuhnya, ada lapisan tipis cairan hitam yang mengering, bukti Mbah Pawiro telah merasukinya.
Jaga, dengan mata yang terbuka dan napas terengah-engah, mencoba menunjuk ke arah Lilin Kutukan di bawah tanah. Kemudian, ia menunjuk ke arah Liontin di tangan Bian, lalu ke arah mulutnya sendiri.
"Bicara?" tanya Bian, bingung. "Maksudmu, kami harus bicara padanya?"
Jaga menggeleng keras, sambil menunjuk Liontin, lalu menunjuk ke gudang di luar. Dengan susah payah, Jaga menggerakkan jari-jarinya, membentuk kata-kata.
"LEMPAR... LILIN... KE HUTAN..."
Jaga ingin mereka membuang Lilin Kutukan itu jauh-jauh, ke tempat yang paling terasing.
Bian dan Tiara tahu mereka harus pergi. Mereka tidak punya waktu untuk memikirkan Jaga.
Mereka berlari menuju pintu keluar gudang.
Saat mereka meninggalkan ruang bawah tanah, mereka mendengar suara mendesis dari bawah. Api hijau kecil muncul lagi dari sumbu Lilin Hitam. Lilin itu hanya padam sebentar, dan Mbah Pawiro hidup lagi.
Dan di belakang mereka, mereka mendengar suara langkah kaki yang terseret, sangat lambat, kini tidak lagi menakutkan, tetapi menyedihkan.
Jaga kembali bangkit, dikuasai oleh bayangan Mbah Pawiro, dan ia kini mengejar mereka.
Bian dan Tiara melesat keluar dari gudang, menatap jalanan kota yang ramai di pagi hari. Mereka aman dari pandangan.
Namun, di saku Bian, Liontin Tumbal terasa begitu dingin, dan di belakang mereka, Lilin Kutukan kembali menyala di kegelapan, dipandu oleh langkah kaki Jaga yang dirasuki.
Mereka harus menemukan hutan yang paling gelap, dan memusnahkan Lilin Kutukan itu sebelum Mbah Pawiro sepenuhnya menguasai Jaga dan mempersembahkan Bian sebagai tumbal yang sempurna.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"