NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 7

Honor pertama mereka tidak seberapa, hanya cukup untuk beli kertas gambar lebih banyak, beberapa pensil kualitas lebih baik, dan sewa kamera video bekas yang lebih stabil dari kamera pinjaman yang sering rusak. Tapi bagi Kael, Dimas, Rani, dan Budi, uang itu terasa seperti harta karun.

"Gue gak percaya kita dibayar buat gambar," ucap Budi sambil menatap lembaran uang yang baru ia terima dari Kael, pembagian honor yang adil untuk semua anggota tim.

"Ini baru awal, Bud. Tunggu aja sampai kita terkenal. Honor-nya bakal lebih gede lagi." Dimas menjawab dengan nada optimis yang membuat semuanya tertawa.

"Jangan keburu mimpi gede. Kita harus fokus dulu bikin episode-episode berikutnya tetep bagus. Jangan sampai turun kualitas." Kael mengingatkan sambil merapikan tumpukan kertas gambar baru yang mereka beli. "Konsistensi itu penting."

"Ngomong-ngomong soal kualitas, gue punya ide buat episode selanjutnya," ucap Rani sambil membuka buku sketsanya, menunjukkan gambar-gambar kasar. "Gimana kalau kita bikin episode yang lebih fokus ke budaya lokal? Misalnya, Rizal ikut upacara tradisional atau perayaan kampung?"

Kael menatap sketsa Rani, gambar Rizal yang mengenakan pakaian adat sederhana, berdiri di antara orang-orang kampung yang sedang merayakan panen. "Gue suka ide ini. Tapi kita harus research dulu. Gak boleh asal gambar. Harus akurat, atau nanti malah dianggap gak ngehormatin budaya."

"Research gimana? Kita kan gak punya duit buat keliling Indonesia," tanya Dimas sambil menggaruk kepala, bingung dengan rencana yang kedengarannya ambisius.

"Perpustakaan. Museum. Wawancara sama orang-orang tua di kampung. Gak perlu jauh-jauh. Jakarta juga punya banyak budaya lokal yang belum kita angkat." Kael menjawab sambil mencatat di buku catatannya, pikirannya sudah merencanakan langkah-langkah detail.

Minggu berikutnya, mereka menghabiskan waktu di Perpustakaan Nasional, gedung tua dengan rak-rak buku tinggi yang penuh debu dan aroma kertas lama. Kael meminjam buku-buku tentang budaya Betawi, upacara tradisional Jawa, dan cerita rakyat Nusantara.

Dimas dan Rani sibuk memfotokopi ilustrasi-ilustrasi kuno dengan mesin fotokopi yang sering macet, sementara Budi merekam suara-suara ambient di sekitar perpustakaan, suara burung, angin, dan bahkan suara halaman buku yang dibalik.

"Lihat ini," ucap Kael sambil menunjukkan sebuah buku tua dengan ilustrasi upacara Ngaben dari Bali. "Ini menarik banget. Tapi terlalu kompleks buat episode lima menit. Kita perlu sesuatu yang lebih sederhana tapi tetep punya makna dalam."

Rani mengintip dari balik tumpukan buku yang ia baca. "Gimana kalau kita angkat cerita tentang gotong royong bikin rumah? Di kampung-kampung kan masih ada tradisi itu. Tetangga-tetangga bantu bangun rumah bareng-bareng. Itu sederhana, relatable, dan mengajarkan nilai kebersamaan."

"Brilliant," jawab Kael sambil tersenyum lebar, matanya berbinar dengan antusiasme yang membuat Rani tersenyum malu. "Kita bikin Rizal bantu tetangga baru yang pindah ke kampung. Rumahnya belum selesai, terus warga kampung gotong royong bantuin. Sederhana, tapi kuat pesannya."

Dimas mengangguk setuju sambil mencatat di buku sketsanya. "Gue bisa gambar adegan-adegan gotong royong yang rame. Banyak karakter, tapi gak terlalu rumit."

"Background-nya gue bisa bikin lebih detail. Rumah kayu, halaman tanah, pohon mangga. Nuansa kampung yang asli." Rani menambahkan dengan semangat yang mulai terbakar lagi.

"Suara-suaranya bakal seru. Suara palu, gergaji, orang ngobrol, anak-anak ketawa. Gue bisa bikin itu semua," ucap Budi sambil membayangkan layer demi layer sound design yang akan ia ciptakan.

Mereka menghabiskan sore itu di perpustakaan, tidak menyadari bahwa penjaga perpustakaan sudah beberapa kali menatap mereka dengan tatapan heran, jarang ada anak muda seusia mereka yang begitu serius membaca buku-buku tentang budaya tradisional.

Proses produksi episode keenam dimulai dengan semangat yang baru. Kali ini mereka lebih terorganisir, Kael membuat jadwal yang detail, membagi tugas dengan jelas, dan bahkan membuat checklist untuk setiap tahap produksi.

"Kita punya tiga minggu buat episode ini. Minggu pertama: storyboard dan sketsa kasar. Minggu kedua: gambar detail dan coloring. Minggu ketiga: sound design, editing, dan quality check." Kael menjelaskan sambil menulis di papan tulis yang sudah penuh dengan diagram dan timeline.

"Lebih terstruktur dari sebelumnya. Gue suka," komentar Dimas sambil meregangkan tangannya yang sudah siap untuk menggambar.

"Gue belajar dari pengalaman. Kalau kita gak punya struktur yang jelas, kita bakal chaos di minggu terakhir kayak episode-episode sebelumnya." Kael menjawab sambil tersenyum kecil, mengingat malam-malam tanpa tidur yang mereka lalui karena kurang persiapan.

Hari-hari produksi kali ini lebih terasa seperti ritme yang stabil, bukan sprint yang melelahkan. Mereka bekerja dari pagi sampai sore, lalu istirahat malam untuk menjaga stamina. Kael bahkan membuat aturan bahwa mereka harus makan siang bersama, tidak boleh ada yang skip makan demi kerja.

"Lu berubah, Kael. Sekarang lebih peduli sama kesehatan tim," ucap Rani suatu siang sambil mereka makan nasi uduk di warung langganan dekat garasi.

"Gue belajar. Tim yang sehat itu lebih produktif dari tim yang burnout." Kael menjawab sambil mengunyah, matanya menatap jauh dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah ia mengingat sesuatu dari masa lalu yang menyakitkan.

"Lu kayak udah pengalaman puluhan tahun, padahal kita baru beberapa bulan," komentar Budi sambil tertawa kecil, tidak menyadari betapa dekat ia dengan kebenaran.

Kael hanya tersenyum tanpa menjawab.

Pertengahan minggu kedua, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seorang pria paruh baya dengan jas rapi datang ke garasi mereka, membuat mereka semua kaget karena jarang ada orang asing yang tahu lokasi studio mereka.

"Permisi, saya cari Kael Ardhana," ucap pria itu dengan sopan, suaranya tegas tapi tidak menakutkan.

"Saya Kael," jawab Kael sambil berdiri, sedikit waspada. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Pak Hendra, dari stasiun TV swasta SCTV. Kami baru launching, dan kami sedang cari konten lokal yang menarik. Saya lihat animasi kalian di TVRI bagus sekali. Apa kalian tertarik untuk bikin konten eksklusif untuk kami?" Pak Hendra mengulurkan kartu namanya dengan senyum profesional yang terlatih.

Kael menatap kartu nama itu dengan perasaan campur aduk. Di kehidupan sebelumnya, ia tahu SCTV akan menjadi salah satu stasiun TV terbesar di Indonesia. Ini adalah peluang emas. Tapi ia juga tahu bahwa stasiun swasta punya tuntutan yang lebih tinggi, deadline lebih ketat, ekspektasi lebih besar, dan tekanan komersial yang bisa mengorbankan visi artistik.

"Kami sudah ada kontrak dengan TVRI, Pak," jawab Kael hati-hati, tidak mau membuat keputusan gegabah.

"Kami tidak meminta eksklusif penuh. Kalian tetap bisa kerja dengan TVRI. Kami hanya minta dua episode per bulan khusus untuk SCTV. Kami akan bayar lebih tinggi dari TVRI, tiga kali lipat." Pak Hendra menjawab dengan nada yakin, seolah ia tahu angka itu tidak bisa ditolak.

Dimas dan Budi saling pandang dengan mata berbinar, tiga kali lipat honor berarti mereka bisa beli peralatan lebih baik, bahkan mungkin sewa tempat yang lebih layak dari garasi sempit ini.

Tapi Kael tidak langsung menjawab. Ia menatap Pak Hendra dengan tatapan serius. "Boleh saya tanya Pak, apa SCTV akan ikut campur dalam proses kreatif kami? Atau kami bebas bikin cerita sesuai visi kami?"

Pak Hendra tersenyum tipis, senyum yang terlatih dalam negosiasi bisnis. "Tentu ada guideline. Kami punya standar konten, target audience, dan sponsor yang harus dipertimbangkan. Tapi kami tidak akan mengontrol sepenuhnya. Kalian tetap punya ruang kreatif, selama tidak melanggar guideline kami."

"Boleh saya minta waktu untuk diskusi dengan tim dulu, Pak? Ini keputusan besar untuk kami," ucap Kael dengan sopan tapi tegas, tidak mau terlihat terlalu ingin sekali atau terlalu menolak.

"Tentu. Saya tunggu kabar kalian dalam tiga hari. Ini nomor kantor saya." Pak Hendra menyerahkan kartu nama lagi, kali ini untuk Dimas, Rani, dan Budi. "Saya harap kita bisa kerja sama. SCTV percaya kalian punya potensi besar."

Setelah Pak Hendra pergi, garasi itu hening. Mereka berempat saling menatap dengan ekspresi yang berbeda, Dimas dan Budi terlihat antusias, Rani terlihat ragu, dan Kael terlihat serius.

"Kael, ini peluang besar. Tiga kali lipat honor! Kita bisa pindah dari garasi ini, beli peralatan proper, bahkan rekrut animator tambahan," ucap Dimas dengan nada penuh harapan, matanya berbinar dengan mimpi-mimpi yang lebih besar.

"Gue tau. Tapi gue khawatir soal guideline yang Pak Hendra bilang. Kalau mereka mulai kontrol cerita kita, kita bisa kehilangan identitas. Animasi kita bakal jadi kayak animasi lain, generic, gak punya jiwa." Kael menjawab dengan nada tenang tapi penuh kekhawatiran yang tulus.

"Tapi kita gak tau sampai kita coba. Mungkin guideline-nya gak seseram yang lu pikirin," ucap Budi mencoba melihat sisi positif.

Rani yang dari tadi diam, akhirnya berbicara. "Gue setuju sama Kael. Kita harus hati-hati. Uang itu menggoda, tapi kalau kita kehilangan kontrol atas karya kita sendiri... apa gunanya?"

"Gue gak bilang kita tolak. Gue cuma bilang kita harus negosiasi dengan smart. Kita minta kontrak yang jelas, berapa banyak kontrol kreatif yang kita punya, apa aja guideline yang gak bisa kita langgar, dan gimana kalau ada konflik kreatif. Kita gak bisa masuk dengan mata tertutup." Kael menjelaskan sambil berjalan mondar-mandir, pikirannya bekerja cepat menyusun strategi.

"Lu bener. Kita perlu kontrak yang jelas." Dimas mengangguk setuju, semangatnya sedikit mereda tapi tidak hilang.

"Besok kita datangi kantor SCTV. Kita minta liat draft kontrak mereka. Kita baca baik-baik, kalau perlu kita minta bantuan orang yang ngerti hukum. Gak boleh sembarangan tanda tangan." Kael memutuskan dengan nada final yang tidak bisa dibantah.

Mereka semua mengangguk, sepakat bahwa ini adalah langkah yang bijak, meskipun hati mereka tidak sabar untuk segera merasakan honor yang lebih besar.

Malam itu, Kael tidak bisa tidur. Ia terbaring di kasur tipisnya, menatap langit-langit kayu yang retak sambil memikirkan keputusan yang harus ia ambil. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah mengambil deal yang terlalu cepat dengan stasiun TV besar dan itu menjadi awal dari kehancuran visi artistiknya. Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.

Tapi ia juga sadar bahwa peluang seperti ini tidak datang dua kali. SCTV bisa membawa nama mereka ke level yang lebih tinggi, membuka pintu ke pasar yang lebih luas, dan memberikan stabilitas finansial yang mereka butuhkan untuk berkembang.

"Harus balance," bisiknya pada diri sendiri, suaranya tertelan oleh kegelapan malam. "Jangan terlalu idealis sampai bangkrut. Tapi jangan terlalu komersial sampai kehilangan jiwa."

Ia mengingat kata-kata ibunya yang sudah meninggal di kehidupan sebelumnya "Kael, apapun yang kamu kerjakan, jangan sampai kamu malu untuk menatap dirimu sendiri di cermin."

"Gue gak akan malu, Bu," bisiknya lagi, air mata mengalir pelan di pipinya. "Gue janji."

Dan dengan tekad itu, ia akhirnya tertidur, tidur yang penuh dengan mimpi tentang masa depan yang penuh kemungkinan dan bahaya.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!