Andini kesal karena sang ayah tidak menghadiri acara kelulusannya, ia memilih jalan sendiri dari pada naik mobil jemputannya
sialnya lagi karena keisengannya dia menendang sebuah kaleng minuman kosong dan tepat mengenai kening Levin.
"matamu kau taruh dimana?" omel Levin yang sejak tadi kesal karena dia dijebak kedua orang tua dan adik kembarnya agar mau dijodohkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arfour, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkenalan Mahasiswa Mahasiswi baru
“Saya hitung sampai tiga untuk maju ke depan kalau tidak saya suruh kamu dan kelompok kamu membersihkan wc yang ada di kampus ini,” ujar Hendro yang membuat Andini kesal.
“Apes gue kenapa gak yang lain aja sih,” ujar Andini kesal, hingga hitungan kedua setengah akhirnya Andini berdiri dan membuat semua orang menatap padanya karena Andini terlihat enggan maju ke depan, sementara yang lainnya malah ingin dipanggil.
“Lama amat lu berdiri, cari perhatian banget sih lo,” seorang yang sedari tadi duduk di samping Andini terlihat kesal, dia berharap di panggil malah temannya yang lain yang dipanggil dan sekarang Andini yang duduk disampingnya yang dipanggil, ia berpikir Andini dipanggil karena kecantikannya yang membuat dirinya iri dan kesal.
“Sekarang kenalkan nama kamu, kamu tinggal dimana, bapak kamu siapa terus kenapa kamu ambil Arsitektur, satu lagi kamu masuk melalui jalur apa” ujar Hendro menjelaskan apa saja yang harus diterangkan oleh Andini
“Kok bawa-bawa . orang tua segala sih Kak?” Protes Andini yang keberatan jika harus menjelaskan siapa orang tuanya.
“Eh mereka bagian penting dalam hidup kamu, harus bangga dengan orang tua,” ujar Hendro ngeles.
“Tapi yang tadi nggak?” protes andini merasa keberatan.
“Kan yang lain juga beda-beda pertanyaannya. Sudah jangan banyak protes,” ujar Hendro sambil menyuruh andini menaruh mike dekat mulutnya agar semua yang hadir mendengar.
Nama saya Andini Putri Nastiti Mulyawan, saya tinggal di pondok pinang,” baru saja Andini ingin melanjutkan Hendro memotong.
“Yang jelas dong kalau kasih alamat pondok pinang itu luas, sebutin nama jalannya apa gak usah pake nomor deh biar para hidung belang disini gak bisa nyamperin kamu,” ujar Hendro yang dijawab "uuuhhh,” oleh yang hadir di aula itu.
“Cepat jawab, atau mau saya yang sebutkan alamat lengkapnya,”ujar Hendro
“Eh jangan kak, jangan,” ujar Andini langsung panik.
“Makanya yang jelas, lagian kalau saya sebutin juga paling kalau mereka kerumah kamu yang nyambut helder,” ujar Hendro menyebutkan salah satu jenis anjing.
“Tapi saya gak punya Helder,” ujar Andini lagi.
“Iya maksudnya sekuriti di rumah kamu, pasti banyak,” ujar Hendro membetulkan perkataannya.
“Tapi mereka manusia bukan Helder,” ucap Andini terlihat tidak suka, karena dengan semua penghuni rumah termasuk pembantu dan tukang kebun Andini sangat dekat.
“Iya sekuriti bukan Helder,” ujar Hendro buru-buru membetulkan maksud perkataannya apalagi mata Ryan sudah memelototinya
“Saya tinggal di pondok indah, dirumah saya memang ada sekuritinya tapi bukan Helder mereka manusia,” ujar Andini mempertegas perkataannya.
“Pondok indah ya teman-teman. Jadi kalau ngemall terus haus duitnya habis karena jajanan disana mehong, mampir aja ke rumah Andini, cari dah tuh rumahnya sepanjang pondok indah sampe mabok,”ujar Hendro berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang karena masalah Helder.
“Lanjut Andini,” Pinta Hendro lagi.
“Saya masuk lewat jalur undangan, dan kenapa saya pilih Arsitektur , karena saya suka menggambar gedung-gedung Demikian perkenalan saya dan terima kasih,” ujar Andini hendak kembali ke tempat dimana tadi dia duduk.
“lho gak kamu mau kemana? Tanya Hendro tak mampu menahan Andini yang sudah ngacir kembali ke tempat duduknya.
“Jadi ada yang penasaran gak bapaknya Andini siapa namanya?” ujar Hendro karena dia memegang data lengkap Andini
“Mau…,” beberapa orang berteriak.
“Namanya siapa kak? siapa tahu orang penting jadi pas lulus kita bisa minta kerjaan sama bapaknya Andini,” celetuk peserta dan yang lain malah tertawa.
“Spil dikit aja ya, tadi nama paling belakang Andini Mulyawan, jadi tau dong dia anak siapa, kalau gak tau masuk goa aja sana,” ujar Hendro sambil tertawa.
“Benny Mulyawan Kak, wihhh Andini mau dong gue jadi saudara angkat lo?” Teriak Salah satu anak yang bertubuh tambun dengan rambut keriting, yang langsung di jawab "uuuuhhh,” oleh peserta yang lain.
“Soalnya Kalau mau jadi pacar gak mungkin lah gue, tau diri,” ujarnya tertawa begitu juga dengan yang lain.
“Ogah dia punya saudara modelan lo makannya banyak,” Teriak yang lain, tawa gemuruh pun terdengar disana.
Andini hanya tersenyum kecut mendengar candaan yang lain.
“Padahal aku senang sekali andaikan punya saudara tidak kesepian, untung aja sekarang ada Levin, eh kenapa aku jadi inget dia.” Andini buru-buru menggelengkan kepalanya seolah ingin mengusir bayangan Levin di kepalanya.
“Kalau old money emang gitu, beda ama okb, lihat saja cara dia berdandan, sederhana tapi berkelas, dia pake sendal jepit tetep aja bau duit. Gak kayak kita pake sendal jepit malah bikin orang kasihan,” ujar Linda tertawa pelan.
“Bener kata Kak Rania orangnya gak rese malah menyenangkan,beruntung banget terlahir jadi anaknya Benny Mulyawan?” ujar Duna tersenyum.
“Syukurin yang ada idup lo udah enak juga Dun,” ujar Lynda membuat Duna hanya tersenyum.
***
“Gimana kuliahnya?” Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
“Ya begitulah namanya juga anak baru, kakak kelas tidak tidak akan puas kalau tidak mengerjai,” ujar Andini, masih sedikit kesal ketika kakak tingkatnya memuji ayahnya, padahal dia merasa tidak ada kontribusi ayahnya disana, sejak duduk di bangku smp dia melakukannya sendiri.
“Apa perlu aku minta bantuan Duna agar tidak ada yang mengganggumu?” Andini terdiam mendengar perkataan Levin, dia lupa kalau Levin pernah bercerita adiknya juga kuliah di jurusan yang sama dengan dirinya.
“Bodoh banget sih gue. Bagaimana kalau Duna sampai tahu dan memberitahu Levin kalau aku bukan anak pembantu,” ujar Andini memukul kepalanya karena dia lupa.
“Jangan Om, nanti aku malah nambah kena masalah, aku bukan orang penting jadi gak terlalu disorot kok. Lagi pula mereka tidak melakukan hukuman yang berlebihan,” ujar Andini dengan wajah terlihat panik, untung saja Levin tidak berada di depannya.
“Aku lupa kalau Levin pernah bilang adiknya kuliah ditempat yang sama denganku, gimana ini kalau dia sampai tau yang sebenarnya,” ujar Andini mulai panik.
“Ayo mikir An,” ujarnya pada diri sendiri.
“Syukur lah kalau begitu, kalau ada macam-macam, kamu kabari aku, dan stop panggil aku Om beb,” ujar Levin membuat Andini tertawa geli.
“Kita kok kaya orang pacaran beneran Yang?” Balas Andini sambil mengirimkan emot ketawa.
“Kalau kita cocok kenapa ngak, kecuali kamu udah punya pacar beneran,”jawab Levin menulis tanpa Ekspresi.
“Dah malem syayeng ngantuk ah,”ujar Andini tidak ingin membahas lebih, dia lalu mematikan lampu kamar dan menarik selimutnya untuk tidur.
“Beneran nih tidur?” Pikir Levin jam sudah menunjukan pukul 11 malam.
“Sepertinya dia lelah, sudahlah besok aku juga harus bangun pagi agar tidak ketinggalan pesawat.
Lalu Levin mengambil ponsel kembali mengirim pesan untuk Andini.
“Besok aku harus ke London, ada seminar disana selama 3 hari, mungkin aku akan seminggu di London, baik-baik ya selama aku tinggal,” Levin lalu mengirimkan pesan itu, mematikan lampu dan pergi tidur.
***
Pagi menjelang, ia terkejut karena adzan subuh berkumandang, biasanya dia bangun jam 4 subuh, karena harus sampai kampus jam 7 pagi.
“Wah jam berapa ini, kenapa Alarmnya gak bunyi sih, untuk saja suara Adzan terdengar jelas,” ujar Andini mengecek sendiri, ia lalu bergegas kekamar mandi, sholat dan bersiap untuk berangkat, sepertinya tidak sempat sarapan.
“Non sarapan dulu,” teriak bi Isah ketika melihat Andini sudah hendak berangkat.
“Gak sempet, ayo Pak Maman,” perintah Andin pada pria tua yang selalu setia mengantarnya kemanapun juga.
“Ini Non untuk sarapan dan ini minimnya, kalau tidak nanti pingsan,” ujar Mbok Asih sambil memberikan sebotol air mineral.
“Terima kasih mbok,” ujar sambil menggigit roti sandwich.
“Ponselku mana?” tanyanya dipertengah jalan. Lalu Andini mencari didalam tas dan tidak ada hanya ada dompet kecil miliknya.
“Apakah ponselnya ketinggalan non?” Tanya Maman bertanya di balik kemudi.
“Iya Pak, sepertinya tertinggal dikamar.
“Apa kita perlu kembali kerumah?” Tanya Maman lagi.
“Tidak usah Pak, nanti saja setelah sampai kampus tolong bapak kembali, nanti bapak antaranya di jam 12 ya saya tunggu di depan halte bus fakultas teknik ya Pak,” pintanya karena jika tidak dia tidak bisa membeli makan siang karena semua menggunakan qris untuk membayar.
“Baiklah Non kalau begitu,” ujar Maman paham, karena kalau kembali sekarang Andini takut kesiangan dan dia akan mendapatkan hukuman, hal yang sangat dihindari olehnya.
Sementara itu di bandara, Levin memandangi ponselnya karena tidak ada jawaban sama sekali dari Andini bahkan tanda ceklis dua belum berubah warna artinya pesannya belum dibaca.
“Mas sudah saatnya kita berangkat,” ujar Yulia sekretaris Levin.
“Oh ya sudah, ayo” Levin berjalan menuju gate 6 dimana pesawat yang akan membawanya ke London sudah siap untuk take off.