Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 REZA DI SEKAP
Rangga berjalan pelan-pelan di lorong gelap, langkahnya nyaris tak bersuara seperti hantu penjaga rumah tua. Matanya waspada, telinganya tajam menangkap setiap detak jam dinding.
Malam ini dia mendapat tugas penting—menangkap Reza.
Tali, karung goni, dan sapu tangan berisi obat bius sudah disiapkan. Barang-barang yang biasanya hanya ada di film kriminal, malam ini ada di tangannya.
Dia tidak sendiri. Rimin, si tukang suruhan yang hobi ikut campur urusan orang, ikut menyelinap di belakangnya.
Upah mereka besar. Dimas dan Vanaya menjanjikan bayaran yang bisa bikin mereka libur jadi kacung seminggu penuh.
Ini bukan pertama kalinya mereka menindas Reza. Mereka sudah sering.
Dulu, Reza tak pernah melawan. Bahkan memandang wajah Rimin saja dia tak berani.
Lemah, pengecut, gampang dibentak—itulah Reza yang mereka kenal.
Masalah adalah hal yang paling dihindari Reza.
Kalau pun dia secara tidak sengaja menginjak seekor anjing, bisa dipastikan dia akan minta maaf... pada si anjing, tiga kali, sambil menunduk.
Reza mengalami kerusakan mental yang akut—setidaknya itu yang orang-orang di rumah ini percaya.
Diam, penakut, dan terlalu baik untuk dunia sebrutal ini.
Maka ketika Rangga dan Rimin mendapatkan tugas menculik Reza dan menyekapnya di toilet, mereka menganggapnya pekerjaan mudah. Tak ada resiko besar. Hanya sekadar menyingkirkan pecundang.
Kalaupun mereka ketahuan, Galih paling-paling hanya memberi teguran ringan. Reza bukan anak emas.
Lagipula, andai Galih sampai membela Reza, satu keluarga bakal balik memusuhi Galih sendiri.
Reza itu beban. Hama. Pengganggu reputasi keluarga.
Dan malam ini, mereka akan mengirim Reza ke tempat yang pantas… setidaknya menurut mereka.
“Kreet...”
Pintu kamar tua itu terbuka perlahan, berderit pelan seperti napas rumah yang kelelahan.
Di dalam, tampak Reza tidur dengan tenang. Terlalu tenang. Tubuhnya menyamping, wajah tertutup separuh bantal. Nafasnya teratur, seperti bayi pecundang yang tak tahu dunia sedang ingin menghancurkannya.
“Dasar pecundang,” gumam Rangga, menyeringai puas.
Ia mengendap-endap masuk, napas ditahan, tali dan sapu tangan siap di tangan. Rimin berjaga di depan pintu, matanya awas.
Rangga mendekat. Dan dalam satu gerakan cepat—sret!—ia membekap wajah Reza dengan sapu tangan berisi obat bius.
Tubuh Reza memberontak sejenak.
“Bajingan... aku lengah,” gumam Reza, nafasnya tercekat.
“Dasar pecundang,” gumam Rangga, menatap tubuh Reza yang tak berdaya.
Obat bius itu akan bertahan selama satu jam—lebih dari cukup untuk menyelesaikan misi kecil mereka.
Dengan sigap, mereka mengikat tangan dan kaki Reza, lalu memikul tubuhnya seperti karung beras. Tanpa belas kasihan, mereka membawanya menyusuri lorong sempit ke halaman belakang.
Tujuan mereka: toilet tua yang sudah lama tak terpakai. Tempat itu menyimpan banyak memori buruk bagi Reza. Tempat hinaan, tempat kekerasan. Dan malam ini, mereka akan menambahkan satu lagi kenangan ke dalamnya.
Sesampainya di depan toilet, mereka melemparkan tubuh Reza ke lantai kasar seperti melempar bangkai binatang. Dentuman tubuhnya menggema di antara dinding lembab dan sarang laba-laba.
Lalu, Rangga mengambil karung yang sudah disiapkan.
Karung itu bergerak-gerak. Isinya: tikus-tikus besar, liar, kelaparan.
Dengan tawa kecil penuh kemenangan, mereka membuka karung dan melepaskan isinya.
Tikus-tikus itu berlarian ke sudut-sudut, mencium bau tubuh manusia.
Rangga dan Rimin menutup pintu kamar mandi dari luar.
“Coba bos itu ngasih tugas yang agak berat dikit kek,” ujar Rangga santai sambil bersandar di tembok belakang.
“Tugas kayak gini, sambil merem juga gue bisa.”
Rimin tertawa kecil, membuka bekal rokoknya. Mereka benar-benar tidak merasa sedang berbuat kejahatan.
Bagi mereka, ini cuma hiburan sebelum tidur.
Sementara itu, di dalam toilet gelap dan lembab, Reza mulai sadar.
Matanya terbuka perlahan.
Sunyi. Hanya suara napas... dan langkah-langkah kecil dari makhluk-makhluk yang dilepas ke dalam ruangan.
Tikus-tikus itu mendekat, lalu... berhenti.
Beberapa diam di tempat, beberapa mundur perlahan. Yang lain bahkan bersembunyi di sudut tembok, gemetar.
Aura Reza menyelimuti ruangan seperti kabut kematian.
Dingin. Pekat. Busuk.
Seolah tubuhnya pernah mati—dan kini kembali hanya untuk membalas dendam.
Mereka pikir tikus akan menakuti Reza?
Mereka salah.
Justru...
Tikus-tikus itu yang ketakutan pada Reza
Reza mengerjapkan mata. Pandangannya kabur, tapi bau menyengat segera menyadarkannya.
“Bajingan... bau banget,” desisnya sambil meringis.
“Anjing... aku diikat?” gumamnya, menyadari kedua tangan dan kakinya terlilit tambang murahan.
Tapi Reza hanya terkekeh pelan.
Serius? Tambang?
Dengan satu gerakan lihai, dia mulai mengendurkan simpul itu.
Dulu, Reza Sulistiyo pernah diborgol menggunakan kunci kode tingkat militer—dan berhasil membukanya hanya dengan potongan kawat gigi.
Sekarang cuma tambang? Ini bukan tantangan, ini penghinaan.
Beberapa detik kemudian, ikatan terlepas sepenuhnya. Tapi Reza tidak langsung berdiri.
Sebaliknya, ia menyeringai kecil.
“Aku harus membuat ini lebih dramatis...”
Dan lalu—
“ARGHHHHH!!!”
Teriaknya melengking seperti korban film horor kelas B.
“TOLOOONG!!! ADA TIKUUUSSS!!!”
Suara histeris itu menembus dinding dan sampai ke telinga Dimas dan Vanaya di kejauhan.
Mereka saling melirik... dan tersenyum puas.
“Bagus. Pasti sekarang dia nangis-nangis,” kata Vanaya sambil tersenyum licik.
“Mampus kau, anak haram!” sahut Dimas, wajahnya puas seperti baru memenangkan pertandingan kecil yang tak seimbang.
Dari kejauhan, terdengar suara jeritan—melengking, penuh kepanikan.
“Ayaaahhh! Tolong aku, ayahhh!”
“Ayahhh... ada tikuuusss!! Tolooong ayah!!”
Suara Reza terdengar seperti bocah ketakutan yang terjebak di rumah hantu. Napasnya tersengal, tangisnya dibuat-buat tapi meyakinkan. Benar-benar pertunjukan kelas wahid.
“Anjing... masa aku harus nginap di tempat begini,” gerutu Reza, menatap dinding toilet tua yang penuh lumut.
Toilet itu memang dikunci dari luar, tapi bagi Reza, itu bukan masalah.
Dia hanya tersenyum kecil sebelum mengeluarkan jarum kecil dari sela pinggangnya.
Satu kali tusuk, dua kali sentak—klik.
Kunci tua itu terbuka seolah menyerah pada pengalaman kriminalnya yang tersembunyi.
Tanpa suara, Reza melangkah keluar.
Secepat kilat dia menyelinap masuk ke kamar, melemparkan dirinya ke kasur lepek... dan tidur kembali, seolah malam tadi tak pernah terjadi.
Jam 4 pagi.
Rangga terbangun dengan malas. Dia menepuk Rimin yang tidur sambil ngorok di lantai.
“Ayo, bangunin si pecundang itu. Pasti dia udah mati ketakutan,” bisiknya penuh semangat.
“Oke... ayo kita balikin dia ke kamar sebelum Tuan datang,” sahut Rimin sambil menguap.
Mereka berjalan ke halaman belakang, percaya diri.
Langkah mereka ringan, penuh kepuasan.
Toilet itu berdiri di sudut halaman belakang, terbuat dari besi tua berkarat, dengan pintu berat yang hanya bisa dibuka dari luar.
Gembok besar menggantung rapi di pegangan pintu—kunci hasil rancangan Riko, yang sengaja dibuat agar Reza tak pernah bisa keluar setiap kali dia disekap.
Di dalamnya gelap gulita, tanpa penerangan, tanpa ventilasi.
Bau pesing, lembab, dan memory rasa sakit reza baskara saat disiksa tersimpan rapih di sudut-sudut tembok
Tidak ada yang pernah membersihkannya. Karena tempat itu memang tidak diciptakan untuk manusia… melainkan untuk menyiksa Reza supaya mentalnya rusak.