Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal bersama Lianxue
Begitu mereka melangkah keluar dari gerbang Kota Tianhe, senja telah merayap di langit, memandikan dunia dengan cahaya keemasan yang hangat. Jalan berbatu di luar kota sepi, hanya desir angin dan suara burung malam yang mulai bersahutan dari kejauhan.
Cuyo berhenti sejenak. Tatapannya menembus ke arah puncak gunung yang diliputi kabut putih seperti tirai sutra langit. Tanpa berkata banyak, ia mengangkat tangan, dan dari dalam lengan jubahnya yang lebar, sebuah pedang panjang berwarna perak keluar melayang. Pedang itu memancarkan kilau halus, dan bilahnya seperti memantulkan cahaya senja yang berpendar di sekitarnya.
“Naiklah seperti sebelumnya,” ujar Cuyo dengan suara tenang namun penuh kewibawaan.
Xu Hao mengangguk patuh. Langkahnya ragu, tapi tanpa protes ia naik ke atas pedang. Bilah itu melayang sedikit di atas tanah, bergetar lembut seakan menyambut beban barunya.
Cuyo melangkah naik di belakang Xu Hao. Tangan kirinya menepuk pelan pundak bocah itu, sementara tangan kanannya memberi isyarat pada pedang. Dalam sekejap, pedang melesat maju, membelah udara dengan kecepatan kilat.
Angin senja menerpa wajah Xu Hao, membawa aroma dingin pegunungan dan harum samar dari pepohonan cemara. Kota Tianhe menyusut cepat di bawah kaki mereka.
Gunung di kejauhan semakin dekat, puncaknya diselimuti awan tebal yang berputar-putar, seperti naga putih raksasa yang melilit puncak batu. Saat mereka menembus kabut, udara berubah menjadi lembab dan sejuk, setiap tarikan napas seolah mengisi paru-paru dengan kesegaran murni.
Tak lama, pedang meluncur keluar dari lautan awan. Di hadapan mereka, sebuah puncak yang lapang terbentang, dipenuhi rerumputan hijau yang berkilau seperti zamrud di bawah cahaya senja yang memudar. Di sisi timur puncak berdiri sebuah rumah kayu sederhana, atapnya beratap jerami, namun di sekitarnya tertata rapi.
Di depan rumah itu, sebuah batu besar berdiri tegak. Di atasnya, seorang gadis duduk bersila. Gaun putihnya tergerai ringan, rambut hitamnya diikat dengan pita biru yang tertiup angin. Wajahnya tenang seperti danau tanpa riak, namun aura tajam mengalir halus dari tubuhnya, seperti pedang yang disarungkan namun siap menusuk kapan saja. Dialah He Lianxue, putri tunggal Cuyo.
Pedang perak mendarat lembut di tanah berumput. Xu Hao memandang sekeliling. Udara di puncak ini begitu murni, sejuk, dan dipenuhi ketenangan yang jarang ia rasakan sepanjang hidupnya. Suara burung gunung terdengar samar, dan aroma dedaunan basah menguar dari hutan di lereng bawah.
“Ayo, kita temui Lianxue,” kata Cuyo sambil berjalan mendahului. Xu Hao mengangguk pelan, mengikuti di belakang.
Langkah mereka mendekati rumah kayu itu. Saat jarak hanya tinggal beberapa langkah, mata Lianxue terbuka perlahan. Seperti cahaya bulan yang menembus kabut, tatapan matanya langsung terarah pada ayahnya. Matanya bewarna abu-biru Phoenix, rambutnya hitam panjang, tubuhnya seperti ukiran pengrajin dewa, kulitnya putih seperti salju yang pertama kali turun, pakaian putihnya bersulam awan perak terlihat serasi dengan dirinya. Tanpa berkata banyak, ia berdiri dengan gerakan ringan lalu melompat turun dari batu.
“Ayah. Kenapa datang mengunjungi aku? Bukankah aku sudah bilang tidak ingin diganggu?” Suaranya datar, tapi terselip sedikit kejengkelan.
Cuyo tersenyum tipis. “Aku membawa sesuatu untukmu.”
Lianxue mengernyit, pandangannya mengikuti gerakan tangan ayahnya yang sedikit menoleh ke arah Xu Hao. Matanya memandang bocah itu dari kepala hingga kaki. “Dia?” tanyanya singkat.
“Itu benar,” jawab Cuyo dengan nada mantap. “Namanya Xu Hao. Mulai hari ini, Hao’er akan menjadi adikmu. Perlakukan dia dengan baik.”
Kening Lianxue berkerut. “Adik? Untuk apa aku butuh adik? Aku tidak pernah memintanya.”
Xu Hao menunduk, kedua tangannya menggenggam ujung baju lusuhnya.
Nada suara Cuyo sedikit mengeras. “Jangan bicara seperti itu. Kalian akan tinggal bersama mulai sekarang.”
“Apa? Tinggal bersama?” Lianxue melangkah maju setengah langkah, tatapannya tajam. “Ayah, apa yang sedang kau lakukan?”
Cuyo menghela napas panjang, lalu menepuk pundak Xu Hao dengan lembut. “Dia ayah beli di pelelangan. Mereka menemukannya di Hutan Tanpa Nama. Tiga perampok membawanya ke sana. Apa hatimu tidak terusik membiarkan anak ini sendirian di dunia luar?”
Mendengar itu, tatapan Lianxue sedikit berubah. “Hutan Tanpa Nama… itu tempat yang sangat berbahaya. Dan dijual seperti budak… mereka benar-benar orang kejam.”
“Karena itu ayah membelinya. Untuk melindunginya,” kata Cuyo dengan tegas.
Lianxue terdiam sejenak. Lalu ia mengangguk perlahan. “Kalau begitu… aku akan setuju.” Namun ia segera menatap Xu Hao. “Jawab aku. Kenapa kau bisa berada di Hutan Tanpa Nama?”
Xu Hao melirik pada Cuyo. Paman itu mengangguk memberi izin. “Katakanlah, Nak. Paman juga ingin tahu.”
Xu Hao menelan ludah. Lalu suaranya keluar pelan, namun setiap kata terasa berat. “Aku anak dari keluarga miskin di Desa Batu. Empat hari yang lalu… ayah dan ibuku dibunuh di depan mataku oleh pria yang tidak kukenal.”
“Apa?” seru Lianxue. Tangan halusnya menutup mulut, matanya membesar.
Cuyo pun membelalak, tidak menyangka asal-usul anak itu begitu kelam.
Xu Hao melanjutkan dengan suara bergetar. “Setelah itu… aku menggali dua lubang dengan tanganku sendiri untuk menguburkan mereka. Setelah selesai… aku meninggalkan desa. Aku tidak punya siapa pun lagi. Dan… kalau aku tetap tinggal, aku akan terus dipukuli oleh anak-anak desa.”
Xu Hao menghela napas panjang. “Jadi aku berjalan melewati hutan yang mengelilingi Desa Batu. Beberapa kali aku dikejar binatang buas. Lalu aku bertemu tiga perampok itu. Mereka memukuli aku… dan saat aku terbangun, aku sudah berada di pelelangan. Di sanalah Paman Cuyo membeliku.”
Keheningan menyelimuti puncak gunung itu. Lianxue memandang Xu Hao dengan mata yang lebih lembut daripada sebelumnya. Rasa iba muncul di hatinya, meski wajahnya tetap terjaga.
Cuyo memeluk bahu Xu Hao. “Tenang saja, Hao’er. Paman berjanji akan selalu melindungimu. Tidak akan ada yang menindasmu lagi.”
Xu Hao mengangguk pelan. “Terima kasih, Paman.”
Lianxue menarik napas, lalu berkata datar. “Baiklah. Kau boleh tinggal bersamaku. Tapi jangan menggangguku.”
Xu Hao mengangguk cepat. “Baik.”
Angin di puncak berhembus lembut, membawa aroma bunga liar dari lereng. Matahari terakhir tenggelam di balik awan, meninggalkan mereka bertiga berdiri di halaman rumah kayu, memulai awal yang baru.
Malam Pertama di Puncak Gunung.
Udara pegunungan di puncak itu terasa begitu jernih sehingga setiap tarikan napas seakan membawa masuk kesejukan yang menenangkan jiwa. Matahari yang tadi menyinari rerumputan dengan warna emas kini telah tenggelam di balik awan, meninggalkan kilau terakhir yang berpendar di tepian langit. Langit mulai berubah menjadi biru kelam, perlahan-lahan dilumuri warna ungu malam. Cahaya samar bulan mulai muncul, seperti wajah lembut yang mengintip dari balik tirai awan tipis.
Lianxue menoleh sebentar ke arah rumah kayu. Gerakannya ringan, gaun putihnya sedikit bergoyang mengikuti langkah kakinya. Ia mendorong pintu kayu sederhana itu. Bunyi engsel yang berderit halus menyambut, lalu aroma kayu pinus yang hangat mengalun keluar. Xu Hao menatap ke dalam dengan rasa canggung. Rumah itu tak luas, tetapi tertata rapi. Dindingnya dari papan kayu tebal yang sudah dipoles, lantai bersih tanpa debu. Sebuah meja bundar dari kayu cemara berdiri di tengah, dikelilingi empat kursi rendah. Di sudut ruangan ada tungku batu dengan periuk tanah liat di atasnya, uap tipis mengepul dari celah penutupnya.
Cuyo masuk lebih dulu, lalu menepuk punggung Xu Hao pelan agar ia mengikuti. “Masuklah. Mulai malam ini, ini rumahmu juga,” ucapnya dengan suara tenang. Xu Hao melangkah pelan, seakan takut kakinya akan mengotori lantai yang bersih. Ia menyentuh kursi terdekat, merasakan dinginnya kayu yang licin di bawah jemarinya.
Lianxue berjalan ke tungku. Dengan gerakan yang terlatih, ia mengangkat penutup periuk. Uap panas menyeruak, membawa aroma gurih sup sayuran yang bercampur sedikit wangi jahe dan minyak wijen. “Kita makan sekarang. Sup ini baru matang,” katanya singkat. Ia mengambil sendok kayu panjang, mengaduk pelan sup itu. Potongan lobak putih, jamur kancing liar, dan beberapa daun hijau melayang-layang di permukaan kuah bening.
Cuyo duduk di kursi. “Hao’er, duduklah. Kau pasti belum makan yang layak hari ini.”
Xu Hao mengangguk dan duduk di kursi di sebelah kanan Cuyo. Matanya masih melirik ke arah Lianxue yang sedang menuangkan sup ke dalam tiga mangkuk tanah liat. Gerakannya anggun meski sederhana. Ia meletakkan satu mangkuk di depan ayahnya, satu di depan Xu Hao, dan satu lagi di hadapannya sendiri.
Sup panas itu mengepulkan aroma yang menenangkan. Xu Hao menunduk sejenak, kedua tangannya menggenggam mangkuk, merasakan hangatnya meresap ke telapak tangan yang selama ini dingin. Ia tidak terbiasa makan di tempat seperti ini. Di desa, makan malam sering kali hanya berupa bubur encer atau roti jagung keras.
“Minumlah,” kata Cuyo sambil mulai menyeruput supnya. “Ini akan menghangatkan tubuhmu.”
Xu Hao mengangkat sendok kayu. Saat suapan pertama memasuki mulutnya, rasa gurih alami dari jamur liar bercampur dengan manisnya lobak segar membuat lidahnya seakan terbangun dari mati rasa. Hangatnya merambat dari kerongkongan hingga ke perut. Ia menelan perlahan, lalu tanpa sadar menghela napas lega. “Enak sekali…” gumamnya lirih.
Lianxue sempat melirik sekilas, namun segera kembali fokus pada supnya. “Makanlah sebanyak yang kau mau. Tapi jangan sampai sakit perut karena kebanyakan,” ucapnya datar.
Mereka bertiga makan dalam keheningan yang anehnya terasa damai. Di luar, suara jangkrik mulai terdengar, diselingi desiran angin malam yang menyapu rerumputan puncak. Cahaya lampu minyak yang tergantung di langit-langit rumah kayu memantulkan bayangan lembut di dinding.
Setelah mangkuknya kosong, Xu Hao meletakkannya perlahan di meja. “Terima kasih… untuk makan malamnya.”
Cuyo tersenyum tipis. “Mulai sekarang, kau tidak perlu berterima kasih setiap kali. Anggap saja ini rumahmu.”
Xu Hao mengangguk, namun hatinya bergetar. Ia belum pernah mendengar kata-kata itu sejak kedua orang tuanya meninggal.
Lianxue berdiri, mengumpulkan mangkuk mereka, lalu membawanya ke bak kayu di sudut ruangan untuk dicuci. Gerakannya tenang, seolah ia sudah terbiasa melakukan semua ini sendiri. Cuyo menatap putrinya sebentar, lalu berkata, “Besok pagi, kau akan mulai melatih fisik Hao’er. Gunakan metode yang sudah ayah ajarkan padamu.”
Lianxue menoleh sedikit, kerutan tipis muncul di keningnya. “Baik. Tapi jangan salahkan aku kalau dia tidak sanggup.”
Xu Hao langsung menegakkan punggungnya. “Aku akan sanggup!” ucapnya cepat. Suaranya tegas, meski tubuhnya kurus dan jelas belum pernah ditempa latihan.
Lianxue hanya mengangkat alis, lalu kembali mencuci.
Setelah semuanya beres, Cuyo berdiri. “Aku harus kembali ke klan malam ini. Ada urusan dengan para tetua. Hao’er, mulai malam ini kau tidur di kamar kecil di sebelah. Lianxue, jangan perlakukan dia dengan kasar.”
Lianxue hanya menjawab dengan anggukan singkat.
Cuyo melangkah ke luar, malam menyambut dengan udara yang lebih dingin. Pedang peraknya kembali melayang, dan dalam sekejap ia melesat menembus langit berbintang. Xu Hao berdiri di pintu, menatap sosok itu menghilang di kejauhan.
Lianxue menutup pintu. “Ayo, aku tunjukkan kamarmu.” Ia berjalan menyusuri sisi rumah. Xu Hao mengikutinya. Mereka tiba di pintu kayu yang lebih kecil. Di dalam hanya ada satu ranjang kayu dengan kasur tipis dari jerami kering yang sudah ditutup kain putih bersih. Sebuah meja kecil berdiri di sudut, dengan lampu minyak di atasnya.
“Ini kamarmu. Jangan membuat berantakan. Pagi-pagi sekali kita mulai latihan,” kata Lianxue.
Xu Hao menatap ruangan itu. Meski sederhana, baginya ini seperti tempat paling aman di dunia saat ini. “Terima kasih…”
Lianxue tidak menjawab, hanya menutup pintu dan pergi.
Xu Hao duduk di ranjang, merasakan kehangatan kain yang baru dijemur. Di luar, suara angin membawa aroma dedaunan dan sedikit wangi bunga liar. Ia menarik napas panjang. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak tragedi di Desa Batu, ia tidur nyenyak tanpa mimpi buruk.