Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Aku tidak menyakitinya
Lian Hua menggeleng cepat, suaranya bergetar. “Aku tidak menyakitinya.”
“Tidak menyakitinya?! Siapa yang akan percaya pada wanita berhati jahat sepertimu?”
Teriakan lantang wanita itu memecah keheningan, memancing beberapa pengawal bergegas datang dari arah kediaman. Suara langkah mereka terdengar berirama cepat, hingga tiba di belakang paviliun.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya salah satu pengawal.
Wanita itu langsung menunjuk Lian Hua, matanya menyala penuh tuduhan. “Dia berniat menyakiti Wei Jie! Anak sekecil ini dalam kondisi lemah, dan dia ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk berbuat jahat.”
Lian Hua mencoba menjelaskan, suaranya tegas namun penuh kegelisahan. “Tidak. Aku hanya ingin mengobatinya.”
Belum sempat ia melanjutkan, suara langkah berat terdengar mendekat. Dari kejauhan, seorang pria muncul, tinggi, berwibawa, dengan tatapan sedingin baja. Jubah merah-hitam menjuntai di bahunya, rambut panjang terurai rapi dengan ornamen perak yang memantulkan cahaya obor. Kehadirannya seakan menekan udara di sekitar, membuat dada Lian Hua terasa sesak.
Ia berhenti tepat di hadapannya. Tanpa bertanya lebih jauh, hanya satu kata keluar dari bibirnya, dingin dan penuh kuasa: “Seret dia kembali dan beri tiga puluh cambukan.”
Mata Lian Hua membelalak. “Tidak! Wei Jie sendirian di bawah pohon, dia menangis kesakitan! Aku hanya…”
Teriakannya terpotong saat tangan kasar pengawal meraih lengannya, menyeretnya tanpa belas kasihan. Lututnya membentur tanah, tubuhnya terguncang, namun tidak ada yang peduli. Ia dilempar masuk ke dalam paviliun, pintu ditutup rapat.
Suara cambukan mulai terdengar tajam, memecah malam. Rintihannya merayap di antara sela-sela dinding, namun di luar sana tak ada yang bergerak untuk menghentikannya.
Di tempat lain, wanita itu berlutut, mengusap wajah Wei Jie dengan penuh kecemasan. “Kau baik-baik saja? Aku bersumpah akan membunuhnya jika dia berani menyentuhmu lagi.”
Wei Jie hanya diam, wajahnya tertutup bayangan. Sementara itu, pria berwibawa tadi menatap sang wanita dingin. “Bibi Kong Ya Ting. Bawa Wei Jie ke kamarnya.”
Ya Ting mengangguk, memeluk erat anaknya. “Terima kasih, Yang Mulia.”
Pria itu melirik penasihatnya, He Bo Qiang. “Panggil tabib istana. Periksa lukanya.”
Ya Ting segera melangkah pergi, menuntun Wei Jie yang sesekali menoleh ke arah paviliun, tempat suara cambukan itu masih terdengar samar.
Ya Ting masuk ke dalam paviliunnya yang berada tak jauh dari dapur, menuntun Wei Jie yang masih meringkuk di pelukannya. Tubuh mungil anak itu terasa dingin, membuat Ya Ting mempererat pelukannya.
Ia mendorong pintu, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. Tanpa banyak bicara, Ya Ting mengangkat tubuh anaknya dan membaringkannya di tempat tidur. Seprai sedikit kusut karena gerakan tergesa itu, tetapi ia tak memedulikannya. Wei Jie tetap terdiam, hanya matanya yang bergerak, mengikuti setiap gerak ibunya.
Ya Ting menunduk, mengusap lembut pipi anaknya, lalu berkata pelan namun tegas, “Tunggu ibu sebentar, ya. Ibu akan kembali.”
Wei Jie tidak menjawab, hanya memandangi wajah ibunya yang mulai menjauh. Saat pintu paviliun kembali terbuka, tatapannya terlempar keluar. Pandangannya tertuju pada kegelapan yang menyelimuti paviliun Lian Hua. Cahaya bulan tak sanggup menembus pekatnya bayangan di sana, membuat tempat itu tampak sunyi dan dingin.
Dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang takut terdengar oleh angin malam, Wei Jie memanggil, “Kakak…”
Suara itu terhenti di udara, seolah menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂