Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Mama Mau Cucu
Sejak beberapa minggu pernikahan Selena dan Daren berlangsung, kehidupan rumah tangga mereka perlahan mulai menemukan ritmenya. Rumah yang dulunya terasa sepi kini sering diwarnai tawa kecil Arunika dan suara lembut Selena yang memanggil suaminya di sela-sela aktivitas mereka.
Hari ini, suasana rumah itu terasa lebih hidup dari biasanya. Sekar dan Arga — orang tua Daren — datang berkunjung untuk melihat bagaimana kehidupan baru putra dan menantunya berjalan, sekaligus menjenguk Daren yang katanya sempat sakit beberapa hari lalu.
Mobil hitam milik keluarga Vance berhenti di halaman rumah. Dari dalam, Sekar turun sambil membawa tas berisi buah tangan, sementara Arga menenteng tas kecil berisi mainan untuk Arunika.
“Rumahnya Daren sekarang kelihatan lebih hangat, ya, Pah,” ujar Sekar sambil tersenyum lembut, menatap taman kecil yang tampak lebih terawat dari sebelumnya. “Dulu waktu Daren masih bujangan, rumah ini kelihatan monoton, kayak nggak ada hidupnya.”
Arga terkekeh. “Ya iyalah, orang Daren-nya aja kerja di Paris terus. Gimana mau ada kehidupan di rumah ini.”
Sekar mengangguk kecil. “Tapi Papa setuju, sekarang auranya beda. Rumah ini jadi terasa lebih hidup… mungkin karena ada Selena di dalamnya. Apalagi Arunika juga menambah ramai suasananya.”
Selena yang kebetulan baru akan keluar rumah langsung menyambut dengan wajah cerah. “Mama, Papa! Wah, senangnya akhirnya bisa main ke sini,” ucapnya sambil menyalami mereka satu per satu.
Sekar membalas pelukannya lembut. “Kamu kelihatan makin cantik aja, Sel. Sehat, kan? Katanya Daren kamu sering lembur sekarang?”
Selena tersenyum malu. “Hehe, iya, Ma. Sempat drop sedikit karena ada beberapa masalah di butik. Tapi sekarang udah baikan kok, udah jarang lembur juga.”
“Mana cucu Papa, Sel?” tanya Arga sambil menatap sekeliling rumah.
“Lagi di kamar, Pa. Sama Kak Daren. Tadi minta dibacain buku, tapi kayaknya malah ketiduran deh,” jawab Selena sambil tertawa kecil.
Mereka bertiga lalu melangkah pelan menuju kamar Arunika. Begitu pintu dibuka, pemandangan di depan mata membuat Sekar terdiam sejenak — matanya langsung melembut.
Daren dan Arunika tertidur di ranjang kecil itu sambil saling berpelukan. Kepala Arunika bertumpu di dada ayahnya, sementara tangan mungilnya menggenggam erat kaus Daren.
“Ya ampun…” bisik Sekar dengan senyum tipis di wajahnya. “Lihat tuh, kayak kucing sama anaknya.”
Selena menatap keduanya dengan sorot lembut. “Mereka memang susah dipisahkan kalau sudah begini, Ma. Aku aja sering kalah sama kedekatan mereka.”
Arga menepuk bahu menantunya pelan. “Terima kasih ya, Selena, sudah mau menerima Daren apa adanya. Dan… maaf kalau nanti Daren mungkin melakukan kesalahan sebagai ayah Arunika. Papa yakin, kok, Daren sudah benar-benar menganggap Arunika sebagai anaknya sendiri — bukan sekadar keponakannya.”
Selena tersenyum hangat. “Papa nggak perlu minta maaf atau berterima kasih, kok. Justru Selena yang bersyukur. Aku beruntung bisa menikah dengan Daren, dan lebih beruntung lagi karena dia mau menerima Arunika sepenuh hati.”
Sekar menatap Selena dengan penuh rasa bangga. “Kamu luar biasa, Nak. Mama senang Daren punya istri sebaik kamu.”
Selena menunduk malu. “Aku juga berusaha, Ma. Semoga bisa jadi ibu dan istri yang baik buat mereka.”
Sekar tersenyum lembut. “Dan kamu sudah melakukannya, Selena.”
Di depan kamar kecil itu, kehangatan terasa nyata — sederhana, tapi tulus. Dalam diam, Sekar dan Arga saling berpandangan dan tahu:
putra mereka akhirnya benar-benar menemukan rumahnya.
Aroma sambal, sup jagung, dan beberapa camilan lainnya memenuhi ruang makan di rumah Daren sore itu. Meja sudah tertata rapi, menandakan Selena baru saja selesai menyiapkan hidangan untuk keluarga.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar menuruni tangga. Daren muncul sambil menggendong Arunika yang masih setengah mengantuk.
“Lho, Mah, Pah? Kapan datangnya? Kok nggak bilang-bilang dulu sama aku?” tanya Daren kaget begitu melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang makan.
Sekar langsung melirik tajam sambil menaruh sendoknya. “Memangnya kalau mau main ke rumah anak sendiri harus izin dulu, ya?” sindirnya dengan nada nyolot khas seorang ibu.
Daren menggaruk kepala yang tidak gatal, berusaha tersenyum. “Bukan gitu, Mah… maksud aku biar bisa nyiapin sesuatu dulu kek, biar nggak dadakan.”
Sekar langsung menatapnya sambil menyipitkan mata. “Alah, bilang aja kamu nggak mau Mama sama Papa main ke sini, ya?”
“Mamaaa…” Daren memelas, sementara Arga hanya terkekeh pelan di samping istrinya.
“Sudahlah, Sekar. Lihat tuh, anakmu udah panik sendiri,” kata Arga sambil tersenyum, membuat suasana jadi lebih cair.
Sekar mendengus kecil, tapi senyum tipis tetap muncul di bibirnya. Pandangannya kemudian tertuju pada cucunya yang masih nyaman di pelukan ayahnya.
“Lho, ini cucu Nenek kenapa masih minta gendong sama Ayah? Bukannya udah besar?” tanyanya sambil mencondongkan badan.
Daren melirik Arunika yang bersandar di bahunya, matanya masih sayu. “Masih ngantuk kayaknya, Ma. Baru bangun soalnya,” jawab Daren sambil mengelus kepala Arunika dengan lembut.
Sekar menghela napas panjang, tapi nada suaranya melembut. “Dasar anak kecil manja… mirip banget sama kamu waktu kecil, Ren. Kalau belum sadar tidur, susah banget dilepasin dari pelukan.”
Selena yang dari tadi menata mangkuk di meja hanya bisa tersenyum melihat interaksi itu. “Yasudah, semuanya duduk dulu ya. Makanannya udah siap. Sup jagungnya masih hangat, Ma,” ucapnya ramah.
“Wah, kelihatannya enak banget,” kata Arga sambil duduk di kursi kepala meja. “Kamu masak sendiri, Sel?”
“Enggak, Pa, dibantu Bi Nana. Nggak sempat pesan makanan dari luar,” jawab Selena sambil tersenyum kecil.
“Wah, mantap,” sahut Arga. “Pantes aroma dapurnya sampai ke depan.”
Sekar menatap menantunya dengan tatapan bangga. “Selalu tahu cara menyambut tamu, ya kamu ini. Makanya pantas kalau rumahnya sekarang hangat banget.”
Selena tertawa kecil. “Duh, Mama bisa aja. Cuma masak seadanya, kok.”
Daren ikut tertawa sambil membantu menyiapkan piring Arunika. “Seadanya versi Mama Sel itu artinya lima macam lauk dan dua jenis sambal,” godanya.
Sekar langsung memelototkan mata. “Wah, kalau gitu Mama betah nih sering-sering ke sini.”
Suasana makan sore itu pun dipenuhi tawa ringan dan obrolan hangat. Di tengah keakraban itu, Sekar sempat melirik pasangan muda di depannya — ada rasa lega dan bahagia tersendiri melihat putranya kini tampak benar-benar tenang dan bahagia bersama keluarga kecilnya.
“Jadi…” Sekar menatap Daren dan Selena bergantian dengan senyum menggoda di bibirnya. “Kapan kalian kasih lagi cucu buat Mama?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat Selena yang sedang menyeruput teh langsung tersedak pelan.
“Uhuk—uhuk!” Ia buru-buru menutup mulut dengan tisu, sementara Daren refleks menepuk-nepuk punggung istrinya dengan panik.
“Mah…” ucap Daren setengah mengeluh sambil menatap ibunya. “Baru juga beberapa minggu nikah, udah ditanyain cucu lagi aja.”
Sekar menaikkan alisnya, senyum usil tak lepas dari wajahnya. “Emangnya salah, Ren? Mama cuma nanya, siapa tahu udah ada kabar bahagia.”
“Mama…” gumam Selena dengan pipi yang langsung memerah. “Belum kepikiran ke situ, Ma. Aku masih fokus ke Aru dulu. Lagian Aru masih kecil, aku takut dia belum siap punya adik.”
Arga yang sejak tadi duduk santai di ujung meja tertawa kecil, menatap istrinya geli. “Kayaknya Mama udah nggak sabar banget pengin gendong bayi lagi, nih.”
“Ya jelas dong!” sahut Sekar cepat tanpa malu-malu. “Aru udah besar, masa mainnya boneka terus. Harus ada adik biar nggak kesepian.”
Lalu Sekar menoleh ke arah Arunika yang sedang duduk di pangkuan Daren sambil memainkan sendoknya. “Aru, kamu mau punya adik nggak?” tanyanya lembut.
Arunika menatap neneknya polos. “Adik?” ulangnya bingung.
“Iya, adik itu kayak adiknya Kenzo, tahu kan? Yang kecil, lucu, suka nyengir itu,” bujuk Sekar sambil tersenyum manis. “Aru mau nggak punya adik kayak gitu?”
Aru berpikir sejenak, bibir mungilnya manyun. “Kalau adiknya rebutan mainan, Aru nggak mau,” jawabnya polos, membuat semua orang di meja makan tertawa keras.
Daren sampai hampir menyemburkan minumannya, sementara Selena menutup mulut menahan tawa.
Sekar geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil. “Duh, cucu Mama ini… baru dia yang bisa nolak punya adik dengan alasan kayak gitu.”
Daren mencubit lembut pipi putrinya. “Berarti kalau adiknya baik, Aru mau dong?”
Aru menatap ayahnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Mau… tapi adiknya jangan nangis malam-malam ya, Pa. Aru mau tidur tenang.”
Sekar langsung tertawa terbahak-bahak. “Aduh, bisa aja kamu, Nak. Tapi beneran deh, Mama doain semoga cepet dikasih adik buat Aru. Biar Mama punya cucu baru buat digendong.”
Selena hanya bisa tersenyum malu sambil menunduk, sementara Daren melirik istrinya dengan ekspresi geli sekaligus hangat.
“Ya udah, Ma. Doain aja, siapa tahu dikabulin cepat,” ujarnya dengan nada setengah bercanda.
“Nah, itu baru anak Mama!” seru Sekar riang, membuat suasana sore itu kembali dipenuhi tawa dan canda.
Arga hanya menggeleng sambil terkekeh. “Duh, kalau tiap kali main ke rumah kalian berdua, Mama selalu bawa pulang harapan baru.”
Daren menatap istrinya lagi — senyum mereka bertemu dalam diam, samar tapi penuh makna.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, Daren merasa pertanyaan iseng ibunya tadi… mungkin bukan hal yang terlalu dini untuk dipikirkan.
Malam itu hujan turun dengan ritme lembut, menepuk-nepuk jendela kamar mereka seperti ingin menenangkan sesuatu yang tak sempat terucap.
Lampu tidur menyala redup, memantulkan cahaya hangat di wajah Selena yang tengah memunggungi Daren. Dari cara bahunya naik turun pelan, Daren tahu istrinya belum benar-benar terlelap.
Ia menghela napas panjang, mematikan lampu utama, lalu perlahan meraih selimut yang tersingkap dari tubuh Selena.
“Sel,” panggilnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Tak ada jawaban, tapi Daren tahu wanita itu mendengarnya. Ia menatap punggung yang selama ini menjadi tempat ia pulang, namun juga batas halus antara cinta dan luka yang belum sembuh.
“Aku minta maaf soal Mama tadi,” ucapnya perlahan. “Aku tahu ucapannya bikin kamu nggak nyaman.”
Masih hening. Selena tak bergerak, hanya genggamannya pada bantal sedikit menguat.
Daren menelan ludah, lalu melanjutkan, “Aku tahu kamu belum siap. Dan aku nggak akan maksa. Aku cuma mau kamu tenang dulu, Sel. Aku ngerti… kalau mungkin kamu belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu—dari Kavi.”
Suara itu nyaris pecah di akhir kalimat. Ada getir yang ia tahan sekuat tenaga. Karena mencintai seseorang yang masih belajar melupakan, artinya juga harus siap mencintai dengan sabar—tanpa menuntut, tanpa memburu.
Selena berbalik perlahan. Matanya basah, tapi lembut.
“Kamu nggak salah, Ren,” bisiknya. “Aku cuma… belum sepenuhnya pulih. Tapi aku berusaha. Sungguh.”
Daren tersenyum tipis, mengusap pipinya yang lembap.
“Aku tahu,” katanya lembut. “Dan aku di sini bukan buat gantiin siapa-siapa. Aku cuma mau nemenin kamu, selama kamu mau.”
Selena memejamkan mata, lalu merapat ke pelukannya. Di luar, hujan masih turun dengan sabar—seolah ikut menjaga dua hati yang sedang belajar percaya lagi.