NovelToon NovelToon
Misteri Desa Lagan

Misteri Desa Lagan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu / Tumbal
Popularitas:534
Nilai: 5
Nama Author: rozh

Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7. Pohon Mangga

Bang Irul dan Agung langsung ke Puskesmas setelah usai makan dan melapor pada Pak Johan. Setibanya di sana, kaki Agung di periksa, dan benar hanya luka kecil saja karena tergores beberapa potongan kayu di parit kering yang bersemak itu, tetapi setelah Bang Irul mengatakan Agung jatuh di parit simpang tiga, wajah bidan langsung berubah.

Lalu, dia mengambil air putih dan membaca doa, mengusap kaki Agung dari lutut sampai ujung jari kaki tiga kali. Setelahnya, dia mengambil air putih satu gelas dan membacakan do'a.

“Bacalah basmallah, sholawat nabi tiga kali, surat Al-Ikhlas,” ucap bidan itu sembari memberikan segelas air putih. "Minum," katanya.

Agung patuh dan minum air itu setelah membaca bacaan yang disuruh.

Lalu, bidan kembali memberikan segelas air yang sudah dibacakan do'a. "Cucilah mukamu dengan air ini!" pinta bidan itu kembali.

Agung pun juga melakukan dengan patuh.

"Lain kali, jangan pernah berkeliaran di sekitar sana, jaga diri dan hati-hati," kata bidan itu menepuk pundak Agung.

Minum obat ini, semoga lekas sembuh." Bidan itu memberikan obat yang dia resep sendiri.

Bang Irul mengantar Agung pulang ke rumah Nek Aisyah. Sementara Diro, Viko dan Saddam masih ditempat kerja, melanjutkan pekerjaan.

"Kenapa bisa luka? Kecelakaan ditempat kerja, Nak?" tanya Nek Raisyah melihat kaki Agung yang di balut dengan kain kasa putih, berjalan sedikit menginjit.

"Iya Nek, tadi sedikit lalai." Agung dan Bang Irul duduk di teras, teras Nek Raisyah memiliki tembok dinding yang sering digunakan untuk duduk.

"Sebentar ya, saya ambilkan minum dulu," kata Nek Raisyah.

"Eh, Jan lai Tek, awak maanta Agung sajo, awak nak baliak liak, ka tampaik karajo, ndak usah repot-repot lai — Jangan Tante, aku hanya mengantar Agung saja, saya harus segera balik ke tempat kerja, gak usah repot-repot," tolak Bang Irul.

"Ondeh, sekali-kali batamu Indak minum bagai — Jarang bertamu kesini, tidak minum."

"Indak Ba'a Tek, awak pai dulu. — Tidak apa-apa, Tante. Aku permisi dulu."

Bang Irul pun segera pergi, meninggalkan Agung dan Nek Raisyah berdua saja di rumah.

Meow ... meow ... Suara kucing Nenek terdengar, lalu dua kucing itu keluar dari semak-semak di dekat rumpun tebu. Agung mengelus tengkuknya, melihat celah kuburan di sana.

Kedua kucing itu bermanja-manja dan mengepakkan ekornya di kaki Nenek, kemudian salah satu diantaranya melompat ke pangkuan Agung.

Agung terkejut, namun dia luluh saat mengelus bulu lembut dan lebat milik kucing itu.

"Sepertinya Rina suka dengan Nak Agung, sangat jarang dia mau dipeluk dan di elus orang lain, kalau Roni baru mudah dekat dengan siapa saja, asal diberi makan," tutur Nenek.

"Panen kacang Nek?" tanya Agung saat melihat di sudut teras ada tumpukan kacang tanah bersama batangnya belum di pisah.

"Ah iya, nenek sampai lupa, nenek lagi rebus kacang, apa sudah kering ya airnya." Nenek buru-buru pergi ke dapur.

Selepas Nenek pergi, Rina dan Roni berdiri, bulu mereka berdua berdiri dengan telinga dan mata mereka siaga. Lalu bersuara seperti kucing jantan yang sedang bertarung, tapi kedua kucing itu tidak saling melihat, namun arah mata kedua kucing itu melihat ke samping kiri, lalu Rina melompat turun dari pangkuan Agung dan langsung berlari ke arah mereka melihat yang di susul juga oleh Roni.

Meow! Suara Roni dan Rina semakin nyaring mereka seolah menantang pohon mangga besar di sana. Agung melihat terus ke arah sana. "Ada apa ya? Apa kedua kucing itu melihat ular?" gumam Agung.

"Hallo, permisi." Agung terlonjak kaget mendengar suara seseorang yang menyapanya, karena dia terus fokus melihat kedua kucing peliharaan nenek terus mengeong keras ke arah batang mangga sana.

"Iya, hallo. Ada apa ya?" jawab Agung sambil mengelus dada. Tersenyum bersahabat pada tamu yang baru datang.

"Maaf, mengejutkan kamu. Apa kamu pemuda yang tadi terjatuh di parit?" Laki-laki itu bertanya sopan.

"Oh, iya. Silahkan duduk dulu."

"Iya, makasih. Tadi saya mendengar dari Bang Irul saat bertemu di persimpangan jalan. Oh ya, Tek Raisyah ada di rumah?" tanyanya lagi.

"Ada, Nenek ke dapur tadi, beliau sedang merebus kacang," jawab Agung.

"Oh, Tek Raisyah panen kacang ya."

"Iya. Maaf Bapak perlu bicara dengan Nek Raisyah, biar saya panggilkan dulu."

"Ah tidak. Saya memang ingin bicara dengan kamu." Laki-laki itu menjawab. "Oh tak perlu memanggil saya bapak, saya masih muda dan belum menikah, bisa memanggil Abang saja," lanjutnya.

"Oh, maaf bang. Iya, ada perlu apa bang?"

"Itu, kenapa bisa sampai jatuh di parit. Apa kamu melihat sesuatu? Atau ... tidak adakah para pekerja memberitahu sesuatu?" Laki-laki itu menatap Agung serius. "Eh iya, kita belum kenalan, nama aku Hendra Yuda, biasanya di panggil Hendra di sini." Laki-laki itu mengulurkan tangan.

"Saya Agung Sedayu, dipanggil Agung." Agung menyambut uluran tangan dan saling berjabat tangan.

"Jadi, saat kamu jatuh, apa yang kamu lihat?" Hendra bertanya kembali.

Bulu tangan Agung meremang, merinding. "Itu– sepertinya saya salah lihat Bang, jadi terjatuh."

"Salah lihat seperti apa? Apa kamu melihat perempuan menangis atau perempuan minta tolong?" tanya Hendra.

"Ah?" Agung menatap pria di depannya serius dan mengangguk.

"Astaga. Apa tak ada yang memberitahukan padamu, jangan berkeliaran di sekitar simpang itu, apalagi di sekitar parit yang terbengkalai itu, di jam rawan."

"Me-memangnya kenapa Bang?" Agung semakin merinding.

"Disana itu—"

"Eh, Nak Hendra, lamo ndak basobok, apo kaba? — Nak Hendra, lama tidak berjumpa, apa kabar?" sapa Nek Raisyah mengejutkan keduanya, sehingga Hendra menghentikan ucapannya.

"Alhamdulillah, sehat Tek."

"Alhamdulillah."

"Marilah, di kicok dulu abuih kacang ko ha, lamak sadang angek-angek ko. — Ayo dicicipi dulu, rebus kacang ini, mumpung lagi hangat," tawar Nek Raisyah.

Hendra, Agung dan Nek Raisyah mengobrol ringan sambil memakan kacang rebus di teras, obrolan Hendra tentang menanyakan kaki Agung yang luka tadi dan cerita yang hendak dia ceritakan terhenti, berganti menjadi obrolan santai. Agung lebih banyak tersenyum karena bahasa daerah Lagan terlalu daerah bagi dirinya yang biasa hidup di kota, bahasa daerah Minang yang sering ia dengar hanya bahasa Minang umum, jadi banyak yang tidak di pahami.

Tak lama, Saddam, Viko dan Diro pun juga pulang dan sampai di rumah Nek Raisyah. Mereka bertiga berselisih dengan Hendra dan saling melempar senyum di jalan.

"Gimana kakimu?" Viko langsung melihat ke arah kaki Agung, sementara yang lain melepas sepatu safety mereka.

"Ya gini lah, ada yang mau aku omongin sama kalian bertiga." Agung berbicara pelan sambil melihat ke dalam rumah, karena Nek Raisyah sudah masuk ke dalam, hanya dia sendiri yang duduk di teras saat ketiga temannya tadi sampai.

1
Ubii
Sebenarnya gadis di foto itu siapa ya? kok muncul terus/Speechless/
Ubii
rarww /Skull/
Ubii
merinding, gak bisa bayangin /Sweat/
Ubii
keren ceritanya, dari sekian banyak yang aku baca, ini sangat menarik /Angry/ aku tunggu kelanjutannya ya!
Rozh: Oke, terimakasih, semoga suka dan terhibur sampai cerita ini tamat 🌹
total 1 replies
Ubii
lagi tegang-tegangnya malah di bikin ngakak/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!