Impian memiliki rumah tangga harmonis ternyata harus berakhir di usia pernikahan yang ke 24 tahun. Handi sosok suami yang di harapkan bisa melindungi dan membahagiakannya, ternyata malah ikut menyakiti mental dan menghabiskan semua harta mereka sampai tak tersisa. Sampai pada akhirnya semua rahasia terungkap di hadapan keluarga besar ayah dan ibu Erina juga kedua anak mereka yang beranjak dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Enigma Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keyakinan
Pandangan aneh yang terlihat dari sorotan mata saudara sepupu membuatku merasa ada hal yang tidak biasa akan terjadi. Entah hanya perasaanku saja yang sedang sensitif karena biasanya mereka tidak pernah se aneh itu dalam menyikapi sesuatu.
"Erina adik ku..."kak Yuni sepupu dari pihak mamah menyapaku dengan suara lembut. "Besok udah mau jadi pengantin aja kamu dek. Rasanya baru kemarin kita main sepeda, main lompat karet, main petak umpet. Inget gak kita berdua ngumpet di kolong mobil om Yano yang lagi parkir di depan rumah" kenang kak Yuni
"Dan gak lama om Yano masuk ke mobil trus mobilnya jalan ya kak... Hahahaha.... Nasib baik gak jadi ayam geprek kalian berdua," sahut kak Lusi
Kami tertawa bersama. Malam ini setelah acara perkenalan dua keluarga kami berkumpul bersama keluarga besar dari pihak mamah. Banyak hal yang kami bahas. Dari membahas masa kecil kami sampai pengalaman mereka setelah berumah tangga. Sudah menjadi tradisi di keluarga besar kami, jika ada yang mau menikah sebelum waktu akad tiba kami berkumpul bersama untuk berbagi cerita dan nasehat sambil menyiapkan pernak pernik untuk acara besar esok hari.
"Kamu betul-betul serius dan udah siap dek? Kakak dengar cerita kamu kenal calon suamimu baru 4 bulan. Seyakin itu kamu? Nikah itu sekali seumur hidup loh..." pertanyaan kak Yuni membuatku terdiam.
"Iya dek. Coba di pertimbangkan betul betul. Masih ada waktu biar cuma beberapa jam. Belum telat buat ambil keputusan. Jangan tergesa gesa" saran kak Lusi
"Hei ! hei...! Ini ibu-ibu muda pada kenapa sih ya... Adiknya mau nikah malah di bikin ragu gitu. Di support dong. Kayak gak pernah ngalamin rasanya bingung mau nikah" dengan kompak kami menoleh ke arah pintu kamar. Suara berat mas Indra membuat kami terkejut.
Brukkkk...! Bantal kecil melayang ke arah mas Indra.
"Eitssss.... Gak kena" tangan mas Indra sigap menangkap lemparan bantal yang hampir mendarat di jidatnya sambil menjulurkan lidah
"Semprul lo! Gue kirain setan. Masuk kamar bukannya ketok pintu, main nyelonong aja itu muka" kak Lusi teriak kaget
"Tadinya mau gue lempar pake botol parfum. Tapi kok sayang aja gue sm botolnya. Mana parfum mahal. Rugi banget tu parfum kena badan lo" timpal kak Yuni
"Klu di lempar parfum jadi hak milik gue, apalagi di lempar duit segepok...bah...girang bener gue kak. Hehehehe..."
"Dih, rugi banget gue lempar duit segepok ke lo. Noh...minta sama Lusi kakak lo. Gue yakin dia juga ogah" cibir kak Yuni
"Lah, ngapain juga gue ngasih duit ke adik gw yang masih jomblo itu. Mending gue ngasih duit ke si Yudhi. Sudahlah merdu suaranya, ganteng, bisa dapet nomer wa nya sm dapet kedipan mata pula" kak Lusi mulai berhalu membayangkan sosok Yudhi, pemuda ganteng di perumahan sebelah
"Nambah gila gue ngumpul sama ibu-ibu muda ini" mas Indra menutup pintu kamar dan berjalan ke arah ranjang tidurku
"Erina dede aku... Dengerin kita ya, belum terlambat buat rubah putusan. Toh yang di undang cuma keluarga dekat. Gak ada alumni temen sekolah, kuliah sama temen kantor yang di undang. Jadi gak ada masalah kalau mau berubah rencana. Gak perlu malu" jelasnya sambil duduk di sebelahku
"Iya Na. Intinya ya, apapun putusan kamu tetap kita dukung"
"Walaupun nanti ada sesuatu setelahnya, kamu jangan malu cerita ke kita ya. Kita ada di balik layar. Kita akan terus pantau kamu ke depannya. Walaupun mungkin gak sering. Tapi kamu harus yakin sama diri sendiri. Oke?" kak Yuni memeluk ku
Saat ini memang dukungan orang terdekat yang ku butuhkan. Pikiran dan perasaanku yang bingung dan dilema membuatku tak dapat berfikir jernih. Terlebih aku sendiri tak mengerti kenapa aku memutuskan untuk menikah secepat ini. Kenapa aku seyakin itu berani menikah dengan Handi orang yang baru ku kenal 4 bulan yang lalu. Di mana Erina yang punya cita-cita menjadi sekretaris senior di perusahaan milik asing? Di mana Erina yang sudah punya jadwal perjalanan mau keliling Eropa bersama mamahnya? Di mana Erina yang mau melanjutkan kuliah S1 nya setelah tertunda karena tak ada biaya? Entahlah.. Mencoba mencari tahu itu semua. Tapi tak kunjung mendapat jawaban. Seperti putus asa, hanya bisa pasrah dengan keadaan.