Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Kerja Rahasia
Telepon ditutup.
Hening.
Ana tidak langsung bergerak. Dia masih memegang ponselnya erat-erat, menatap dinding kamar yang terasa begitu megah sekaligus mengekang. Dia seperti berada di dalam sangkar emas, semua tersedia, tapi tidak memiki kebebasa. Perlahan, satu tarikan napas dalam dia hembuskan, dan tersenyum tipis, senyum yang benar-benar tulus akhirnya terkembang di bibirnya.
"Freelance..." bisiknya pada diri sendiri. "Tidak apa-apa, toh aku mendapatkan gaji yang sama. "
Solusi itu begitu sederhana, namun begitu brilian. Pak Raka benar, dia adalah desainer berbakat, dan bakatnya tidak bisa dikurung hanya karena seorang pria posesif yang nggak jelas. Tiba-tiba, rasa nyeri di tubuhnya yang tadi pagi masih terasa, kini menguap entah ke mana, digantikan oleh gelora adrenalin yang membara.
Dia tidak lagi terkunci. Dia hanya... bekerja dari rumah. Ana segera bangkit. Langkahnya menuju ke lantai bawah, di bagian paling belakang yang jarang tersentuh, dia bertemu dengan bi Darmi dan Bi Marni yang sedang ngobrol di halaman belakang sambil memotong sayuran, mereka terlihat santai karena semua pekerjaan sudah di kerjakan.
"Bi Darmi, Bi Marni," panggil Ana. Suaranya terdengar berbeda, lebih hidup.
Kedua asisten rumah tangga itu menoleh, dan melihat Ana bejalan mendekatinya.
"Iya, Mbak?"
"Bisa tolong bantu Aku? Aku mau kalian membantuku membersihkan gudang? " pinta Ana kepasa kedua bibi itu.
Bi Marni melirik Bi Darmi, penuh tanya. "Untuk apa mbak?" tanyanya hati-hati.
Ana tertawa kecil. "Aku ingin membuat ruang rahasia di gudang. " bisiknya dengan senyum renyah.
"Apa Enzi tau?" tanya Bi Darmi khawatir.
Ana hanya tersenyum. "Enggak, bi. Dan aku harap kalian berdua juga menyembunyikannya dari Enzi. Aku tidak mau Mas Enzi tau apa yang aku lakukan di gudang." kata Ana terlihat serius.
Bi Darmi dan bi Marni saling berpandangan tidak mengerti sama sekali maksud Ana.
"Sebenarnya gudang sudah saya bersihkan sejak hari itu mbak. Karena bibi juga nggak mau terjadi sesuatu pada mbak Ana seperti waktu itu. " ujar bi Darmi.
"Benarkah, ayo kita lihat. " ajak Ana.
Ana, dan Bi Darmi segera pergi ke gudang dan memberikan pekerjaan memotong sayur kepada Bi Murti. Ana ingin memeriksa apakah yang di katakan oleh bi Darmi itu benar, gudang sudah di bersih kan?
"Ini mbak, bener sudah bersih kan? " kata Bi Darmi dengan bangga.
Ana yang melihat gudang itu sudah bersih dan terlihat terang tersenyum bahagia, dia tidak akan mengingat hal-hal menyakitkan yang sudah terjadi padanya kemarin, dan menggantinya dengan sesuatu yang indah berguna.
"Mau di buat apa, mbak? " tanya Bi Darmi,
Ana berbisik di telinga bi Darmi tentang rencananya mengubah gudang menjadi tempat kerjanya.
Bi Darmi sedikit terkejut mendengar itu sekaligus bahagia, karena meskipun sedang di kurung, tapi Ana masih bisa berkreasi dari rumah.
"Kalau untuk itu, bibi memiliki tempat yang cocok daripada gudang ini, mbak. " kata Bi Darmi.
"Benarkah? Dimana? "
"Ayo, ikuti bibi. "
Bi Darmi menunjukkan jalan kepada Ana ke lantai atas, Tepatnya di ujung lorong paling belakang lantai dua yang jarang dilewati. Karena Kamar Enzi dan Ana ada di bagian depan dan menghadap ke taman depan.
"Ini ruangan perpustakaan? " tanya Ana.
"Iya, mbak, jarang sekali yang masuk ke ruangan ini. Bibi Aja membersihkannya seminggu sekali. Tapi dulu yang sering ke sini itu nyonya, karena beliau suka membaca dan lebih menyukai tempat yang tenang." ujar Bi Darmi membuka pintu ruangan itu.
Ana melihat tumpukan buku-buku tertata rapi di rak. Ada sofa di sudut ruangan. Bi Darmi mengajak Ana masuk lebih dalam dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada di balik rak buku itu. Seketika Ana terkesiap melihat pemandangan di depannya.
"Ini... "
"Iya, seperti yang mbak Ana pikirkan. Ini adalah ruang desain yang di buat nyonya untuk hobinya, dan tak banyak yang tau ruangan ini hanya Tuan besar dan nyonya besar saja yang tau keberadaan ruangan ini. " kata Bi Darmi.
Ana menaikkan alisnya menatap penuh pertanyaan ke Bi Darmi
"Kalau saya memang tau, mbak. Soalnya saya yang selalu di minta Nyonya besar dulu untuk membersihkan ruangan ini. Dan itu hanya saya saja yang tau, pelayan lainnya nggak tau termasuk Marni."
Ana membulatkan mulutnya sambil mengangguk, kini dia mengerti kenapa bi Darmi tau ruangan ini.
"Apa mas Enzi tau? " tanya Ana.
"Bibi rasa mas Enzi nggak tau mbak, karena mas Enzi sendiri jarang masuk ke ruangan perpustakaan ini, katanya ruangan ini sangat membosankan. "
Ana tersenyum, dan memutuskan akan menggunakan ruangan ini untuk melakukan pekerjaannya.
"Bibi bekerja sama, sama aku ya, Kalau mas Enzi datang, bibi langsung kasih tanda. kirim pesan atau telpon aku. " kata Ana.
"Siap mbak Ana. Bibi akan bantu mbak Ana. " Bi Darmi dengan senang hati mendukung Ana dan pekerjaannya dari Enzi.
"Makasih bi, Bibi baik banget sama aku."
Tanpa menunggu waktu lama Ana kembali ke kamarnya. Dia membuka laptopnya. Dia lalu teringat notifikasi M-banking tadi pagi dan ucapan Enzi, 'Belanjakan sesukamu.'
Ana tersenyum miring. Tentu saja, Enzi. Akan aku belanjakan.
Dia membuka situs belanja online. Satu per satu, barang-barang masuk ke keranjangnya: Laptop baru dengan spesifikasi desain tertinggi. Tablet gambar digital profesional. Satu set lengkap pensil sketsa dan spidol desainer, buku sketsa. Dia menggunakan alamat rumah dengan layanan pengiriman di hari yang sama. Semuanya dia bayar lunas menggunakan uang yang baru saja ditransfer Enzi. Walau dia sendiri sebenarnya juga tidak kekurangan uang, karena pekerjaannya selama ini.
Ironis. Enzi memberinya alat untuk membangkang, tepat di bawah hidungnya.
Sementara itu, di gedung Radeva Corporation.
Enzi membanting pintu ruangannya, membuat Arvin yang mengikutinya di belakang sedikit terlonjak.
"Sialan!" umpat Enzi, melonggarkan dasinya dengan kasar dan melempar jasnya ke sofa.
"Tenang, Zi. Kita belum kalah tender," kata Arvin, mencoba menenangkan.
"Bukan soal tendernya, Vin! Ini soal dia!" Enzi menunjuk sebuah nama di proposal tandingan yang tergeletak di mejanya. "PT. Adijaya Gemilang. Pemilik keluarga Adijaya dimana sekarang CEO-nya adalah Fabian."
"Aku tahu," desah Arvin. "Dia sengaja ikut tender proyek resort ini. Dia tahu kita mengincarnya."
"Dia bukan mengincar proyeknya. Dia mengincarku!" geram Enzi. Dia adalah sahabat Ana dan dia... dia masih berusaha mendekati Ana."
Arvin terdiam. Ini adalah titik sensitif sahabatnya.
"Soal Ana, aku rasa kamu berlebihan. Kenapa kamu mengurungnya hanya karena Fabian."
"Justru itu!" bentak Enzi. "Fabian itu ular. Dia bergerak dalam diam. Itulah kenapa aku tidak mau Ana bekerja di luar. Aku tidak mau dia bertemu orang seperti Fabian lagi. Aku tidak mau memberi celah sedikit pun kepada mereka."
"Jadi, kamu lebih memilih mengurungnya di rumah? Membuatnya bersikap sedingin es padamu?"
Skakmat. Ucapan Arvin menusuk egonya. Enzi terdiam. Bayangan wajah Ana yang acuh, deheman singkatnya, tatapan matanya yang kosong saat mengantarnya ke teras, semua berkelebat di benaknya.
"Dia hanya... sedang adaptasi," dalih Enzi, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Dia akan mengerti nanti. Ini semua demi kebaikannya."
"Kebaikan dia, atau keegoisan kamu?" sindir Arvin pelan.
Enzi menatapnya tajam. "Jaga ucapanmu, Vin. Sekarang, cari semua data kelemahan proposal Adijaya. Aku mau kita hancurkan mereka di rapat presentasi lusa."
Arvin mengangguk, dia tahu bahwa Enzi tidak suka berdebat tentang istrinya
"Kau urus sisa pekerjaan disini. Aku mau ke bandara menjemput Amel."
"What."
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau