Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 7
Bima mengamati layar ponselnya. Nama pembeli tertera sebagai "Rendi." Pesan itu singkat, langsung, dan sesuai dengan ekspektasi Arta.
Pesan: Speaker Bluetooth. Harga 150.000, saya ambil. COD di Stasiun Lama malam ini, pukul 8.
{Pukul 8 malam. Enam puluh menit dari sekarang. Lokasi Stasiun Lama berjarak 1.2 KM, mudah dijangkau dengan berlari. Risiko transaksi rendah. Waktu adalah uang, dan waktu ini sudah dioptimalkan.}
Bima segera membalas, "Siap. Pukul 8 tepat. Bawa uang pas."
Ia meletakkan ponsel itu di meja. Sisa modal tunainya Rp 184.500. Jika transaksi ini berhasil, modal tunai akan melonjak menjadi Rp 334.500. Kecepatan likuiditas adalah kunci untuk melunasi utang lima hari.
Tiba-tiba, ia teringat pada barang kedua: kamera digital yang membutuhkan baterai baru. Baterai yang ia pesan tadi seharusnya tiba dalam satu jam.
Tidak lama kemudian, sebuah motor kurir berhenti di depan gubuknya. Pengemudi yang terengah-engah menyerahkan paket kecil berisi baterai lithium ion. Biaya baterai Rp 25.000 sudah ia bayar saat pemesanan daring, tetapi ia memberikan tip kurir Rp 3.000, menyisakan modal tunai Rp 181.500.
Bima segera membuka paket. Ia memasukkan baterai baru ke kamera digital saku bekas. Tombol daya ditekan. Layar LCD yang semula mati kini menampilkan logo merek kamera. Dalam beberapa detik, kamera siap memotret.
{Aset kedua berhasil direstorasi. Biaya modal Rp 50.000, biaya perbaikan Rp 25.000 (baterai baru). Total modal Rp 75.000. Nilai jual kembali kamera ini di pasar daring bekas adalah Rp 250.000. Potensi untung bersih Rp 175.000. Lompatan yang nyata.}
Bima membersihkan lensa kamera dengan kain kecil yang ia temukan di tas Bima yang lama. Ia kemudian mengambil beberapa foto sederhana dengan speaker yang sudah ia perbaiki sebagai objek.
{Pemasaran visual. Pembeli kedua harus melihat bukti fungsionalitas.}
Ia segera mencantumkan kamera itu di lapak daring, memasang harga Rp 250.000, juga dengan syarat nego tipis dan COD.
Sore menjelang malam itu, Bima menyelesaikan dua siklus modal:
Speaker Bluetooth: Investasi modal Rp 51.500. Penjualan Rp 150.000. Untung kotor: Rp 98.500.
Kamera Saku: Investasi modal Rp 75.000. Penjualan Rp 250.000. Potensi untung kotor: Rp 175.000.
Ia memasukkan speaker yang sudah dibungkus rapi ke dalam tas lusuh, dan berjalan menuju Stasiun Lama.
Tepat pukul 8 malam, Bima tiba di lokasi. Stasiun Lama adalah kompleks transportasi kuno yang kini dijadikan titik pertemuan bagi pedagang daring dan kurir. Di bawah lampu neon yang berkedip, seorang pemuda berjaket kulit sintetis berdiri sambil sesekali melirik jam. Rendi.
"Ini speaker-nya," kata Bima, menyerahkan barang itu.
Rendi mengambilnya, menyalakannya, dan mencoba menghubungkannya dengan ponselnya. Musik pop terdengar dari speaker itu, jernih dan kuat.
"Kok, mulus banget? Kamu bilang bekas, tapi ini seperti baru," kata Rendi, sedikit curiga.
"Bekas, Tuan. Tapi sudah direstorasi oleh teknisi andal," balas Bima tanpa mengubah ekspresinya.
"Baiklah. Uang pas," Rendi menyerahkan tiga lembar uang lima puluh ribuan.
{Transaksi selesai. Kepercayaan pembeli tercapai.}
Bima memasukkan uang itu ke sakunya. Rp 150.000 bersih. Ia berbalik untuk segera pergi, tetapi Rendi memanggilnya kembali.
"Hei. Kamu ini yang iklankan jasa kurir tercepat itu, kan? Yang jaminan uang kembali?"
Bima mengangguk. "Ya. Jasa Kurir Kilat."
Rendi tertawa. "Gila. Teknisi, pedagang, sekaligus kurir. Kerja sampai gila, Nak. Tapi bagus. Aku punya masalah. Mau kirim suku cadang ke bengkel Ayahku. Jaraknya 3 KM. Tapi ini harus sampai sebelum bengkel tutup, jam 9 malam. Kurir biasa menolak karena jauh dan macet. Berani ambil, Kurir Kilat?"
{Jarak 3 KM. Batas waktu 45 menit. Jauh di luar radius janji 1 KM. Ini adalah tantangan baru yang menuntut analisis rute yang lebih kompleks. Risiko kegagalan pengiriman berarti kehilangan reputasi dan waktu.}
"Berani," jawab Bima cepat. "Tapi harganya berbeda. Lima belas ribu Rupiah. Jika gagal, uang kembali seratus persen."
"Deal! Ini barangnya, oli, dan beberapa komponen kecil. Ini alamatnya." Rendi menyerahkan paket kecil yang terasa berat dan selembar kertas.
Bima segera mengambil paket itu, membuka aplikasi peta di ponsel pintarnya. Kali ini, ia tidak bisa mengandalkan kecepatan lari 8 km/jam konstan karena jaraknya tiga kali lipat.
{3 KM dalam 45 menit. Aku akan menghabiskan modal tunai yang tersisa. Waktu kritis. Aku harus sewa motor ojek daring.}
"Tunggu, Nak. Aku akan pesan ojek daring untukmu," kata Rendi, melihat Bima yang tampak panik.
"Tidak perlu, Tuan. Saya mengurus transportasi sendiri. Itu bagian dari efisiensi yang saya jual," potong Bima. Ia harus menunjukkan bahwa kendali atas efisiensi berada di tangannya, bukan di tangan pihak ketiga.
Ia berlari menuju pos ojek pangkalan yang berjarak seratus meter. Bima mengeluarkan dua lembar uang dua puluh ribuan dari sisa modalnya. Total modal tunainya kini Rp 331.500.
"Pak, ke alamat ini. Serahkan di depan bengkel, saya bayar dua puluh ribu. Sekarang," ujar Bima kepada pengendara ojek pangkalan yang tampak santai.
Pengendara itu terkejut dengan tawaran itu, karena biasanya tarif ke sana hanya Rp 10.000. Ia segera menyalakan motornya. "Naik, Nak!"
Bima segera melompat ke belakang. Ia melirik jam di ponselnya. Pukul 8:07 malam.
{Total modal berkurang Rp 20.000. Modal tunai tersisa Rp 311.500. Ini bukan pertumbuhan, tetapi leverage biaya. Menggunakan uang untuk membeli waktu adalah investasi yang lebih baik daripada membiarkan waktu yang lambat mengurangi potensi penghasilan.}
Di atas motor yang meliuk-liuk di tengah kemacetan kota malam, pikiran Arta bekerja keras. Ia sedang mengamati bagaimana uang tunai Rp 20.000 berhasil menghemat tiga puluh menit waktu pribadinya. Tiga puluh menit yang bisa ia gunakan untuk mendapatkan pembeli kamera.
Motor berhenti di depan Bengkel Tuan Budi tepat pukul 8:25 malam.
"Terima kasih, Pak. Ini uangnya," kata Bima, menyerahkan uang itu.
"Kamu anak muda paling aneh yang pernah aku antar," gumam tukang ojek itu.
Bima menyerahkan paket kepada mekanik yang menunggu di depan. "Dari Rendi. Selesai dalam delapan belas menit."
Mekanik itu mengangguk, terkesan. Ia menyerahkan uang Rp 15.000 tunai.
Bima segera menghitung. Total penghasilan malam ini dari kurir Rp 15.000, dikurangi biaya transportasi Rp 20.000, rugi bersih Rp 5.000.
{Rugi modal! Rasio investasi waktu tidak sebanding. Aku harus memiliki alat transportasiku sendiri. Leverage yang sesungguhnya adalah aset, bukan jasa. Rencana baru: Beli motor bekas.}
Bima berjalan menjauh dari bengkel, tetapi ponsel pintarnya bergetar. Pesan dari Rendi, si pengirim paket.
Pesan: Keren. Aku akan menggunakan jasamu lagi. Ini tip Rp 30.000 untuk kecepatan yang gila.
Uang itu masuk ke rekening daring Bima.
{Keuntungan emosional. Kepercayaan klien adalah kekayaan tak berwujud. Penghasilan kurir malam ini: Rp 15.000 (upah) + Rp 30.000 (tip) - Rp 20.000 (biaya ojek) \= Untung bersih Rp 25.000. Total modal tunai + rekening daring: Rp 311.500 + Rp 30.000 \= Rp 341.500.}
Bima tersenyum tipis. Dewa Kekayaan telah menerima tip. Itu adalah pengakuan nilai yang nyata.
Ia memutuskan untuk tidak langsung kembali ke gubuk. Ponselnya bergetar lagi, kali ini pemberitahuan dari lapak daring.
Pesan: Kamera Saku - Permintaan Nego.
Pembeli pertama untuk kamera saku sudah datang. Bima membuka pesan tersebut. Permintaan itu datang dari seseorang bernama "Lia" yang menawar kamera seharga Rp 220.000.
{Nilai jual target Rp 250.000. Biaya modal Rp 75.000. Margin keuntungan Rp 175.000. Menurunkan harga Rp 30.000 masih meninggalkan margin yang besar. Kecepatan likuiditas lebih penting daripada nilai absolut.}
Bima membalas. "Rp 230.000 net. COD besok siang di alun-alun. Terima atau tidak."
Ia menutup ponselnya. Sekarang yang perlu ia lakukan hanyalah memastikan utang Rp 3.000.000 lunas dalam lima hari. Dua aset sudah di likuiditas. Ia butuh tiga aset lagi untuk dibeli besok pagi.
{Skala. Aku harus memutar modal ini menjadi setidaknya empat aset per hari. Servis di Pak Jojo menjadi sumber modal awal, dan perdagangan aset menjadi tuas utamaku.}
Bima menghitung ulang total kekayaannya dalam dua hari. Utang pokok: Rp 3.000.000. Total Aset: Rp 341.500 (tunai + daring) + Rp 230.000 (potensi penjualan kamera) \= Rp 571.500.
"Aku semakin dekat," gumam Bima, lalu ia mulai melangkah cepat menuju gubuknya.
Keesokan paginya, Bima bangun sebelum matahari terbit. Targetnya jelas: menginvestasikan modal tunai yang tersisa. Ponsel pintarnya bergetar. Lia, pembeli kamera, membalas pesan nego.
Pesan: Deal. Rp 230.000. Alun-alun, jam 12 siang.
{Aset kedua terjual dengan potensi untung bersih Rp 155.000. Likuiditas terkonfirmasi. Hari ini, modal kerja awal yang aku miliki adalah Rp 341.500. Cukup untuk mengakuisisi tiga hingga empat aset rongsokan baru.}
Bima meninggalkan gubuknya. Ia sengaja menghindari toko Pak Jojo. Bisnis jasa komisi telah selesai. Kini, ia harus beralih sepenuhnya menjadi pedagang aset aktif.
Tujuan pertamanya adalah Pasar Loak Jaya, tempat Tuan Banu berdagang. Bima berjalan dengan kecepatan langkah yang terukur, matanya menyapu setiap lapak, mengkalkulasi peluang keuntungan.
Ia tiba di meja Tuan Banu. Pria tua itu sedang menyesap kopi dan tampak lebih tenang daripada kemarin.
"Pagi, Tuan Banu. Saya datang lagi. Saya butuh rongsokan yang potensial hari ini. Tiga sampai empat unit. Tunjukkan aset terbaik Anda yang nilainya tersembunyi," kata Bima tanpa basa-basi.
Tuan Banu meletakkan cangkirnya, matanya menyipit. "Baru kemarin kamu membeli sampahku. Anak tukang servis. Kenapa kamu kembali lagi? Biasanya kalian hanya membeli satu atau dua untuk kebutuhan reparasi."
"Saya bukan lagi tukang servis komisi. Saya pedagang. Saya memutar modal saya," jawab Bima. "Speaker yang saya beli kemarin sudah terjual. Sekarang, saya butuh rongsokan yang lebih menantang."
Tuan Banu terdiam sejenak. Ia melihat tekad dingin dalam mata Bima, sesuatu yang tidak ia temukan pada pemuda lain. Pria tua itu menggeser tumpukan kardus di belakang mejanya.
"Ini ada tiga. Ambil semua, saya beri harga bagus," kata Tuan Banu, menunjuk tiga barang:
Sebuah proyektor mini portabel, layarnya mati, bodi tergores.
Sebuah headset nirkabel bermerek, bantalan telinga hancur, tetapi lampu indikatornya sesekali berkedip.
Sebuah power bank berkapasitas besar, tampak bekas terbakar di bagian samping, tetapi masih utuh.
Bima segera mengambil proyektor. Ia menyalakannya, layar tetap gelap.
{Proyektor mati. 95% masalah ada di bohlam LED atau kipas pendingin yang gagal. Bohlam pengganti maksimum Rp 50.000. Nilai jual kembali Rp 450.000.}
Ia beralih ke headset. Dicolokkan ke ponsel pintarnya. Headset itu langsung terdeteksi, tetapi tidak ada suara.
{Headset nirkabel. Bantalan telinga mudah diganti (Rp 15.000). Masalah suara seringkali adalah koneksi solder retak atau driver yang kotor. Biaya perbaikan maksimal Rp 20.000. Nilai jual kembali Rp 180.000.}
Terakhir, power bank itu. Bima mencolokkannya. Ia hanya menampilkan indikator 1% daya.
{Power bank. Bagian yang terbakar menunjukkan kegagalan sel tunggal. Ganti satu sel baterai saja (Rp 30.000) dan casing. Nilai jual kembali Rp 120.000.}
Total potensi nilai jual: Rp 750.000. Total biaya perbaikan maksimum: Rp 115.000.
"Berapa harga untuk tiga sampah ini, Tuan Banu?" tanya Bima, suaranya tenang.
Tuan Banu berpikir. Ia tahu anak ini tidak akan membayar harga penuh. "Total harga aslinya seratus delapan puluh ribu Rupiah. Karena kamu pedagang dan berani mengambil tiga unit sekaligus... seratus lima puluh ribu Rupiah."
Bima menggeleng. "Terlalu tinggi, Tuan. Proyektor perlu bohlam mahal. Headset ini jelas-jelas putus koneksi di bagian dalam. Power bank ini punya risiko meledak. Saya tidak membeli nilai jual, saya membeli risiko. Seratus dua puluh ribu Rupiah. Uang tunai sekarang."
"Seratus tiga puluh ribu. Itu harga mati untuk tiga barang," potong Tuan Banu.
Bima mengangguk. "Deal. Seratus tiga puluh ribu."
Ia menghitung uang tunai. Modal Rp 311.500 dikurangi Rp 130.000. Sisa tunai Bima kini Rp 181.500.
{Investasi modal Rp 130.000 pada tiga aset. Waktu kritis untuk perbaikan: empat jam. Pukul 12 siang aku harus likuidasi aset kamera.}
Bima membawa ketiga barang itu kembali ke gubuknya. Pagi itu didedikasikan sepenuhnya untuk mengembalikan nyawa aset mati.
Ia memulai dengan headset. Membongkar bantalan telinga dan menemukan retakan solder halus pada konektor driver. Solusi: solder ulang cepat dan rapi. Perbaikan selesai dalam sepuluh menit. Headset nirkabel kini berfungsi. Bima segera memesan bantalan telinga daring seharga Rp 15.000.
Selanjutnya, power bank. Bima mengganti sel yang rusak dan menutup kembali casing-nya. Dalam lima belas menit, power bank itu menunjukkan 70% daya.
Terakhir, proyektor mini. Ini adalah tantangan terbesar. Bima menduga bohlamnya putus. Setelah membongkar proyektor, ia menemukan bohlam LED yang hangus. Ia segera mencari bohlam pengganti di ponsel pintarnya. Harganya Rp 48.000, dikirim dalam dua jam. Ia segera memesan.
Total biaya komponen pagi ini: Rp 15.000 (bantalan headset) + Rp 30.000 (sel power bank) + Rp 48.000 (bohlam proyektor) \= Rp 93.000.
{Biaya perbaikan Rp 93.000. Modal tunai tersisa Rp 88.500. Riset dan perbaikan cepat selesai. Sekarang, likuiditas.}
Bima segera mencantumkan headset nirkabel dan power bank di lapak daring dengan harga yang sudah ia tentukan. Ia menambahkan keterangan jujur: "Direstorasi, kondisi seperti baru."
Pukul 11:30 siang. Sebuah motor kurir tiba, membawa bohlam LED dan bantalan headset. Bima memasang bohlam LED dan kipas pendingin di proyektor. Layar proyektor kini menampilkan gambar jernih. Headset dipasang bantalan baru, tampilannya kembali premium.
Ponsel Bima berdering. Panggilan masuk dari Lia, pembeli kamera.
"Saya sudah di alun-alun, di depan air mancur. Anda di mana?" tanya Lia.
{Waktu likuidasi. Pukul 12:00 tepat.}
Bima melihat arlojinya. Pukul 11:50. Ia mengunci gubuknya, membawa kamera saku yang sudah disiapkan, dan mulai berlari menuju alun-alun, siap untuk mengubah aset menjadi likuiditas tunai yang akan membiayai lompatan skala berikutnya.
Bima menyelesaikan transaksi dengan Lia tepat pukul 12:00. Uang tunai Rp 230.000 berpindah tangan, ditukarkan dengan kamera yang berfungsi prima.
{Aset ketiga dilikuidasi. Untung bersih Rp 155.000. Total modal tunai kini Rp 318.500. Momentum tercipta.}
Penjualan kamera itu menjadi pemicu percepatan yang ia butuhkan. Dalam empat hari berikutnya, Bima hidup dalam siklus yang kejam dan terstruktur. Pagi hari, ia memburu rongsokan elektronik di Pasar Loak Jaya dan pasar-pasar kecil lainnya, menawar dengan dingin, bernegosiasi dengan perhitungan yang akurat. Siang hari, ia menjadi teknisi ulung di gubuknya, menyolder, mengganti komponen, dan memoles barang bekas hingga nyaris sempurna. Malam hari, ia menjadi pedagang daring, melakukan puluhan transaksi COD di berbagai titik kota, dari stasiun hingga lobi-lobi apartemen.
Ia berinvestasi lebih banyak pada waktu. Uang tunai yang diperoleh langsung digunakan untuk membeli suku cadang instan atau menyewa ojek pangkalan untuk menghemat menit berharga. Bima mulai dikenal di pasar loak bukan sebagai tukang servis, melainkan sebagai 'Pedagang Elektronik Instan,' sosok misterius yang membeli sampah di pagi hari dan menjualnya kembali dalam kondisi seperti baru di malam harinya.
Lompatan skala terjadi secara eksponensial. Modal Rp 300.000 menjadi Rp 800.000, kemudian Rp 800.000 menjadi Rp 2.500.000, hingga akhirnya pada hari kelima, Bima (Arta) berhasil menembus batas utang.
{Lima hari. Tepat waktu. Aku telah membuktikan bahwa kecepatan likuiditas adalah keajaiban sejati di dunia fana ini.}
Pada sore hari yang ditentukan, Bima duduk di gubuknya, menatap tumpukan uang tunai yang tersusun rapi di atas meja kayu. Total uang tunai dan saldo rekeningnya telah mencapai Rp 4.560.000. Angka itu jauh melampaui utang pokok Rp 3.000.000.
Setelah menghitung uang yang akan ia gunakan untuk pembayaran utang beserta bunga yang dijanjikan, sisa uang Bima adalah Rp 1.560.000. Ia memasukkan uang Rp 3.000.000 ke dalam tas ransel kecil, meninggalkan sisanya di bawah bantal.
Bima mengenakan kaus lama, wajahnya tenang dan tanpa ekspresi, tetapi di dalam hatinya, Arta merasakan euforia yang tak pernah ia rasakan di alam surgawi. Ia telah menciptakan kekayaan dari nol, dengan akal dan kecepatan.
Ia berjalan menuju alamat yang tertera di surat utang Bima yang lama: sebuah gudang kosong di ujung gang yang gelap dan sepi, sarang dari Rentenir berinisial M.
Tiba di depan gudang, dua pria bertubuh besar berdiri di pintu. Mereka menatap Bima dengan pandangan meremehkan.
"Aku Bima. Aku datang untuk membayar utangku," kata Bima, suaranya mantap.