"... selama aku masih berada didunia ini aku akan terus berusaha menjaga Luciana."
Perkataannya mengejutkanku. Selama dia masih berada didunia ini? Dia adalah seorang vampire yang hidup abadi, apakah itu berarti dia akan menjagaku selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Luciana
Sejak pagi aku berada disini, diruangan pasienku. Aku meminta izin Eve untuk tidak mengikuti pertemuan terakhir mengenai misi kemarin, aku butuh ketenangan.
Sekeras apapun aku berusaha berfikir bahwa nenek memang pantas mati, tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai manusia, dan kami juga harus melakukan apa yang harus kami lakukan. Semua ini sangat rumit, aku pusing jika terus memikirkannya.
Aku memang sangat senang dengan kehidupan baruku, tapi aku tidak mengharapkan semua ini terjadi. Aku menghela nafas berat sembari terus mencuci toples-toples yang sebenarnya tidak kotor. Aku harus tegar.
Kudengar suara pintu dibuka, aku menoleh dan ada Hugo diambang pintunya.
Kenapa dia kemari? Batinku. Apa pertemuannya sudah selesai?
Hugo berjalan mendekat ke arahku.
"Luciana"
"Ya, kau butuh sesuatu?", Jawabku mengalihkan pandanganku.
"Aku ingin meminta maaf soal kemarin",
Suaranya membuatku menoleh lagi, memandanginya. Matanya yang hitam legam bagaikan langit malam tanpa bintang seolah membuyarkan konsentrasiku.
Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya, tapi dari nada bicaranya terdengar bahwa dia benar-benar menyesal.
Tersenyum sesaat aku menjawab, "Kau sudah minta maaf waktu itu, lagipula kau hanya melakukan apa yang harus kau lakukan".
"Ya, tapi tidak seharusnya aku melakukannya dihadapanmu",
Nada bicara Hugo sedikit berubah. Terdengar tegas dan serius tidak menyebalkan seperti biasanya.
"Bukankah itu tujuan dari misi kita? membunuh dalang dibalik semua permasalahan ini", Aku memandangi kedua tanganku yang memegang sebuah toples dan sehelai kain.
"Bagaimana pun misi kemarin berjalan, dia akan tetap mati ditangan salah satu dari kita"
Sesaat hening, aku mendengar Hugo menghela nafasnya pelan, sangat pelan. Kulihat juga dirinya yang mengenakan jubah dan sebilah pedang tersampir pada pinggang kirinya.
"Kau akan kembali?",
"Ya, aku akan kembali. Bersama Eve"
Mengangguk sekilas, Hugo tersenyum padaku sebelum melangkah pergi. Tak kusangka ternyata dia bisa tersenyum tulus seperti itu.
Melanjutkan kembali pekerjaanku-yang sebenarnya tidak penting-aku mendengar pintu dibuka kembali.
Aku menoleh ke arah pintu, penasaran siapa lagi yang ingin berbasa-basi hanya untuk melihat keadaanku. Namun segera aku menyesali tindakan yang kulakukan.
Disana, berdiri seorang pria bermanik biru yang beberapa hari ini kuhindari. Stefan, dia berdiri mematung diambang pintu.
Aku berbalik melanjutkan kegiatanku, sembari terus menenangkan diri.
Dia berjalan mendekat.
Baiklah, tenangkan dirimu Luciana.
"Aku ingin meminta maaf.. "
Hari masih cukup pagi tapi sudah ada 2 orang pria yang minta maaf padaku. Yang satu meminta maaf karena sudah membunuh nenek angkat ku, dan satu lagi minta maaf karena telah menciumku.
"Tidak seharusnya aku melakukan .."
"Tidak apa, aku sudah memaafkan mu", buru-buru ku potong kalimat Stefan, aku tidak ingin mendengar dia membicarakan tentang kejadian itu lagi.
Kepalaku sudah cukup lelah, aku hanya ingin santai tidak memikirkan apapun.
Suasana mendadak hening, aku diam-diam mencoba melirik Stefan. Dia hanya berdiri mematung melihat ke arahku tanpa ekspresi sedikit pun diwajahnya.
"Bagus", jawabnya.
Aku tersenyum samar lalu berjalan ke arah rak meletakkan toples-toples yang telah kubersihkan.Aku memang tidak melihat,tapi aku yakin dia masih berdiri terdiam mengamati segala gerak-gerikku.
"Kamu sibuk?"
"Tidak, hanya menyibukkan diri", jawabku jujur.
"Apa yang Hugo katakan sebelumnya?"
"Dia hanya meminta maaf karena sudah membunuh nenek",
"Dia mengganggumu?"
Kini aku menoleh pada Stefan, sejak kapan dia jadi banyak bicara seperti ini? Aku mengerutkan keningku dan terus memandanginya, sedangkan dia mengangkat alisnya menungguku berbicara.
"Tidak", aku menjawab singkat.
"Kau harus berhati-hati padanya"
Aku hanya mengangguk menjawab perkataannya. Dia ada benarnya, sebaik apapun Hugo, aku harus tetap berhati-hati. Karena aku tidak akan pernah tau apa yang ada didalam hati seseorang, begitu pula apa yang ada didalam hati nenek,
Lihat, aku mengingatnya lagi.
Aku menggeleng cepat. Aku harus bisa melupakannya, jangan sampai kejadian ini mempengaruhi kehidupanku selanjutnya.
Sebenarnya aku sudah pernah memikirkan tentang hal ini. Sekarang aku adalah makhluk abadi, semakin lama aku hidup, pasti akan semakin banyak peristiwa terjadi dan tak bisa aku hindari. Akan semakin banyak orang datang dan pergi dalam kehidupan baruku, anggap saja nenek sebagai salah satunya. Aku harus siap melalui itu semua.
"Eve meminta kita semua untuk istirahat beberapa hari, kenapa kau masih bekerja seperti ini?" , Pertanyaan Stefan membuyarkan lamunanku.
"Karena Eve tau, jika aku hanya berdiam diri di kamar, aku akan semakin banyak pikiran"
Eve memang yang paling jarang berbincang denganku, tapi sepertinya dia yang paling mengerti perasaanku-mungkin karena kami sama-sama perempuan-karena itulah Eve membiarkanku menyibukkan diri disini.
"Dimana William?", giliran aku yang mencoba bertanya
"Dia berada diruang senjata, mungkin sedang memeriksa persediaan",
Pertanyaan bodoh Luciana, batinku.
Aku memejamkan mata seraya menghela nafas pelan, salah satu tindakan yang kulakukan untuk menenangkan diri.
"Sudah kuduga, kau tidak memaafkan ku",
Stefan mendekat, kini dia berada tepat disamping tempatku berdiri.
"Lalu menurutmu aku harus bagaimana?", Jawabku sediki kesal, "Kau berperilaku tidak sopan padaku, bagaimana aku tidak terkejut melakukan hal yang belum pernah kulakukan",
Seketika aku menyesali perkataanku, untuk apa aku mengatakan sebanyak ini. Hati-hati melihat Stefan, dan yang kudapati dia yang tersenyum ke arahku.
"Kau belum pernah?", Tanyanya
Aku memelototi Stefan tapi dia malah tertawa. Ya Stefan tertawa, tawa yang sangat merdu, tak kusangka dia bisa tertawa seperti itu.
Sedikit bingung, aku mengerutkan keningku melihat Stefan yang seperti ini. Mungkin menyadari tingkah ku, dia segera berhenti tertawa lalu berdeham.
"Maaf aku..",
"Sudah 2 kali", jawabku cepat.
"Iya, aku minta maaf karena telah mencium mu",
Astaga!
Aku memandangnya tak percaya, dia terus saja menyinggung masalah itu. Bukan bagaimana, tapi itu sangat membuatku canggung.
"Tapi kau bilang tak apa bukan? Apa aku boleh melakukannya lagi?"
"Tidak tanpa izin dariku"
Tunggu dulu, apa yang kukatakan?
"Bagus", Stefan berjalan pergi
"Stefan, bukan itu maksudku!"
Aku sedikit gelagapan, Stefan berniat bercanda tapi mengapa aku malah menanggapinya.
"Ya. Aku sangat paham maksud mu", dia menjawab sebelum benar-benar keluar dari ruangan ini.
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Kenapa aku bertingkah bodoh jika sedang bersamanya, dan lihatlah sekarang, dia pergi dengan pikiran bahwa aku mau jika dia melakukan itu lagi.
Sebenarnya bukannya tidak mau, tapi aku hanya sangat malu.
Aku duduk disalah satu kursi sembari memegangi dadaku, merasakan debaran yang sejak tadi tak ku hiraukan.
Tanpa sadar aku tersenyum.
Dia, Stefan mampu mengalihkan keterpurukan ku untuk sesaat
...~...