Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Day One
Semalaman tidak tidur membuat Suri jadi cranky. Semua hal jadi tampak menyebalkan di matanya. Bahkan tingkah usil Kenneth yang biasa ia jadikan bahan hiburan pun, pagi itu berhasil menyulut amarahnya. Suri jadi kelepasan mengomeli bocah tengil itu. Memintanya tidak muncul dalam waktu dekat, apalagi kalau sambil tertawa cekikikan atau menggondol barang curian.
Bukan hanya suasana rumah dan eksistensi para hantu di sana, kondisi di sekolah pun ternyata tidak jauh berbeda menyebalkannya. Tolong catat, ini masih awal musim panas, suhu terakhir yang Suri lihat dari ponselnya mencapai 30 derajat. Tubuh semakin mudah berkeringat. Semakin mudah pula amarahnya tersengat. Maka begitu menyebalkan untuk tahu bahwa kipas angin di ruang kelasnya mati. Sepanjang pelajaran, Suri hanya sibuk mengipasi dirinya dengan buku tulis. Itu pun tidak memuaskan karena angin dari kibasan buku tipis itu tidak terlalu banyak membantu.
Kipas yang mati hanyalah satu soal, jika Suri boleh menekankan. Keberadaan Dean yang perdana ikut ke sekolah juga membuat suasana hati Suri makin suram. Pria tampan itu seakan sengaja menguji kesabarannya, dengan duduk di jendela samping bangku Suri, mengayunkan kaki telanjangnya sampai ujung-ujung jemarinya tak sengaja menyentuh lengan Suri.
Suri kesal. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Menyuruh Dean pergi, atau mengomeli ketua kelas yang tidak becus merawat kipas angin, atau memakai guru Bahasa Jerman botak yang kini mengajar di depan kelas. Kepada siapa saja. Suri ingin melampiaskan amarahnya agar dadanya sedikit saja terasa lega.
"Akan ada festival lilin di lingkungan Universitas."
Bisikan pelan itu membuat Suri menoleh cepat. Teman satu kelasnya, duduk di sebelah kanan bangkunya, berbicara dengan teman lain yang duduk di depan Suri. Matanya sambil melirik ke depan, berjaga kalau-kalau guru botak di depan tiba-tiba balik badan.
"Kapan?" Teman yang diajak bicara menyahut antusias.
"Malam ini," kata teman yang pertama. "Tidak semua orang bisa datang, tapi Roger memberiku akses untuk tiga orang."
"Satu untukku." Suri menyerobot tanpa diminta.
Teman yang memberi informasi soal festival itu menoleh ke arahnya, tapi tidak menjawab. "Kita bisa datang," bisiknya.
"Denganku, kan?" tanya Suri lagi.
Belum ada jawaban ketika obrolan rahasia itu harus selesai begitu guru botak di depan berhenti menulis di papan. Dua teman Suri kembali ke posisi duduk masing-masing. Memasang postur sigap, wajah serius, kepala mengangguk mantap seolah menyimak pelajaran.
Mau tidak mau, Suri juga jadi harus kembali fokus ke depan. Tapi saat itu, suara Dean tahu-tahu terdengar begitu dekat dengan telinganya.
Suri terlonjak. Ia menatap tajam sosok Dean. Pria itu berjongkok di sebelah mejanya, merebahkan kepala di atas tumpuan kedua tangan, menatapnya lekat-lekat. "Kita akan pergi, kan?" ulangnya.
Bukannya menjawab, Suri justru mengalihkan pandangan, pura-pura tidak melihat Dean.
"Suri." Dean memanggil lagi.
"Jika ingin kita pergi, sebaiknya tutup mulutmu dan jangan ganggu aku." Suri bicara dengan bibir nyaris terkatup rapat.
Seumur hidup, baru kali ini dia merasa kesal setengah mati.
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Sesuai janji, Suri temani Dean ke rumah sakit. Mereka ke sana naik taksi. Suri yang membayar ongkos, tentu saja. Padahal dia pikir Dean bisa mengajaknya berteleportasi seperti di film-film. Nyatanya tetap saja harus menggunakan cara konvensional yang menguras waktu dan uang jajan.
Rumah sakit sore itu tampak sibuk. Sudah tiga kali Suri dengar raungan sirine ambulans menuju IGD sejak ia menjejakkan kaki di sini. Selain paramedis yang sibuk dengan pasien gawat darurat, pasien-pasien yang berkeliaran di area taman tampaknya juga larut dalam kegiatan masing-masing hingga tak memedulikan eksistensi Suri.
Dean menggiringnya ke lantai delapan. Naik lift terlalu berisiko, maka mereka meniti satu demi satu anak tangga. Untuk tiba di depan ruang rawat VVIP yang biaya per-malam tidak bisa Suri bayar dengan uang jajan sebulan.
"Bukalah," pinta Dean.
Suri melirik Dean sekilas, kemudian beralih pada pintu geser di depannya. Sebelum melaksanakan permintaan Dean, ia melongok sedikit, mengintip keadaan di dalam kamar rawat melalui bagian kecil pintu yang terbuat dari kaca. Pandangannya mengedar, memastikan tidak ada orang lain di dalam sana selain kekasih Dean.
"Tidak ada siapa pun," sela Dean.
Suri melirik sinis dan berdecak. "Sabar. Sudah bagus aku mau bantu," omelnya.
Begitu pintu Suri geser, Dean langsung menerobos masuk. Pria itu juga mengisyaratkan kepada Suri untuk segera menutup kembali pintu, lalu mengikuti langkahnya. Suri menurut saja. Toh kedatangan mereka ke sini kan memang untuk menjalankan misi konyol Dean.
Selagi Dean memimpin di depan, Suri mengedarkan pandangan. Fasilitas di dalam kamar rawat ini memang jempolan. Selain bed pasien lengkap dengan berbagai macam alat medis, ada pula sofa panjang mewah, satu bed untuk keluarga pasien, kamar mandi, juga lemari berukuran cukup besar. Di sana juga ada televisi layar datar berukuran 21 inch, beberapa perabot elektronik lain seperti teko listrik. Di meja dekat ranjang, vas bunga dipenuhi tangkai bunga mawar. Dilihat dari kelopaknya yang mulai layu, bunga-bunga itu jelas sudah lama ada di sana.
"Mungkin kekasihmu betah ada di sini karena fasilitasnya terlalu oke," celetuknya.
Dean menghentikan langkah persis di sebelah ranjang. Tatapannya tampak datar, meski ada sedikit siratan tidak suka. Suri menyadari adanya kecanggungan berkat celetukan asalnya, jadi dia berdeham pelan kemudian berjalan mendekat.
Di atas ranjang pasien, kekasih Dean terbaring. Alat-alat medis tertempel di seluruh tubuhnya. Wajahnya pun tertutup masker oksigen, membuat Suri hanya bisa melihat kelopak matanya yang terpejam damai.
"Jadi," mulainya, "apa yang harus aku lakukan?"
Dean menarik kursi. "Duduklah," titahnya.
Tanpa banyak omong, Suri menurut. Ia duduk di sebelah ranjang pasien, dengan Dean berdiri di belakangnya.
"Coba ajak dia bicara."
Suri berdeham sekali lagi. "Hai," sapanya kikuk. Tangannya terangkat sebatas dada. "Namaku Suri. Umurku 17 tahun, kelas 2 SMA."
Kepala Suri menoleh. Sorot matanya menyiratkan tanya: apa lagi?
Dean memandang kekasihnya sejenak, lalu berkata, "Coba sentuh. Energi manusiamu mungkin bisa merangsang jiwanya untuk kembali ke tubuh."
"Memangnya ... jiwanya sedang berkeliaran di suatu tempat? Di mana?"
"Entah. Yang pasti tidak ada di sana."
Suri menelan ludah susah payah. Dia kembali memandang tubuh kekasih Dean yang terbaring tak berdaya. Embusan napasnya tampak teratur. Dadanya naik-turun dengan irama konstan. Terlihat seperti seseorang yang hanya sedang tertidur.
"Jika aku sentuh...."
"Coba saja."
Karena masih ragu-ragu, Suri mengepalkan tangan, menyisakan jari telunjuknya mengarah pelan pada lengan kekasih Dean. Gerakannya terlalu lambat, tapi Dean di belakang menanti dengan sabar. Tidak diburu-buru membuat Suri menambahkan lebih banyak keyakinan.
Dean menunggu sambil harap-harap cemas. Tapi begitu ujung telunjuk Suri berhasil menyentuh lengan kekasihnya, ia dibuat bingung sekaligus resah. Sebab Suri tiba-tiba menarik tangannya dan tampak terkejut.
"Kenapa, Suri?"
Bersambung....