NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:938
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dekapan Sang Elang

Taeri tertegun di walk-in closet yang luas. Matanya menyapu deretan kemewahan yang seolah mencibirnya. Tas-tas desainer berjejer rapi, bagaikan barisan tentara, sepatu hak tinggi tersusun apik, dan gaun-gaun berkelas tergantung menggoda. Meja rias dengan peralatan make-up dan perawatan kulit berkilauan, memantulkan kemewahan yang terasa asing dan tak tersentuh.

"Apa ini semua?" bisiknya tajam. "Berapa ratus juta euro yang dia hamburkan untuk omong kosong ini? Apa dia pikir aku bisa dibeli dengan semua ini? Cih! Awas saja kalau dia pulang, akan kubuat perhitungan. Mentang-mentang kaya, seenaknya merendahkan orang."

Jemarinya bergerak gelisah, menyentuh dan merapikan setiap barang dengan gerakan yang hampir kasar, seolah menyalurkan kekacauan di hatinya. "Tapi... seleranya brengsek juga," gumamnya, kekaguman yang tak rela tiba-tiba menyelinap. "Apa dia sengaja melakukannya?" Amarah pada Azey masih membara, namun sedikit demi sedikit luntur oleh sentuhan kemewahan yang tak terduga.

Saat itu, Azey memasuki kamar dengan tenang. "Ke mana kelinci kecil itu bersembunyi?" pikirnya, senyum tipis bermain di bibirnya. "Mau kabur?" Matanya menemukan Taeri di walk-in closet, sibuk di depan cermin dengan beberapa gaun. "Asyik dengan dunianya sendiri rupanya. Sampai kapan topeng kemarahan itu akan bertahan, sayang?" Setiap gerak Taeri memancarkan aura percaya diri yang memikat, sekaligus membangkitkan hasrat tersembunyi dalam dirinya.

Tanpa ragu, Azey melangkah masuk ke walk-in closet. Taeri belum menyadari kehadirannya saat Azey memeluknya dari belakang, menghirup aroma tubuhnya di lehernya. Taeri membeku seketika. Udara di sekitar mereka terasa menyesakkan, penuh dengan ancaman yang tak terucapkan.

"Lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan di sini?" desis Taeri, berusaha melepaskan diri. "Belum cukup kamu memperkosaku semalam, hah? Mau mengulanginya lagi?" Ia menolak sentuhan itu, berbalik, dan menantang dengan tatapan tajam.

Azey menatapnya dari jarak yang sangat dekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Taeri. "Kamu terlihat lebih hidup saat marah, sayang," bisiknya, suaranya rendah dan penuh ejekan. "Apa kamu lupa bagaimana tubuh telanjangmu menggeliat minta lebih semalam? Bagaimana bibirmu yang kecil itu mencaci maki, tapi matamu memohon?" Ia merasakan penolakan yang tak pernah padam dalam diri gadis itu, sebuah tantangan yang membuatnya semakin tertarik. Dengan gerakan pelan, ia mengangkat tangannya, mengusap pipi Taeri dengan sentuhan yang ambigu, antara kelembutan dan ancaman.

"Berhenti, Tuan. Jangan sentuh aku. Aku benci kamu. Aku jijik dengan sentuhanmu. Jadi, berhenti bicara omong kosong," ucap Taeri getir, tubuhnya menegang. Ia merasa terpojok oleh kehadiran Azey yang terlalu dekat, terlalu mengintimidasi, seolah dirinya adalah mangsa yang terperangkap.

"Tenanglah, sayang. Aku akan memberimu waktu... setidaknya untuk malam ini," bisik Azey, senyumnya dingin. "Aku tidak akan menyentuhmu malam ini. Kamu bisa beristirahat dengan tenang." Namun, ia tetap menunduk, menempelkan bibirnya pada bibir Taeri, sebuah pelanggaran yang tak terhindarkan.

"Mmmph!" Taeri terkejut, marah, dan refleks mendorong dada Azey. Tapi pria itu terus melumatnya, tangannya meremas kedua pantatnya, mengangkat tubuhnya sedikit. Taeri tak berdaya melawan, terjebak dalam ciuman yang memabukkan dan menakutkan. Ia benci mengakui bahwa jantungnya berdebar lebih cepat karena sentuhan pria itu, dan itu membuatnya semakin muak pada dirinya sendiri.

Azey mengakhiri ciuman panas itu, tapi napas Taeri masih tersengal dan jantungnya berpacu liar. Tanpa memberi waktu untuk menenangkan diri, Azey mengangkatnya dengan mudah, membawanya ke ranjang. Wajah Taeri pucat pasi, matanya memancarkan ketakutan yang nyata.

"Lepaskan aku, bajingan! Mau membawaku ke mana? Tolong, jangan perkosa aku lagi. Aku mohon! Aku lelah... seharian membereskan semua barang-barang sialanmu itu!" Taeri meronta, menendang, dan memaksa untuk diturunkan. Pikirannya dipenuhi amarah dan ketakutan, bayangan kejadian semalam menghantuinya. Azey menatapnya dingin, tatapan yang membuat darahnya membeku.

"Jangan melawan, kelinci kecil," desisnya dengan nada mengancam yang rendah, suaranya seperti beludru yang mengandung racun. "Atau aku akan menjatuhkanmu ke lantai. Satu gerakan lagi, kau akan tahu bahwa aku tidak main-main." Dominasi dan obsesi gelap terpancar dari mata Azey, menunjukkan kuasanya atas diri Taeri, dan betapa ia menikmati ketakutan itu.

Karena kesal dan marah, Taeri menggigit dada Azey dengan kasar, menyalurkan kemarahan dan frustrasi yang menumpuk. Ia menggigit sekuat tenaga, berharap bisa melukai pria itu. Azey tetap tidak bergeming, menatapnya dengan senyum puas yang tenang, menikmati perlawanan Taeri sebagai bukti betapa berartinya emosi gadis itu baginya.

"Cih! Kau bahkan tidak merasakan sakit? Dasar psikopat gila! Semoga saja kamu mati dengan cara yang paling menyakitkan," Taeri terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. Ia menolak, tapi sadar bahwa obsesi Azey tak mudah dilepaskan.

_________

Di Korea Selatan di balik jeruji sel yang dingin, Minsook mencengkeram besi, wajahnya merah padam. "Brengsek! Lepaskan aku!" raungnya. "Aku tidak bersalah! Sabotase itu bukan ulahku! Seseorang menjebakku, kau dengar?! Apa kalian semua idiot? Kenapa aku harus menghancurkan perusahaan yang sudah kubangun dengan susah payah?!" Suaranya parau, setiap kata menyemburkan amarah yang membara.

Para penjaga tetap seperti patung, mata mereka tanpa ekspresi menatap lurus ke depan, seperti anjing penjaga yang menunggu perintah eksekusi.

Lalu, Giorgio muncul, auranya membelah kesunyian. Para penjaga langsung membungkuk dalam-dalam, rasa hormat dan takut terpancar jelas. Minsook menatap Giorgio dengan tatapan membunuh.

"Dialah orangnya! Bajingan itu yang menjebakku! Tangkap dia sekarang juga! Aku akan bayar kalian berapapun yang kalian mau!" Minsook berteriak histeris, air liurnya muncrat ke jeruji. Para penjaga hanya melirik jijik, seolah Minsook adalah sampah yang membusuk.

"Diam, Tuan. Jangan membuat keributan," bentak salah satu penjaga dengan nada sedingin es.

Giorgio mengabaikan teriakan Minsook, matanya menyorotkan ketenangan yang mengerikan. "Minsook-ssi, aku datang untuk menawarkan jalan keluar, kebebasan. Jika kau cukup pintar, kau akan ikut denganku sekarang. Jika tidak... silakan membusuk di sini." Suaranya lembut, namun setiap kata terasa seperti pisau yang mengiris kulit.

Minsook menatap Giorgio dengan curiga, matanya menyipit. "Apa yang kau rencanakan, Giorgio? Kenapa tiba-tiba ingin 'membebaskanku' setelah kau sendiri yang menjebloskanku ke sini? Ini terlalu mencurigakan! Bagaimana bisa aku percaya padamu?!" tanya Minsook dengan nada bimbang, marah, dan bingung menjadi satu. Namun, di tengah lautan keputusasaan, secercah harapan muncul, bagai iblis yang menawarkan perjanjian terlarang.

Setelah pertukaran kata yang penuh ketegangan, Minsook memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengikuti Giorgio dengan langkah berat, setiap sel tubuhnya berteriak waspada. Ia merasa ini bukan jalan menuju kebebasan, melainkan jalan setapak menuju neraka yang paling dalam. Para penjaga yang mengawal mereka semakin memperkuat firasat buruknya.

Mereka tiba di sebuah ruangan terpencil di sudut penjara, tempat kegelapan berkuasa. Dindingnya dipenuhi oleh alat-alat penyiksaan yang mengerikan: pisau bergerigi, tang berkarat, rantai berdarah. Setiap benda memancarkan aura kematian yang pekat.

Saat pintu ruangan itu tertutup dengan bunyi berderit yang mengerikan, Minsook menatap Giorgio dengan tatapan bertanya. Ia menuntut jawaban.

"Apa maksud semua ini, Giorgio? Kau bilang akan membebaskanku, kenapa kau membawaku ke tempat terkutuk ini?" tanyanya dengan nada putus asa bercampur harapan yang rapuh. Giorgio tetap tanpa ekspresi. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan efisien.

"Ini adalah tugas terakhirku dari Sang Tuan... aku di sini untuk mengakhiri penderitaanmu," jawab Giorgio dengan suara datar, tanpa emosi. "Aku menepati janjiku. Ini... adalah pembebasanmu yang sesungguhnya." Saat Minsook menyadari arti kata-kata itu, darahnya membeku menjadi es. Ia ingin berteriak, namun rasa takut melumpuhkan pita suaranya.

Giorgio mengeluarkan pistol dari balik jasnya, gerakannya tenang dan terkendali, seperti seorang algojo yang siap mengeksekusi hukuman mati. Ia tidak memberi Minsook kesempatan untuk memohon atau mengucapkan kata-kata terakhir.

"Perintah Sang Tuan harus ditegakkan," ucapnya singkat, tanpa sedikit pun penyesalan.

Suara tembakan memecah keheningan ruangan. Dunia Minsook runtuh menjadi kepingan-kepingan kegelapan abadi. Sebuah peluru menembus kepalanya, mengirimkan tubuhnya ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Darah segar mengalir deras di atas batu bata tua, menjadi saksi bisu dari kekejaman Blood Eagle yang tak berkesudahan semetara sang pemimpin masih tertidur nyenyak.

____________

Taeri, yang bangun lebih dulu, sudah berada di taman. Ia mengamati bunga-bunga pesanannya, kepalanya dipenuhi bayangan tentang bagaimana ia akan menyulap taman itu. "Taman ini... dulu menyedihkan sekali, seperti kuburan tak terurus. Aku harus menghidupkannya. Kalau dibiarkan oleh si psikopat gila itu, pasti tidak akan pernah berubah," gumamnya kesal sambil menanam mawar satu per satu.

Selesai menanam, ia menyirami bunga-bunga itu. Dalam hati, ia merasakan secercah kebahagiaan. "Akhirnya, aku bisa melakukan sesuatu yang berarti. Ini membuatku merasa bebas, bukan hanya menjadi objek nafsu pria mesum itu. Kalau sampai dia berani merusak ini, aku benar-benar akan membunuhnya kali ini." Ia mencium aroma mawar yang baru disiramnya.

Di kamar, Azey terbangun dengan sentakan, merasakan kekosongan yang dingin di sebelahnya. "Sial, dia sudah pergi lagi. Apa sekarang dia ingin bermain petak umpet?" gumamnya datar, tidak suka ditinggalkan, walau hanya sekejap.

"Kalau sampai kamu pergi, aku benar-benar akan menghukummu kali ini, gadis kecil. Sampai kamu merasa tidak ingin menjauh sedikit pun dariku." Ada rasa jengkel yang menusuk karena Taeri bergerak tanpa izin atau sepengetahuannya.

Azey bangkit dari ranjang, bergegas mencari Taeri, memastikan gadis itu tidak pergi terlalu jauh. Ketika ia mendekati jendela, siluet Taeri di luar langsung tertangkap matanya. Rasa frustrasinya berubah menjadi gelombang obsesi yang lebih pekat.

"Apa yang sedang dia lakukan di sana?" bisik Azey, matanya menajam.

Taeri tampak sedikit tersenyum, dengan tenang menyirami bunga-bunga. Gaun tipisnya membungkus tubuhnya, menari lembut di embusan angin pagi. Senyum sederhana itu, yang terlihat begitu damai, justru membuat Azey merasa ingin memilikinya.

"Senyum itu... Dia belum pernah memperlihatkannya sejak datang ke tempat ini. Apa kau sangat membenciku, gadis kecil?" gumamnya pelan, tangannya mengepal, rasa kepemilikan mengeras di dadanya.

"Kecantikannya bukan untuk dilihat dunia," pikirnya tajam, "bukan untuk dibagikan pada matahari, atau bahkan bunga-bunga itu. Kecantikan itu milikku seutuhnya. Taeri, kamu hanya boleh tersenyum dan menangis di hadapanku." Ia merasa yakin, ia berhak atas setiap inci dari gadis itu, lalu pergi ke meja kerjanya.

Setelah merasa cukup, Taeri kembali ke dalam Mansion dengan tubuh lelah dan pikiran yang hanya ingin beristirahat. Ia merasa sudah melakukan banyak hal pagi itu. Saat masuk ke kamar, ia tidak mempedulikan Azey yang duduk di kursi kerjanya, ingin menghindari perhatian pria itu.

“Psikopat itu sudah bangun ternyata. Ada apa dengan wajah masamnya itu? Apa dia kurang tidur semalaman setelah menakut-nakutiku?” ia bergumam kesal, dengan langkah gontai ingin pergi ke kamar mandi. Namun, Azey langsung merasa kesal karena Taeri mengabaikannya. Ia menghampiri Taeri, menarik pinggang gadis itu.

“Sayang, apa kau ingin berpura-pura kalau aku tidak ada sekarang? Atau sedang memancingku untuk melakukan sesuatu yang menggairahkan pada tubuh kecilmu itu?” ia mendesah, suaranya serak. Taeri meliriknya kesal.

Tanpa memberi waktu bernapas, Azey menarik pinggang Taeri. Ia mencium bibir Taeri, melumatnya dengan kasar, untuk menegaskan kendali. Tangan kirinya masuk ke dalam dress Taeri, meremas dada Taeri, membuat gadis itu langsung merasa terjebak. Tubuhnya menegang. Ia mencoba mendorong dada Azey, karena takut kehilangan dirinya sendiri.

“Hmph...” erangnya tertahan, ia berusaha menolak, meski tubuhnya memberontak lebih lambat dari pikirannya. Naasnya, ia kewalahan oleh sentuhan Azey. Ia merasa tidak punya ruang untuk bernapas, tapi tubuhnya akhirnya menyerah dan membalas ciuman itu.

Azey merasa Taeri akhirnya tunduk padanya. Itu membuatnya puas, lalu melepaskan ciumannya. Ia menatap bibir Taeri dengan senyum mengejek. “Bagaimana, sayang? Apa kamu masih punya muka untuk menolakku setelah membalas ciumanku dengan begitu rakusnya? Di mana wajah palsumu yang selalu merasa jijik dengan sentuhanku?” tanya Azey tajam.

Taeri merasa ejekan itu menusuk dadanya. Ia benci karena tubuhnya bereaksi, meskipun hatinya menolak.

“Apa yang kamu bicarakan, sialan? Itu semua karena tindakanmu yang tidak tahu diri, menciumku seenaknya. Dan betapa tidak tahu malunya kamu bilang aku milikmu. Aku tidak semurah itu untuk tunduk pada bajingan sepertimu,” ia mencoba membela diri, meski suaranya mungkin gemetar.

"Waktunya mandi," gumam Azey tanpa emosi. Ia sudah lelah berdebat. Dengan satu gerakan mudah, ia mengangkat tubuh Taeri.

Taeri menegang. "Hey! Apa yang kau lakukan, dasar gila? Lepaskan aku! Aku bisa mandi sendiri. Turunkan aku sekarang!" Napasnya tercekat, bibirnya melontarkan protes keras. Ia meronta, jari-jarinya mencengkeram bahu Azey, mungkin meninggalkan jejak merah, tapi pelukan pria itu terlalu kuat, terlalu dingin, tak memberi ruang untuk negosiasi.

"Jangan membuatku marah, sayang, atau kau tidak akan bisa berjalan pagi ini," ancam Azey tanpa menoleh. Matanya terpaku lurus ke depan, langkahnya mantap menuju kamar mandi. Ia menurunkan Taeri ke dalam bathtub. Suara air yang mengalir menenggelamkan gumaman amarah Taeri.

Beberapa menit kemudian, keheningan berat menggantung di meja makan. Piring porselen beradu lembut dengan sendok, tapi tak satu pun kata terucap. Uap teh menari di antara mereka, jarak yang terasa jauh meski duduk berhadapan. Taeri mencuri pandang ke arah Azey. Tatapan mereka bertemu sekejap, mata pria itu menyimpan sesuatu yang tak terbaca.

"Apa lihat-lihat? Apa makanannya kurang enak sampai kau mau merebut milikku? Dasar psikopat tidak punya hati," gerutunya kesal, sebelum memalingkan muka, berpura-pura tertarik pada roti di piringnya. Azey meletakkan sendoknya perlahan, rahangnya mengeras.

"Aku lebih tertarik membaringkanmu di meja ini dan melahapmu seperti semalam, daripada merebut makanan tidak berguna di piringmu itu," jawabnya datar.

Taeri pura-pura tuli, tapi di balik sikapnya yang dingin, jantungnya berdebar tak karuan. Ada rasa takut yang mengalir dalam dirinya.

Taeri menyuapkan daging ke mulutnya. Ia mengunyah dengan gusar, napasnya tercekat. "Tuan, sampai kapan aku harus mendekam di sini? Aku sudah gila! Kapan aku bisa kuliah lagi? Jangan terus menahanku..." Suaranya bergetar menahan amarah.

Tatapan Azey menusuk, tanpa emosi, seolah Taeri hanya pajangan. Ia memutar gelas wine, menikmati aroma anggur mahal itu. "Kuliah? Untuk apa, sayang? Kau pikir aku tidak bisa memberikanmu segalanya? Semua yang kau mau, tanpa perlu kau bersusah payah. Cukup jadi kucing manis yang selalu ada di dekatku," jawabnya dengan nada rendah yang menggoda, namun menusuk.

Jantung Taeri berdebar tidak karuan. Ia memalingkan muka, jijik dengan tatapan Azey yang meremehkannya. "Kenapa sekarang Tuan melarangku? Bukannya dulu hanya perlu tinggal di sini? Sekarang apa? Aku tidak boleh punya mimpi lagi?!" Suaranya meninggi, menantang.

Azey tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah sampai ke matanya. "Aku tidak melarangmu bermimpi, sayang. Aku hanya menawarkan jalan yang lebih mudah. Jadilah berlian yang bersinar di sini, daripada batu kerikil di luar sana," ujarnya dengan nada lembut, seolah membujuk. Namun, ada ancaman tersembunyi di baliknya.

Genggaman Taeri pada garpu memutih. Ia menatap Azey, benci namun juga takut. "Aku tidak sudi! Aku tetap ingin kuliah. Aku tidak peduli dengan kemudahan yang Tuan tawarkan. Tuan tidak berhak mengatur hidupku. Aku sudah cukup lama menjadi bonekamu!" Air matanya mulai menggenang, namun ia berusaha menahannya. Ada keinginan kuat untuk memberontak, namun ia sadar, kebebasannya masih terikat pada pria di hadapannya.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!