Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Arka mematikan mesin skuternya tepat di depan garasi rumah keluarga Wijaya. Malam sudah cukup larut, tapi lampu teras menyala terang, seakan menantikan kepulangan mereka. Laras turun lebih dulu, menggenggam kotak makanan kecil yang tadi sempat dibungkus dari warung ayam bakar. Wajahnya masih menyimpan sisa tawa dari makan malam yang sederhana namun hangat.
Namun, tawa itu menguap pelan saat suara hak sepatu terdengar dari arah pintu utama.
“Lho, Laras sudah pulang?” suara itu milik Tante Melati, diiringi senyum sinis di wajahnya yang berbalut makeup mahal. Wanita paruh baya itu berdiri bersama dua perempuan lain—Tante Mira dan Rasta.
Sepertinya Rasta mengadukan kejadian yang dilihatnya sore tadi.
Mereka bertiga memandangi Arka dari atas hingga bawah. Tatapan menilai, dan penuh cemooh.
“Wah, romantis sekali ya… dijemput pakai motor,” sindir Tante Mira sambil menahan tawa, matanya menatap helm Arka seperti benda asing.
“Bukan motor, Tante. Itu… skuter matic. Kendaraan sejuta umat,” Rasta menambahkan dengan nada geli. Entah sejak kapan dia juga menjadi kesal dengan Arka. “Cucunya Tuan Wijaya dijemput skuter. Aku bener-bener gak bisa bayanginnya.”
Tante Melati ikut menyambung, seolah santai. “Iya ya… lucu juga. Padahal kalau Kevin pasti bakal jemputnya pakai sedan. Tapi ya... mungkin beda zaman, beda gaya, ya?”
Laras menegang. Ia tak menanggapi.
Arka hanya tersenyum kecil, membuka helmnya tanpa komentar.
“Kami hanya makan di warung ayam bakar dekat alun-alun, Tante,” ucap Laras tenang, mencoba mengalihkan. “Sekalian beli buat mamah juga.”
“Oh? Makan di warung? Wah, luar biasa,” gumam Tante Mira, nada suaranya datar. “Mungkin, mulai saat ini keluarga Wijaya hanya akan jadi bahan tertawaan.”
Tante Melati menambahkan, kali ini dengan nada lebih menusuk tapi tetap tersenyum, “Sudah ada pilihan yang jelas, yang bisa bantu keluarga besar naik kelas. Tapi Ayah malah milih… yang bahkan gak jelas asal usulnya.”
Matanya melirik Arka dari ujung kepala sampai ujung sepatu, lalu kembali ke Laras dengan senyum manis yang memuakkan.
Kalimat-kalimat itu mengalir dari mulut bibi-bibinya seperti racun manis. Laras bisa merasakan wajahnya memanas, tapi ia tahu kalau membalas, justru akan memperburuk situasi.
Arka menunduk sopan, lalu berkata pelan, “Mohon maaf kalau penjemputan saya dirasa tidak pantas, Tante. Saya belum terbiasa dengan gaya hidup keluarga besar seperti ini. Dan juga... terima kasih, karena sudah repot-repot menyambut saya yang hanya pakai skuter matic ini. Saya sungguh merasa terhormat.”
Senyum kecil melengkung di wajahnya.
Laras meliriknya sekilas. Nada Arka terdengar rendah hati… tapi juga terasa seperti belati yang menusuk. Dingin.
Tante Melati menyipitkan mata. “Laras… kamu dengar sendiri kan, laki-laki ini pintar sekali berputar kata. Tapi... pintar bicara bukan berarti tahu tempat,” ucapnya dengan nada tinggi yang mulai meninggalkan kesan ramah.
Tante Mira mengangguk cepat, menyambar, “Zaman sekarang, banyak yang modal omongan doang. Gaya bicara kayak orang hebat… tapi kalau dicek rekeningnya, mungkin isinya cuma angin.”
Rasta terkekeh, menyilangkan tangan. “Atau jangan-jangan malah gak punya rekening?”
Laras hendak membuka mulut, tapi Arka lebih dulu menanggapi.
“Rekening saya memang nggak banyak isinya, Tante,” ujarnya tenang. “Tapi saya pastikan... saya tidak hidup dari uang orang tua. Tidak menumpang nama keluarga. Dan tidak berdiri dari warisan.”
Tante Mira mendengus. “Halah... pria miskin itu biasanya cuma bisa pamer idealisme. Tapi kalau diminta bukti, diam seribu bahasa. Buktikan saja, nanti juga ketahuan siapa kamu sebenarnya.”
Arka tersenyum, tetap tak tersinggung.
Tante Melati melangkah satu langkah ke depan, ekspresinya menegang, “Jangan terlalu percaya diri hanya karena bisa menjawab dengan kata-kata manis. Di rumah ini, yang dihormati itu bukan karena omongan tapi karena pembuktian nyata. Dan posisi itu... bisa hilang kapan saja kalau salah langkah.”
Arka menunduk sedikit, sopan.
“Itulah kenapa saya tidak pernah minta dihormati. Saya hanya belajar... siapa yang layak saya hormati.”
Untuk sesaat, rahang Tante Melati terlihat mengencang. Jemarinya mengepal halus di sisi tubuhnya. Ia membalikkan badan cepat, tanpa pamit.
Tante Mira menyusul, bergumam nyaris tak terdengar, “Cih, padahal kalau ayah tidak membuat keputusan aneh-aneh…kita bisa lebih mudah mengambil alih keluarga ini. ”
Rasta hanya menatap bingung ke arah keduanya, lalu menyusul pergi.
Arka lalu menoleh ke Laras.
“Ayo, kita masuk. Nanti ayamnya dingin.”
Laras diam-diam menahan senyum yang hampir keluar. Ia hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Arka masuk ke dalam rumah.
________
Begitu melewati pintu utama, suasana rumah terasa berbeda. Lebih tenang dan hening. Hanya terdengar detik jam dinding tua di ruang tengah. Laras berjalan pelan di belakang Arka, masih membawa kotak ayam bakar yang sudah mulai dingin.
Ia melirik Arka yang melipat helm dan meletakkannya hati-hati di atas rak sepatu dekat pintu. Tatapan matanya tenang, tapi Laras merasa… di balik ketenangan itu, ada bara yang sedang dikendalikan.
“Maaf,” ucap Laras pelan.
Arka menoleh. “Untuk apa?”
Laras menghela napas. “Untuk… keluargaku.”
Arka tersenyum lembut. “Keluargamu? Bukankah kamu juga kena semprot tadi? Kamu bahkan ditertawakan. Tapi kamu tetap tenang.”
Laras menunduk. “Aku sudah terbiasa…”
Kalimat itu keluar begitu saja. Dan Arka mematung sesaat. Tatapan matanya berubah.
“Terbiasa?” ulangnya pelan. Ada nada kemarahan yang samar.
Laras tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah tangga. “Terimakasih, untuk malam ini.” ucapnya malu-malu.
Arka tidak langsung beranjak. Ia menatap punggung Laras yang perlahan menghilang di balik tangga. Hening menyelimuti ruang tamu, namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang mendidih pelan.
Gadis itu bilang… sudah terbiasa.
Ia mengepalkan tangan di balik saku sweternya. Ada hal-hal yang belum bisa ia tunjukkan. Belum saatnya. Tapi malam ini… ia berjanji dalam hati, bahwa suatu saat nanti, tak akan ada satu pun yang berani menyakiti gadis itu lagi.
Sebelum masuk ke kamarnya sendiri, Laras melirik ke arah ujung koridor. Kamar orang tuanya masih terang, celah pintunya sedikit terbuka. Ia mendekat pelan sambil membawa kotak ayam bakar yang tadi belum sempat diberi.
Perlahan, ia mengetuk pintu. “Mah… aku boleh masuk?”
Terdengar suara lembut Bu Ratna dari dalam. “Masuk aja, Nak.”
Laras membuka pintu pelan. Di dalam, ibunya duduk di tepi ranjang sambil merapikan syal tipis. Wajahnya lelah, namun tetap lembut seperti biasanya.
“Kamu dari mana aja, Laras?” tanya Bu Ratna pelan. “Mamah sempat tunggu kamu makan malam.”
Laras merasa sedikit bersalah. Ia duduk di tepi ranjang, meletakkan kotak ayam di pangkuannya.
“Tadi habis makan di luar, Mah. Sama Arka.”
Ekspresi Bu Ratna langsung berubah. Dia terkejut mendengar jawaban Laras.
“Arka? Dia ngajak kamu makan?”
Laras mengangguk pelan. “Iya. Awalnya cuma iseng mampir, tapi… jadinya ngobrol lama.”
Bu Ratna menatap putrinya dalam-dalam. Lalu, untuk pertama kalinya, ia bertanya hal yang mungkin sudah dipendam sejak awal perjodohan.
“Dia… orang seperti apa, menurut kamu?”
Pertanyaan itu membuat Laras terdiam sejenak. Ia menunduk, mencoba merangkai jawaban.
“Aku belum tahu banyak, Mah. Tapi… dia sopan. Tenang. Dan… ada hal dalam dirinya yang kadang gak bisa aku pahami.”
Ia menghela napas, lalu menambahkan, “Tapi gak tau kenapa aku justru gak ngerasa takut."
Bu Ratna mengamati raut wajah anaknya. Perlahan, ia mengangguk kecil.
“Kalau kamu merasa dihargai, itu sudah cukup sebagai awal,” gumamnya. “Tapi tetap hati-hati ya, Nak. Mamah bukannya menuduh… cuma khawatir.”
“Aku ngerti, Mah. Aku juga masih hati-hati.”
Laras tersenyum menenangkan. Lalu, ia membuka sedikit kotak makanan di tangannya.
“Oh iya, aku bawain sesuatu, Mah” ucap Laras pelan sambil mengangkat kotak styrofoam kecil.
Bu Ratna mengernyit sedikit. “Itu… apa?”
“Ayam bakar dari warung kaki lima dekat alun-alun,” jawab Laras dengan senyum kecil. “Tadi makan di sana sama Arka. Aku pengen Mamah cobain.”
Seketika, Bu Ratna terdiam. Ia menatap kotak itu seolah belum pernah melihat benda seperti itu dibawa ke kamarnya.
“Warung?” tanyanya pelan, ragu. “Yang bener-bener... warung?”
Laras terkekeh kecil. “Iya, Mah. Bukan restoran. Tempatnya sederhana banget, tapi... Makanannya enak.”
Ia duduk di tepi ranjang dan membuka sedikit penutup kotak ayam itu, memperlihatkan isi yang sederhana, ayam bakar kecap yang sedikit gosong di tepiannya, nasi putih, dan sambal merah menyala di sudutnya.
“Aku tahu ini bukan jenis makanan yang biasa Mamah makan… tapi coba deh, sedikit aja. Aku pengen tahu pendapat Mamah.”
Bu Ratna memandangnya lama, lalu akhirnya mengambil potongan kecil ayam dan mencicipinya. Wajahnya sulit ditebak, antara bingung dan… terkejut?
“Bumbunya nempel... dan dagingnya empuk.”
Laras tersenyum. “Iya, kan?”
“Rasanya... seperti masakan rumah. Sederhana. Tapi... ada sesuatu yang beda,” gumam Bu Ratna.
Laras diam sejenak, lalu berkata lirih, “Kadang… yang sederhana justru bikin aku merasa lebih hidup."
Bu Ratna memandang putrinya lama. Kali ini, tanpa kata. Tapi Laras tahu… ibunya mengerti.