Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Langit Badmood
Langkah Langit terhenti ketika melihat sang ayah duduk di ruangan tamu rumahnya. Entah ada percakapan apa beberapa saat sebelum Langit dan Senja datang, sebab di sana juga ada Arditya dan Fema, orang tua Senja.
“Langit, kamu sudah makan malam, Sayang?” tanya Lusi tersenyum kepada putranya.
Langit menata sang ibunda, Lusi tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya. Mata bengkak dan senyum sendu itu membuat Langit mengepalkan tangan, semakin membenci sang ayah. Bahkan kini pria itu seakan tak ingin melihat wajah Lukman di sana.
“Kenapa Ayah masih di sini?” desis Langit menatap Lukman tajam.
“Duduk dulu, Nak,” ucap Fema tersenyum kepada tunangan putrinya.
“Aku tidak bisa duduk satu ruangan dengan pengkhianat, Ma. Aku benci orang yang berani membuat Bunda aku terluka,” sahut Langit menekan kalimatnya, seakan tengah menahan emosi.
Mendengar itu, Lukman hanya bisa tertunduk dengan wajah penuh penyesalan. Tatapan sang putra yang biasanya begitu penuh kagum kepadanya, kini berubah menjadi tatapan penuh kebencian dan amarah.
“Ayah minta maaf, Langit.”
“Minta maaf? Apa rasa sakit Bunda akan terobati dengan kata maaf itu? Rasa sakit kami, atau selama ini Ayah tidak pernah mengingat kami, istri dan anak-anak Ayah di rumah, iya? Bermain api dengan wanita lain di luar sana!” Langit kembali lepas kendali, Senja memegang lengan Langit, takut jika sang tunangan kembali melukai dirinya.
“Tenang dulu, Nak. Ayo duduk di samping Bunda,” ajak Lusi tersenyum lembut, mencoba terlihat baik di depan anak-anaknya.
Meski Luna dan Langit pun sangat tahu bagaimana kondisi hati Lusi saat ini. Fema pun sedari tadi terus menemani Lusi, memberi kekuatan kepada calon besannya itu. Arditya malah tak dapat berkata-kata lagi, ia seakan sudah tak mengenal sahabat lamanya yang dulu begitu menjaga hati.
“Untuk apa duduk? Bukankah perceraiannya sudah naik, dan tinggal menunggu putusan sidang untuk sah bercerai? Kalau begitu Ayah tinggal pergi dari sini,” cetus Langit.
“Kamu akan ikut bersama Ayah, kam—”
“Tidak akan!” sela Langit menatap tajam Lukman.
Lukman menghembuskan napas pelan. “Bukannya kamu ingin menjadi dokter seperti Ayah? Ayah yang bisa menuntun kamu untuk bisa men—”
“Aku sudah tidak ingin menjadi seperti Ayah. Sudah tidak ingin sama sekali. Entah dalam segi apa pun, aku tidak ingin mengikuti jejak Ayah. Semua rasa kagumku, semua rasa tertarikku tentang segala hal di diri Ayah, sudah lebur dan sirna sedari pertemuan tak terduga kita tadi sore. Jadi aku tidak akan pernah ikut Ayah, aku akan tetap di sini! Aku tidak akan pernah pergi ke mana-mana!”
“Langit!”
Semua orang melihat Langit berlari menuju tangga ke lantai atas. Pria itu sangat marah, dan benar-benar tak ingin pergi ke mana-mana.
“Biar aku yang urus Langit,” ucap Senja sebelum pergi menyusul sang tunangan ke lantai dua.
Keadaan di ruangan tamu itu hening, Lukman terus mengurut keningnya dengann wajah frustasi penuh penyesalan.
Tiba-tiba Luna berdiri, ia menatap sang ayah dengan wajah datar. “Aku ingin ke kamar, ada tugas kuliah. Aku pamit, Pa, Ma.”
Arditya dan Fema mengangguk dan tersenyum melihat Luna berpamitan kepada mereka. Lukman mengangkat kepalanya dan menatap sendu punggung sang putri.
“Aku kecewa padamu, Luk.” Suara berat Arditya mengalihkan perhatian Lukman.
Lukman menatap sahabatnya dengan wajah begitu frustasi. Ia sadar kesalahannya ini membuat semua orang terkejut dan kecewa kepadanya.
“Rasanya aku sudah tidak mengenalmu, bukan Lukman yang dulu lagi,” sambung Arditya sembari menghembuskan napas pelan.
Beralih dari lantai satu, kini Senja masuk ke dalam kamar sang tunangan di lantai dua. Ia menutup pintu kamar itu pelan, kemudian memandang Langit yang tengah menekuk kepala di antara kedua tulutnya.
Senja menarik napas pelan, ia melangkah mendekat dan duduk tepat di samping Langit. Gadis itu mengusap rambut sang tunangan dengan lembut.
“Meski kamu jadi dokter, bukan berarti kamu harus jadi mirip banget kayak Ayah. Kesalahan Ayah gak harus ikut turun ke kamu, meski kamu jadi dokter sekalipun. Aku tau ... menjadi seorang dokter adalah cita-cita serta impian kamu sedari kita masih kecil. Ayah emang salah, tapi bukan berarti dengan itu, kamu harus membuang cita-citamu,” bisik Senja lembut.
Langit mengangkat kepalanya, ia memandang sang tunangan dengan mata berkaca-kaca. Senja tersenyum, ia mengusap pipi Langit perlahan.
“Jika memang harus pergi dan berpisah, aku gak papa, demi kebaikan kamu. Aku akan tunggu kamu sampai jadi dokter,” sambung Senja.
Langit menggeleng cepat, air matanya langsung luruh. Pria itu menyambar tubuh Senja dan memeluk sang tunangan erat.
“Aku gak mau pergi, aku gak mau jauh dari kamu, aku gak mau pisah sama kamu. Aku gak akan bisa tanpa kamu, Ja, aku gak akan pernah bisa,” lirih Langit.
Senja mengusap punggung Langit. Pikiran pria itu kini bercampur aduk, emosi, frustasi, marah, kecewa, dan rasa takut, semuanya menyatu menjadi satu. Membayangkan kedua orang tuanya bercerai saja, sudah membuat Langit seakan dilempar dari mimpi indah, ditampar kenyataan.
“Kenapa harus gini, Ja? Sakit banget, kenapa Ayah tega? Keluarga aku hancur, Ayah tega, Ja. Aku gak mau mereka pisah, aku mau terus sama-sama kayak dulu-dulu. Aku maunya Ayah dan Bunda terus bersama, Kak Luna dan aku, kayak hari biasa. Tapi kenapa Ayah lakuin ini? Ayah tega milih wanita brengsek itu dan punya anak sama dia! Aku gak mau ini semua, aku gak mau pergi.”
Senja memejamkan matanya, ia ikut sakit mendengar rintihan kesakitan hati Langit. Ia pun menjadi saksi bagaimana manis dan harmonisnya keluarga Langit selama ini, tak jauh berbeda dengan keluarganya. Namun, memang tak disangka-sangka, kejutan hari ini sungguh di luar akal sehat mereka semua.
“Aku gak masalah gak jadi dokter, gak papa, asal aku gak pergi sama Ayah. Aku gak mau pergi sana Ayah, aku juga gak mau pergi dari sini. Aku maunya terus di sini, sama kamu,” lirih Langit lagi.
“Iya, kamu akan tetep di sini,” balas Senja berbisik lembut. “Kamu akan tetep di sini sama aku. Kamu gak akan pergi ke mana-mana. Kamu ingin jadi dokter pun, gak harus pergi dari sini. Sekarang tenang, yah.”
***
Brak ...
Semua orang terkejut mendengar suara berisik di sudut kelas. Mereka ngeri melihat seorang pria menyenggol kaki meja Langit sehingga menghasilkan bunyi nyaring.
Neo dan Rance yang tengah sibuk bermain game, langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka mendekat ketika melihat Langit mengangkat kepalanya dan menatap tajam si pelaku.
“Gue gak sengaja,” cetus pelaku menatap Langit setengah ngeri.
Mereka teman satu kelas, tetapi mood Langit sedari awal sudah tidak bagus. Sekarang tidur dan ketenangannya diganggu, meski tak disengaja. Namun, bagi Langit yang sedang tidak baik-baik saja, merasa sangat marah dan geram.
“Apa lo gak punya mata?” geram Langit.
“Gue gak sengaja. Meja lo agak ke tengah, bisa digeser ke dinding biar gak disenggol orang lewat.”
Langit menaikkan sebelah alisnya, kemudian ia tersenyum miring. Pria itu memainkan lidahnya di dalam rongga mulut, kemudian berdiri membuat si pelaku tadi mundur kaku.
“Emangnya kalo meja gue ke tengah, lo mau apa?” desis Langit membuat pria tadi menggeleng cepat.
“Gak, gue cuma—”
“Cuma apa?” sela Langit menekan pria di depannya.
Neo menghembuskan napas kasar. “Udah gue kode dari awal, jangan sampe ada yang ganggu Langit. Dia lagi gak mood, malah dibikin bangun,” gerutunya, kemudian menatap Rance. “Lo panggil Senja, Ce.”
“Oke.” Rance langsung pergi ke luar kelas untuk memanggil Senja.
Tentu saja itu untuk berjaga-jaga. Mengingat hanya Senja yang bisa menghentikan Langit.
“Lo nantangin gue, ya? Iya, sengaja lo nyenggol meja gue?” Langit mendorong bahu pria.
“Dia emang gak sengaja, kok. Gue sama dia lagi buru-buru ke depan kelas,” sahut seorang pria di belakang kelas, mungkin teman pria dihadapan Langit.
Langit mengalihkan wajah dan menatap pria itu dengan senyum miring. “Siapa yang nyuruh kalian? David atau Hengky?”
“Kita gak disuruh siapa-siapa,” sahut pria di depan Langit cepat.
Langit menatap mereka dengan senyum sinis. Ia mengambil alih buku tebal di tangan pria di depannya, lalu memukul kepala dan punggung pria itu dengan buku tadi.
Neo mengembuskan napas kesal. “Udah, Ngit. Mereka emang gak sengaja paling.”
“Kalo gitu gue juga gak sengaja. Nih, gue gak sengaja.” Langit berbicara sembari tersenyum dan terus memukul pria tadi, karakter badboy-nya muncul dalam kondisi badmood.
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh