Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ilusi Kebahagiaan
Tubuhku terasa remuk saat aku membuka mata. Bukan karena lelah, melainkan karena posisi tidur yang sama sekali tidak wajar di atas sofa yang keras. Cahaya matahari pagi menerobos celah gorden tebal, menciptakan garis-garis terang di lantai marmer yang dingin. Untuk sesaat, aku lupa di mana aku berada. Namun, pemandangan ranjang besar yang kosong dan acak-acakan di seberang ruangan menjadi pengingat brutal akan status baruku, seorang istri yang terbuang di malam pertamanya.
Suara gemericik air dari arah kamar mandi menyadarkanku sepenuhnya. Aldo. Dia sudah bangun. Kepalaku pening, mungkin karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Aku merasa kotor, hina, dan terjebak.
Pintu kamar mandi terbuka.
“Pagi,” sapanya dengan nada datar, sambil berjalan ke arah lemari pakaian raksasa.
“Pa-pagi, Mas,” jawabku tergagap. Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering.
“Bagus kamu sudah bangun. Sebentar lagi sarapan akan siap,” katanya tanpa menoleh. Ia membuka lemari dan memilih setelan kantor dengan efisien. “Aku mau kamu sudah mandi dan ganti baju sebelum kita turun. Pakai salah satu gaun yang ada di lemarimu.”
“Lemariku?” tanyaku bingung.
Ia akhirnya menoleh, menatapku dengan sorot merendahkan. “Tentu saja. Kamu pikir semua pakaian di dalam walk-in closet itu hanya untukku? Sisi sebelah kanan itu milikmu. Aku sudah menyiapkannya.”
Aku hanya bisa mengangguk kecil. Perhatiannya pada detail terasa mencekik. Dia sudah merencanakan semuanya, seolah aku adalah boneka yang tinggal dia dandani dan dia mainkan perannya.
“Kenapa masih di situ? Mau aku temani mandi?” tanyanya dengan senyum sinis yang membuat perutku mual.
“Nggak!” sahutku cepat, terlalu cepat. Aku langsung berdiri dan bergegas masuk ke kamar mandi, tidak berani menatapnya lagi. Suara tawanya yang tertahan terdengar samar di belakangku sebelum pintu tertutup, menambah rasa malu yang membakar pipiku.
Di dalam kamar mandi yang lebih mewah dari kamarku di rumah Ibu, aku menatap pantulan diriku di cermin. Mataku bengkak, wajahku pucat. Ini bukan Aerra yang kukenal. Ini adalah seorang tawanan.
Setelah selesai, aku berjalan ragu ke walk-in closet. Seperti yang dikatakannya, satu sisi penuh dengan pakaian wanita. Gaun, blus, rok, semuanya dari merek-merek ternama yang hanya bisa kulihat di majalah. Semuanya baru, label harganya bahkan masih ada di beberapa potong. Ini bukan hadiah, ini adalah kostum untuk sandiwaraku. Aku memilih gaun rumah yang paling sederhana berwarna krem dan memakainya.
Saat aku keluar, Aldo sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana bahan berwarna gelap. Ia sedang duduk di tepi ranjang, menatap sebuah ponsel baru di tangannya.
“Sudah siap?” tanyanya. Aku mengangguk. “Bagus. Kemari.”
Aku berjalan mendekat dengan enggan. Ia menyodorkan ponsel baru itu padaku.
“Ini. Ponsel barumu. Ponsel lamamu sudah aku buang,” katanya enteng.
“Apa? Kenapa dibuang? Di sana banyak…”
“Banyak kenangan tentang dia?” potongnya tajam. “Justru itu alasannya, Aerra. Kita memulai lembaran baru. Tidak ada ruang untuk masa lalu. Nomorku satu-satunya kontak yang tersimpan di sana untuk saat ini. Nomor Ibumu dan adikmu akan aku masukkan nanti.”
Aku menatap ponsel di tanganku. Rasanya dingin dan asing, sebuah simbol lain dari penjaraku. Belum sempat aku memprotes lebih jauh, ponsel itu berdering. Nama ‘Ibu’ tertera di layar. Jantungku berdebar kencang.
Aldo tersenyum miring. “Nah, ini dia. Tes pertamamu. Angkat, dan pastikan suaramu terdengar seperti pengantin baru paling bahagia di dunia. Ingat, aku mendengarkan.”
Dengan tangan gemetar, aku menggeser ikon hijau. “Halo, Bu?”
“Aerra! Akhirnya diangkat juga! Ibu dari tadi khawatir!” Suara cempreng Ibu langsung menyalak dari seberang. Tentu saja dia tidak khawatir, dia hanya ingin memastikan investasinya aman.
“I-iya, Bu. Maaf, Aerra baru selesai mandi,” jawabku, mencoba membuat suaraku terdengar ceria. Aku melirik Aldo yang kini berdiri dan bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, matanya mengawasiku lekat.
“Gimana malam pertamanya? Aldo baik, kan? Dia nggak aneh-aneh, kan? Kamu harus layani dia dengan baik, ya! Jangan bikin malu keluarga!” cerocos Ibu tanpa jeda.
Pipi terasa panas. Aku benci pertanyaan ini, terlebih dengan Aldo yang mendengarkan setiap katanya. “Semuanya… semuanya baik, Bu. Mas Aldo sangat baik sama Aerra.”
Aldo mengangkat satu alisnya, seolah memberiku nilai atas aktingku.
“Bagus kalau begitu! Suaranya mana, menantu Ibu? Ibu mau bicara dengannya!”
“Oh, Mas Aldo lagi siap-siap kerja, Bu,” kilahku cepat.
“Yasudah, nggak apa-apa. Pokoknya kamu ingat pesan Ibu. Jaga suami kamu baik-baik, jangan sampai lepas. Kamu itu beruntung banget bisa dapat Aldo. Kalau cuma sama si Windu gembel itu, kamu mau makan apa?”
Setiap kata Ibu adalah belati yang menusukku. Aku hanya bisa menjawab, “Iya, Bu. Aerra tahu.”
“Nanti siang Ibu sama Lika mau ke sana, ya. Mau lihat rumah baru kalian. Sekalian Ibu mau pastikan kamu baik-baik saja. Siapkan makan siang yang enak!”
Mataku membelalak ngeri. “Siang ini, Bu?”
“Iya! Kenapa? Kamu nggak suka Ibu datang?” Nada suara Ibu mulai menajam.
“Bukan gitu, Bu, tapi…”
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Aldo bergerak cepat. Ia mengambil ponsel dari tanganku. Aku terkesiap kaget.
“Halo, Ibu. Ini Aldo,” sapanya dengan suara yang ramah dan hangat, perubahan 180 derajat dari sikapnya padaku. “Maaf, Bu, tadi Aerra sedang membantu saya memasang dasi.”
Aku menatapnya tak percaya. Kebohongan itu keluar begitu lancar dari mulutnya.
“Oh, Nak Aldo! Aduh, maaf mengganggu. Ibu cuma kangen saja sama Aerra,” balas Ibu, suaranya langsung berubah manis.
“Tidak apa-apa, Bu. Tentu saja Ibu dan Lika boleh datang. Anggap saja rumah sendiri. Nanti biar saya pesankan makanan dari restoran terbaik. Ibu tidak perlu repot,” lanjut Aldo dengan sopan.
“Aduh, baik sekali kamu, Nak. Ibu jadi makin sayang. Ya sudah, kalau begitu sampai ketemu nanti siang, ya. Titip Aerra ya, Nak.”
“Pasti, Bu. Aerra aman bersama saya.”
Setelah menutup telepon, senyum ramah di wajah Aldo langsung lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin yang sama. Ia mengembalikan ponsel itu kepadaku.
“Aktingmu lumayan untuk pemula,” komentarnya. “Tapi masih terlalu kaku. Kamu terdengar seperti sedang melapor pada atasan, bukan bicara pada ibumu.”
Aku menunduk. “Aku nggak terbiasa berbohong.”
“Mulai sekarang, biasakan dirimu,” katanya tegas. “Karena seluruh hidup pernikahan kita akan menjadi satu kebohongan besar sampai kamu membuatnya jadi kenyataan. Sekarang, ayo turun. Aku lapar.”
Ia berjalan lebih dulu keluar kamar, meninggalkanku yang masih terpaku. Pertunjukan pertama baru saja selesai, dan rasanya sudah menguras seluruh energiku. Dan siang ini, pertunjukan kedua akan dimulai, dengan penonton yang lebih kritis: ibuku yang materialistis dan adikku yang penuh iri.
Di meja makan yang panjang dan megah, suasana terasa canggung. Hanya ada suara denting sendok dan garpu. Para pelayan berdiri di sudut ruangan, siap melayani, membuatku semakin tidak nyaman.
“Makan yang banyak,” kata Aldo tiba-tiba, memecah keheningan. “Kamu butuh energi untuk pertunjukan nanti siang.”
Aku tidak menjawab, hanya mengaduk-aduk makananku tanpa selera.
“Aku nggak suka mengulang perintah, Aerra. Makan,” desaknya lagi, kali ini dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Dengan terpaksa, aku menyuapkan makanan ke mulutku. Rasanya seperti menelan pasir.
“Setelah sarapan, aku akan ke kantor. Ada beberapa rapat penting. Tapi aku akan pulang sebelum jam makan siang, sebelum ibumu datang,” jelasnya seolah sedang memberikan briefing misi berat.
“Mas nggak perlu pulang. Aku bisa menanganinya sendiri,” ucapku pelan.
"Apa yang Aldo sembunyikan dari aku?"