Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini Masakannya Kak Cia, Kak....
Dia suka sekali memberi, padahal hidupnya dan hidup keluarganya aja pas-pasan" kata Ibu-ibu pemilik warung kopi itu.
"Itulah makanya mereka walaupun miskin tapi cuma mereka aja yang gak punya hutang sama Juragan Darmo. Dan Juragan Darmo gak bisa ngapa-ngapain mereka" katanya lagi.
"Iya lho saya salut sama Pak Beny, harusnya setiap orang yang datang berobat ke dia itu harus bayar kan? tapi Pak Beny gak minta bayaran sama sekali. Katanya dia murni mau menolong saja". Padahal kalo minta bayaran dari setiap orang yang datang hidup mereka gak miskin kayak gitu.
Ya Ayah Beny selama ini selalu menolong orang sakit yang datang ke rumahnya tanpa bayaran sama sekali. Jadi biaya hidup mereka itu cuma dari hasil penjualan kue sama penjualan hasil kebun saja.
"Neng Cia, udah habis kuenya?" Tanya Ibu Asih.
"Udah Bu" jawab Cia.
"Wah cepet banget abisnya" katanya lagi.
"Hehehe iya Bu, bersyukur saya gak perlu keliling jauh" kata Cia.
"Ya syukurlah ya" kata Ibu Asih lagi.
"Kalo Gitu saya permisi ya bu mau lanjut pulang ke rumah" pamit Cia. Cia pun melanjutkan perjalanannya sambil menenteng keranjang kosongnya.
"Eh Neng Cia, abis jualan?" Tanya Ibu Nia.
"Iya bu.." jawab Cia.
"Gimana kabar Mas tampan itu?" tanya Ibu Nia lagi.
"Udah mendingan bu. Lukanya udah kering. Tapi sekarang masih minum obat racikan ayah" jawab Cia.
"Syukurlah kalo gitu.Semoga Lukanya cepet kering. Gak kayak si Dani yang harus dirujuk ke Rumah Sakit segala" kata Ibu Nia lagi.
"Biarin aja lah bu. Si Dani itu kan orang kaya biarin aja duit bapaknya dipake untuk operasi hidung anaknya." kata Cia.
"Lagian gara-gara dia kan makanya semuanya jadi begini" kata Cia lagi.
"Iya Neng. Tapi kamu harus tetap hati-hati yah. Kamu tau kan siapa Juragan Darmo, dia tidak akan tinggal diam setelah ini" kata Ibu Nia.
"Iya bu, saya akan berhati-hati. Makasih ya bu atas perhatiannya. Kalo gitu saya lanjut dulu yah bu" kata Cia lagi.
"Iya Neng" jawab Ibu Nia. Cia pun melanjutkan perjalanan ke rumahnya dan membawa keranjang kuenya yang sudah kosong.
Setibanya di rumah Cia langsung menghampiri ibunya yang lagi memasak di dapur. "Ibu, lagi masak apa?" Tanya Cia.
"Kamu udah pulang? Gimana kuenya, abis?" tanya Ibu Marni.
"Abis bu" jawab Cia.
"Syukurlah" Cia lalu menyerahkan uang hasil dagangannya kepada Ibu Marni.
"Maaf bu tadi yang lima ribu aku kasih ke pak Giman karena uangnya gak cukup buat beli kuenya" kata Cia.
"Iya gak apa-apa Nak. Ibu justru bangga sama kamu. Kamu suka memberi dari kekurangan. Dan itu adalah hal yang baik. Kita tidak perlu menunggu sampai kita kaya baru bisa memberi." kata Ibu Marni.
"Iya Bu. Dengan memberi tidak akan membuat kita semakin miskin kan. Justru menurut Cia saat kita memberi artinya kita lagi menabung" kata Cia.
"betul banget Nak. Ya udah kamu istirahat lah dulu lalu bersih-bersih sana. Mandi biar seger lagi." kata Ibu Marni.
"Baik bu Cia mandi dulu yah. Rasanya lengket semua nih badan Cia" katanya lalu menuju ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian mereka semua pun sudah berkumpul di meja makan sederhana keluarga Ayah Beny. Menu makanan sederhana juga sudah tersedia. Ada tumis kangkung, ikan asin sambel tomat dan kerupuk. Yah sesederhana itu makanan yang akan mereka makan. Tapi mereka mensyukuri semua itu. Bersyukur masih ada makanan yang bisa mereka makan. Ada orang di luar sana yang tidak bisa makan seperti mereka.
"Nak Juna, maaf ya cuma ini yang bisa di makan. Tidak ada makanan mewah yang bisa kami berikan buat Nak Juna" kata Ayah Beny.
"Gak apa-apa Pak. ini aja udah bersyukur banget. Saya suka kok makanan ini. Rasanya enak di lidah." Jawab Juna sambil menikmati makanan itu dengan lahap.
Ayah Beny, Ibu Marni, Cia, Rino dan Rina pun tersenyum. "Syukurlah Nak, kalo emang kamu suka" kata Ibu Marni.
"Ini masakannya Kak Cia, Kak. Enak kan?" Kata Rina. Adik perempuan Cia yang berusia 12 tahun.
Cia mendelik ke arah adiknya. "Dih apa-apaan si Rina pake bilang ini masakan aku lagi" batin Cia. Dia melotot ke adiknya tapi Rina pura-pura gak liat tatapan Cia.
"Wah Cia, ternyata kamu pintar masak juga yah" kata Juna membuat Cia tersanjung. Mukanya merona merah karena dipuji Juna.
"Ehh...gak juga sih Mas. Aku baru belajar kok. Ini semua masakan Ibu, aku cuma bantuin doang." kata Cia lagi.
"Gak kak Juna, Kak Cia bohong. ini murni masakan kak Cia. Ibu gak ada tuh masak" kata Rino lagi.
"Udah ah gak penting juga kan Mas Juna tau siapa yang masak. Yang penting udah ada di atas meja, udah mateng, tinggal makan aja. Gak usah bahas siapa yang masak terus" kata Cia.
"Iya Rina, Rino makan aja nikmatin makan kakak kalian ini dengan sukacita" kata Ibu Marni tanpa sengaja menegaskan kalo ini memang masakan Cia.
Cia melihat ke arah Ibu.ya. "Ibu ih, sama aja kayak si kembar." kata Cia.
"Udah gak usah ribut. Makan itu jangan bersuara. Jangan banyak bicara ntar keseleo." kata Ayah Bemy.
"Keselek Ayah, bukan keseleo hahah. Keseleo itu kaki atau tangan kalo salah bergerak bisa bikin keseleo" kata Rina.
"Eh iya maksud ayah itu, Keselek tapi karena lidah ayah keseleo yah jadinya gitu deh. Udah ayok makan." kata Ayah Beny lagi.
Juna merasakan sukacita dan damai banget ada di tengah-tengah keluarga sederhana ini.
"Ya Tuhan, pasti Tuhan punya rencana sampai mempertemukan aku dengan keluarga ini" batin Juna sambil terus menikmati makan malam bersama keluarga Pak Beni. Tetapi matanya memandang anggota keluarga itu satu persatu.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah selesai makan. "Ayok Nak Juna, kita duduk di depan aja" ajak Ayah Beny. Ayah Beny dan Juna berjalan ke ruang tamu sederhana itu lalu duduk di kursi kayu usang yang ada di ruang tamu itu.
"Pak, kira-kira berapa lama lagi luka saya ini sembuh Pak" tanya Juna. Mereka berdua berbincang sambil menyaksikan siaran di televisi tua milik keluarga sederhana ini. Televisi yang sudah berusia lama menghiasi ruang tamu sederhana ini.
"Paling sehari dua hari lagi juga lukanya udah sembuh. Sekarang aja lukanya udah bagus kan? Udah gak nyut-nyutan lagi lan?" Tanya Ayah Beny.
"Iya Pak, udah enakan ini" jawab Juna sambil menggerakkan tangannya. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu "toktoktok" Ayah Beny dan Arjuna pun menolehkan wajahnya ke asal suara "Paman?" kata Juna sumringah. Dia senang karena akhirnya paman nya datang juga kemari.
"Pak Lurah Hadi Mari silahkan masuk" kata Ayah Beny sopan. "Selamat Malam Pak Beny" kata orang yang datang itu. Ternyata Pak Lurah Hadi. Pamannya Arjuna. Pak Lurah Hadi ini adalah adik laki-laki-laki dari Mami Dina. Maminya Arjuna.
"Selamat malam Pak Lurah. Silahkan duduk" Ayah Beny berdiri menyambut kedatangan Pak Lurah.
"Paman datang sama siapa?" tanya Juna.
"Sama Mang Tejo, tuh Mang Tejo di depan. Lagi duduk di bale-bale bawah pohon mangga.
"Oh Iya. kenapa Mang Tejo gak masuk juga" tanyanya Juna.
"Katanya diluar lebih adem" kata Pak Lurah Hadi.
"Emang iya sih duduk di bale-bale itu paling enak. Adem, angin nya sepoi-sepoi" kata Juna.
" Iya. Terus gimana keadaan kamu. Paman udah kabarin Papi Mami kamu. Abisnya mereka telpon mulu. Kamu tau kan. gimana Mami kamu itu. Kalo belom dengar kabar yang jelas tentang kamu maka mamimu gak akan tenang" kata Pak Lurah Hadi.
"He he he, pasti kuping Paman panas tuh dengerin ocehan Mami" Juna tertawa membayangkan Maminya yang cerewet itu. Pamannya ini biar di segani di kampung Swadaya ini, tapi gak bagi Mami Dina. Pak Lurah Hadi tetaplah adik laki-laki yang ia sayangi.
"Jangan dibilang lagi Jun. Paman sampe jauhin ponselnya dari telinga paman. Suara Mamimu nembus tujuh benua...hahahaha." kata Pak Lurah Hadi tertawa mengingat kakak perempuan yang ia sayangi itu.
Bersambung....