Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ide bisnis laundry muncul
IDE BISNIS LAUNDRY MUNCUL
Sudah hampir dua bulan Fajar bekerja di Warung Mbok Jumi. Rutinitas yang sama berulang setiap hari—bangun subuh, kuliah sampai siang, kerja sampai malam, tidur larut. Tubuhnya semakin kurus. Tulang belikat mulai menonjol. Pipinya cekung. Matanya cekung dengan kantung mata yang menghitam. Tapi ia tidak peduli. Yang penting masih bisa berdiri, masih bisa kerja, masih bisa kuliah.
Senin pagi, seperti biasa Fajar berangkat ke kampus. Hari itu ia harus presentasi kelompok untuk mata kuliah Manajemen Pemasaran. Kelompoknya ada empat orang: Fajar, Dika, Rendi, dan Arya. Ketiganya anak orang kaya—terlihat jelas dari cara mereka berpakaian dan gaya hidup mereka.
Mereka janjian kumpul di kelas pagi-pagi untuk diskusi terakhir sebelum presentasi. Tapi ketika Fajar tiba jam tujuh pagi, hanya dia yang datang tepat waktu. Dika datang jam setengah delapan dengan mata sembab—jelas habis begadang main game. Rendi datang jam delapan kurang seperempat dengan bau parfum menyengat dan rambut masih basah—baru selesai mandi. Arya? Dia baru datang jam delapan lewat lima menit dengan wajah kusut dan bau rokok.
"Anjir, gue capek banget," keluh Dika sambil menguap lebar. "Semalam gue main Dota sampai jam tiga pagi. Rank gue udah Immortal, bro!"
"Gila lu, nolep banget," sahut Rendi sambil terkekek. "Gue semalam nge-club sampe jam dua. Terus pulang, langsung tidur. Bangun jam tujuh, mandi kilat, langsung ke sini."
Arya hanya nyengir sambil menyalakan rokok. "Lu pada enak. Gue semalam kerja part-time sampe pagi."
"Part-time apaan?" tanya Dika penasaran.
"Jadi DJ di bar. Lumayan, sekali manggung dua juta."
Mereka tertawa-tawa, sementara Fajar hanya diam mendengarkan sambil membaca materi presentasi yang sudah ia siapkan sendiri sejak seminggu lalu—karena yang lain tidak ada yang mau ambil pusing.
"Eh, Jar," panggil Rendi tiba-tiba. "Lo bau aneh deh."
Fajar tersentak. Ia refleks mengendus bajunya sendiri. Kemeja lusuhnya memang sudah ia pakai dua hari berturut-turut—belum sempat dicuci karena ia terlalu lelah. Mungkin memang sudah mulai bau keringat.
"Maaf," gumam Fajar pelan, wajahnya memerah malu. "Kemarin belum sempat cuci baju."
"Belum sempat cuci?" Arya mengernyit. "Emang lo nggak ada baju lain?"
"Ada. Tapi... lagi nggak sempat aja," jawab Fajar berbohong. Kenyataannya, ia hanya punya dua kemeja. Yang satu sedang dijemur di kos setelah dicuci semalam—tapi belum kering karena cuaca mendung.
"Kenapa nggak bawa ke laundry aja?" tanya Dika sambil menatap ponselnya—sepertinya sedang main game lagi.
"Laundry kampus mahal," jawab Fajar jujur.
"Berapa sih? Nggak gitu mahal juga kali," sahut Rendi enteng.
"Sepuluh ribu per kilo."
"Lah, murah itu! Gue sering laundry di situ. Praktis. Tinggal antar pagi, sore udah jadi."
Fajar tidak menjawab. Sepuluh ribu per kilo—untuk orang seperti Rendi mungkin tidak ada artinya. Tapi untuk Fajar? Itu uang makan dua hari.
Setelah presentasi selesai—yang mana Fajar yang paling banyak bicara karena dia yang paling paham materi—mereka keluar kelas bersama. Di koridor, mereka melewati beberapa mahasiswa yang sedang mengeluh.
"Anjir, baju gue nggak balik lagi dari laundry," keluh seorang mahasiswa laki-laki pada temannya. "Gue komplain, mereka bilang hilang. Nggak ada ganti rugi. Baju Supreme gue yang harganya dua juta ilang gitu aja!"
"Lo juga? Gue kemarin celana jeans gue luntur dicampur sama baju orang lain. Rusak total. Komplain, mereka nggak mau tanggung jawab. Bilangnya 'risiko pelanggan'."
"Laundry kampus emang sampah. Mahal, lama, sering ilang barang, kualitas juga jelek."
Fajar mendengar percakapan itu dengan seksama. Otaknya mulai bekerja.
Laundry kampus mahal tapi kualitasnya buruk. Banyak mahasiswa yang ngeluh. Tapi mereka tetap pakai karena nggak ada pilihan lain—mereka malas nyuci sendiri.
Ia teringat ketika minggu lalu di perpustakaan, ia melihat seorang mahasiswa duduk di pojok dengan tumpukan baju kotor di sebelahnya. Baju-baju itu dibiarkan begitu saja sampai berbau. Ketika Fajar duduk tidak sengaja di dekatnya, baunya sangat menyengat—bau apek campur keringat.
Mahasiswa-mahasiswa kaya ini malas nyuci sendiri. Mereka lebih milih bayar laundry meski mahal dan kualitas jelek, daripada capek nyuci sendiri.
Kemudian ia teringat kamar sebelah kosnya—dihuni oleh dua mahasiswa yang juga kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Setiap kali Fajar lewat depan kamar mereka, baunya sangat busuk. Baju-baju kotor menumpuk sampai menutupi sebagian lantai. Pernah sekali pintunya terbuka, Fajar melihat tumpukan pakaian yang kayaknya sudah berminggu-minggu tidak dicuci.
Mereka punya uang tapi malas nyuci. Laundry kampus mahal dan sering bermasalah. Mahasiswa butuh alternatif.
Otaknya terus bekerja sepanjang hari itu. Bahkan saat kerja di warung, tangannya cuci piring secara otomatis tapi pikirannya melayang jauh.
Bagaimana kalau... bagaimana kalau aku buka jasa laundry kiloan yang murah tapi berkualitas?
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.