Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 7
"Harusnya Jaka sudah lewat, kenapa ini belum juga lewat ya? Apa terjadi masalah di rumah mereka? Apa jangan jangan babeh curiga Ratih jalan sama aku? Terus neken Ratih buat ngaku, terus Ratih di marahin abis abisan sama babeh?" pikir Damar dengan wajah gelisah.
Sudah beberapa menit Damar tiba di depan pagar rumahnya, pagar setinggi satu meter itu bahkan sudah ia buka sebelumnya. Namun pikirannya membuat gak tenang sebelum menanyakan kabar Suratih pada Jaka. Ia hanya bisa menunggu pemuda belasan tahun itu lewat depan rumahnya saat mau ke masjid.
Senyum terukir di bibir Damar, saat netranya melihat sosok Jaka dari kejauhan, “Itu dia bocahnya!”
Jaka tampak menoleh beberapa kali ke belakang, namun gak menghentikan langkahnya yang hendak ke masjid.
"Saking aja babeh orang tua Jaka, kalo temen. Udah Jaka ajak geeee lut tuh! Bisa bisanya babeh dorong ibu sampe jatoh! Kesel kan Jaka jadinya!" gerutu Jaka dengan wajah kesal, sesekali tangannya meninju angin.
Jaka mengerutkan keningnya dalam, "Ngapain itu bang Damar diam bae di depan pagar rumahnya? Bukannya udah buru masuk, ora dengar azan kali ya!"
"Jaka, kamu mau magrib di masjid ya?" tanya Damar, saat Jaka sudah beberapa langkah di depannya.
Jaka menghentikan langkahnya saat ke duanya saling berhadapan.
"Iya bang! Abang Damar baru pulang ya?"
"Iya nih. Abang abis lembur, jadi baru pulang." dusta Damar, menggaruk kepalanya yang gak gatal.
"Oowwhh Jaka jalan dulu ya, bang!"
Belum sempat Jaka melangkah, Damar kembali mencecarnya dengan beberapa pertanyaan beruntun. Membuat Jaka berbalik menatapnya penuh curiga.
"Tunggu dulu, Jaka!! Po Ratih baik baik aja kan di rumah? Babeh gak marahin po kamu apa lagi mukul kan?" cecar Damar dengan gak sabaran.
Jaka memiringkan kepalanya, menatap Damar penuh tanya, "Kok bang Damar nanyanya gitu? Emang po Ratih abis ngapain sampe di pukul sama babeh?"
Dengan gugup Damar meralat perkataan nya, "Eh emm ga- gak gitu juga Jaka! Maksud bang Damar, po Ratih di rumah lagi ngapain? Abang gak ngeliat po kamu seharian ini."
Jaka menganggukkan kepalanya mengerti, "Kirain ada apa! Jaka belum ketemu po, bang! Dari pulang sekolah sampe sekarang, Jaka belum liat po malah."
Damar ber oh ria dengan gurat kecewa di wajahnya, "Oowwh gitu ya?"
Jaka terkekeh, meledek ekspresi yang di perlihatkan Damar padanya. Ia tahu betul, bagaimana perasaan Damar terhadap sang kakak perempuannya.
"Kenapa bang Damar gak dateng aja ke rumah buat liat po? Kalo kata lagu mah, rumah kita kan cuma 5 langkah doang bang!"
"Nanti deh abang pikirin."
"Jaka duluan ah bang, takut abis magribnya!" imbuh Jaka, gak peduli lagi dengan Damar. Ia melanjutkan langkahnya dengan satu tangan melambai pada Damar tanpa berbalik badan.
"Yang di harapkan malah gak bisa diandelin!" gerutu Damar.
Pemuda berusia 23 tahun itu mendorong motornya melewati pagar rumah. Memarkirkan motornya berdampingan dengan sebuah mobil sedan yang sudah terparkir di sana sejak ia berangkat tadi pagi. Mobil sedan mewah yang jarang sekali di gunakan, jika bukan ada keperluan yang mendesak.
"Assalamualaikum, Damar pulang bu!" seru Damar, begitu menginjakkan kakinya di teras rumah. Ia meletakkan sepatunya di atas rak sepatu yang ada di sudut teras.
Kreeek.
Suara pintu rumah di buka dari dalam, di susul dengan seruan seseorang yang menjawab salam Damar.
"Waalaikumsalam!" ucap Inah, muncul di balik pintu yang ia buka.
"Looh, mpok Inah masih di sini?" tanya Damar dengan tatapan membola gak percaya.
Damar melirik kantong tentengan yang di bawa Inah dalam kantong plastik, ‘mpok Inah bawa apaan itu? Tapi kok tumben mpok Inah jam segini baru pulang?’
"Pengennya mah udah di rumah den, biasa kalo jam segini lagi kumpul di rumah sama keluarga, ini mpok malah baru mau pulang! Kerjaan mpok hari ini baru kelar!" keluh Inah dengan wajah lelahnya yang gak bisa ia tutupi.
"Tapi gak apa apa juga sih den, Inah malah seneng kalo tiap hari kaya gini. Pulang-pulang bisa bawa buah sama makanan. Lumayan kan bisa ngirit uang belanja Mpok sekeluarga, bisa makan enak lagi!" Inah memperlihatkan tentengan yang ia bawa pada Damar.
"Apa besok ada acara di rumah mpok? Sampe ibu kasih banyak kerjaan dan Mpok bisa bawa pulang makanan sebanyak itu? Apa tadi mpok juga di suruh ke pasar? Gak mungkin belanja buah, sayuran, makanan banyak di tukang sayur kan?" cecar Damar ingin tahu, gak kalah keponya bak emak emak berdaster.
"Iya den! Tadi perginya mpok naik ojek ke pasar itu juga tengari bolong. Mana panas bener tadi mah. Kalo pulangnya mpok nyarter mobil angkot. Bagen tadi ada den Damar di rumah. Tetep bae harus naek angkot, mak aji sayang bener kalo mobil sedan nya buat angkut sayuran dari pasar." oceh Inah panjang kali lebar kali tinggi, kali luas pokoknya.
Inah melangkah menjauh dari pintu, mempersilahkan Damar untuk masuk ke dalam rumah.
"Besok ibu mau narik pengajian di rumah, mpok? Jam berapa? Abis zuhur apa abis asar? Atau mungkin abis magrib? Ada berapa pengajian yang di tarik ke rumah mpok?" tebak Damar.
Inah menyangkal sekaligus pamit pada Damar.
"Bukan den, mak haji bukan mau narik pengajian. Tapi mau menyambut kerabat jauh yang mau datang berkunjung. Ada kemungkinan tamunya mak haji bakal nginap di sini buat beberapa malam mah. Mpok Inah pulang dulu ya, den! Cape ini badan butuh istirahat."
"Iya mpok, makasih ya mpok. Udah mau di repotin sama ibu!" ucap Damar dengan tulus.
Plak.
Inah menepak bahu Damar cukup keras, meski gak membuat Damar meringis tapi cukup membuatnya kaget.
"Gak usah sungkan, den. Kan mpok mah kerja di mari, ora buang tenaga percuma hehehe! Tenaga mpok di bayar setimpal dengan uang mak haji." seru Inah dengan nada bercanda.
Damar mengelus lengannya yang di geprak Inah.
"Eh bujuk, maen geprak lengan aye bae!" gerutu Damar.
"Lah ya maaf, den. Kelepasan ini tangan mpok Inah. Gemes sama lengan aden yang berotot." beo Inah apa adanya.
"Lu masih di sini Inah kagak mau pulang lu?" tanya Sumi, muncul dari balik punggung bidang Damar yang membelakangi pintu masuk.
***
Bersambung …