seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sementara cahaya rembulan hanya menembus samar sela dedaunan Hutan Erdu, Miya bergerak cepat dan ringan. Langkah-langkahnya hampir tak menimbulkan suara, seperti bayangan yang melayang di atas tanah. Di punggungnya, belati buatan Rynz terselip rapi. Ia tak membawa busur hari ini—perjalanan kali ini adalah berburu bahan, bukan bertarung.
Tatapannya tajam. Ia tahu tujuan utamanya: Elang Angin Timur. Burung langka bermata biru keperakan yang hanya muncul saat angin timur berembus kuat. Bulunya tajam seperti bilah, dan dikenal bisa membelah arus udara dengan sempurna.
Dari kejauhan, Chen Mo dan Zhou Lan mengikutinya. Mereka menahan aura masing-masing, berusaha tak menimbulkan suara. Zhou Lan berjalan setengah membungkuk, bergumam kecil.
"Dia cepat sekali... kalau bukan karena aku punya teknik pergerakan ringan, sudah kehilangan jejak."
Chen Mo menjawab lirih, "Ini bukan sekadar murid manis yang pemalu, ya? Lihat cara dia memeriksa jejak, menghindari ranting. Seolah dia tumbuh di hutan."
Zhou Lan menahan napas sejenak ketika Miya berhenti di balik semak-semak, lalu perlahan ikut bersembunyi. Di depan Miya, terbentang sebuah celah terbuka di antara pepohonan besar—tempat itu adalah tebing curam yang menghadap ke lembah kabut. Suara gemuruh angin terdengar jelas, dan dari ketinggian itu, beberapa siluet besar berputar-putar di langit.
"Elang Angin..." bisik Miya.
Chen Mo dan Zhou Lan memperhatikan dari kejauhan. Mereka mengenali makhluk itu—bulu perak kebiruan yang tajam dan sayap yang bisa memotong ranting pepohonan hanya dengan lewat. Tinggi badan mereka seperti manusia dewasa, dan tatapan mereka memancarkan kecerdasan.
Miya membuka gulungan kertas kecil dan mencoret sesuatu. Ia seolah sedang menghitung arah angin dan pola terbang.
Zhou Lan berbisik, "Dia sedang merencanakan penyergapan."
Chen Mo menatap penuh perhatian.
"Kalau dia nekat bertarung satu lawan satu dengan elang itu, dia bisa mati."
Saat itulah Miya bergerak. Ia melesat ke tepi batu besar dan mulai menyiapkan jebakan dari benang spiritual dan cairan perekat yang ia bawa dari sekte. Semua dilakukan cepat, terlatih, tanpa ragu.
Satu jam berlalu…
Tiba-tiba, seekor Elang Angin menukik, dan jebakan itu aktif—mengikat salah satu sayapnya. Burung itu meraung tajam dan menebas ke segala arah dengan bulu-bulunya, memecahkan udara. Miya segera melompat dengan kecepatan tinggi, meluncur sambil mengayunkan belati hitam Rynz, mengincar bagian leher burung itu.
Namun ia salah perhitungan. Salah satu sayap elang lolos dari jebakan dan mengayun ke arah Miya seperti tebasan pisau raksasa.
"Miya!" seru Chen Mo, tak tahan lagi hanya menonton.
Tubuh Miya terpental ke belakang, menghantam pohon besar. Napasnya tercekat, darah segar keluar dari sudut bibirnya.
Saat elang itu hendak kembali menyerang, Zhou Lan muncul dari samping dan menancapkan tombaknya tepat di bawah sayap. Chen Mo langsung muncul di sisi lain, membentuk penghalang spiritual.
Pertarungan cepat terjadi. Dalam waktu singkat, mereka bertiga berhasil menjatuhkan elang itu—tak membunuhnya, hanya melumpuhkan.
Miya berdiri perlahan, gemetar.
"Apa yang… kalian lakukan di sini…"
Chen Mo menatapnya dengan dingin. "Menyelamatkanmu."
Zhou Lan menyeringai. "Kau pikir bisa membuat senjata istimewa kalau kau mati di tengah jalan?"
Miya menunduk, menggigit bibirnya.
"...Maaf. Aku terlalu percaya diri."
Chen Mo mengangguk ke arah burung elang yang mulai melemah.
"Potong bagian bulunya sekarang. Kita tak bisa lama di sini. Bau darah ini akan menarik perhatian binatang lain."
Miya pun bangkit, dan bersama-sama mereka mengambil beberapa helai bulu tajam yang masih bersih. Tidak banyak, tapi cukup untuk satu busur dan selusin anak panah.
Chen Mo menatap bulu-bulu yang mereka kumpulkan—tajam, perak kebiruan, tapi jumlahnya hanya belasan helai. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mematahkan ranting di sampingnya dan berkata dengan nada kesal:
"Ini terlalu sedikit."
Zhou Lan yang sedang membungkus bahan dengan kain tipis menoleh.
"Setidaknya cukup untuk satu busur."
Namun Chen Mo menggeleng.
"Kalau kita memang serius mau buka toko, ini tak cukup. Kita butuh banyak stok. Rynz butuh bahan untuk mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Kau tahu palu gilanya itu—sedikit saja panas berlebih, bahan langka bisa jadi abu."
Miya yang baru saja duduk, membersihkan darah di pelipisnya, mengangguk pelan.
"Aku juga khawatir soal itu. Belati yang kubawa dulu dibuat dari bahan kasar, dan itu pun hampir meleleh katanya."
Chen Mo menatap tubuh elang yang mulai melemah.
"Aku bahkan ragu burung ini bisa bertahan setelah dibawa pulang. Lebih baik kita potong bagian pentingnya sekarang, simpan di dalam kotak pembeku roh. Setidaknya, ada cadangan bahan kalau satu set gagal ditempa."
Zhou Lan menghela napas.
"Aku tahu tempat lain. Tidak jauh dari sini, ada danau di antara tebing. Waktu dulu aku dan guru ikut ekspedisi, kami melihat Ikan Baja Sirip Angin di sana. Kulit dan sisiknya bisa dijadikan lapisan pelindung yang sangat kuat. Bisa dijadikan penguat untuk gagang atau anak panah."
Chen Mo menatapnya.
"Berapa jauh?"
"Sekitar setengah hari perjalanan. Tapi jalurnya menurun curam. Kita harus hati-hati."
Miya mengangkat kepala.
"Aku ikut."
Chen Mo menatapnya tajam.
"Kau baru saja hampir mati. Tetaplah di sini dan pulihkan diri."
Namun Miya menggeleng pelan.
"Aku yang memulai perjalanan ini. Aku akan menyelesaikannya."
Zhou Lan menyeringai, lalu menepuk bahunya ringan.
"Baiklah, nona kecil. Tapi tetap di tengah. Aku dan Chen Mo yang buka jalan."
Mereka bertiga pun bersiap kembali menelusuri jalur sempit, menuruni hutan menuju danau tersembunyi—tempat berburu bahan berikutnya, demi senjata yang belum pernah dibuat.
Di dalam aula batu giok Klan Huang, ketegangan terasa menggantung meski tak ada suara keras yang terdengar. Beberapa tetua telah berkumpul sejak mendengar laporan Putri Huang Yue tentang seseorang yang menyelamatkannya saat serangan di perbatasan. Sosok misterius yang menamakan dirinya Angin Hitam dari Lembah Angin.
“Lembah Angin...” gumam Tetua Huang Tai, mengelus jenggotnya yang mulai beruban. “Sekte kecil yang sudah lama tak menonjol. Bahkan catatan terakhir hanya menyebutkan satu guru tua dan beberapa murid tidak signifikan.”
Tetua lain, Huang Ren, menggeleng pelan. “Namun seseorang dengan kekuatan seperti itu tak bisa diabaikan begitu saja. Terlebih bila mampu menghentikan empat kultivator Hunter sendirian, dan hanya dengan sebuah palu…”
“Bisa jadi itu senjata roh,” sahut yang lain. “Atau lebih buruk, warisan iblis.”
“Jika benar ada kekuatan yang tak terdaftar tumbuh diam-diam di sana, maka itu ancaman,” tegas Huang Tai. “Bisa untuk kita rekrut… atau kita hancurkan.”
Maka keputusan pun dibuat tanpa banyak keributan.
Dua mata-mata berpakaian kelabu, dikenal sebagai Bayangan Merah, segera dikirim malam itu juga. Tugas mereka sederhana:
Mengamati Lembah Angin, mengumpulkan informasi tentang pemimpinnya, kekuatan para muridnya, dan terutama—sosok yang menyebut dirinya Angin Hitam.
Tanpa suara, dua sosok itu meninggalkan gerbang utama klan dengan kuda roh berselimut kabut. Mereka akan menempuh perjalanan cepat dan sunyi, menghindari perhatian dan menyusup ke wilayah pegunungan tempat Lembah Angin berdiri.
Di balik kemegahan Klan Huang yang tampak tenang, benih ketegangan mulai tumbuh.
Karena dunia tidak akan diam saat sesuatu yang tak dikenal menunjukkan kekuatan.
Langit Lembah Angin sedang mendung saat ketiga murid—Chen Mo, Zhou Lan, dan Miya—kembali menuruni jalan setapak yang menuju ke halaman depan bengkel. Tubuh mereka lusuh, pakaian penuh noda lumpur, dan aroma hutan masih melekat kuat. Namun tatapan mereka penuh kepuasan.
Rynz yang sedang merapikan beberapa lembar sketsa desain senjata, segera berdiri dari bangku panjang di bawah atap bambu.
“Kalian kembali juga. Apa saja yang kalian bawa?” tanyanya tanpa basa-basi, sambil menyipitkan mata menatap karung besar yang dipanggul Zhou Lan.
Chen Mo menurunkannya dengan suara gedebuk dan mulai membuka gulungan kain penutupnya. “Kami tak main-main.”
Zhou Lan menjawab sambil tersenyum bangga, “Yang pertama—bulu Elang Angin Timur, delapan helai dalam kondisi utuh. Masih cukup tajam untuk memotong baja tipis.”
Miya mengeluarkan satu helai dan menyerahkannya pada Rynz. Bulu itu berkilau perak kebiruan, namun terasa dingin dan kaku saat disentuh, hampir seperti logam.
“Bagus untuk anak panah,” gumam Rynz sambil mengangguk pelan.
Chen Mo melanjutkan, “Lalu ini—sisik Ikan Baja Sirip Angin. Kami hanya berhasil mengumpulkan dua puluh empat lembar, tapi ukurannya cukup besar dan keras. Cocok untuk bagian luar armor.”
Zhou Lan menambahkan, “Dan... ada juga intinya, satu buah. Energinya tidak sekuat monster darat, tapi cukup stabil untuk digunakan dalam pelapisan senjata atau aksesori pendukung.”
Miya membuka kantong kecil lainnya. “Kami juga membawa beberapa rumput spiritual dari tepi danau. Katanya bisa digunakan untuk melindungi bahan dari panas berlebih.”
Rynz mendekat, matanya menyapu seluruh bahan yang mereka bentangkan di atas meja kayu panjang. Sesekali ia menyentuh, mengamati, atau menggigit pelan ujung sisik untuk menguji ketahanannya.
“Kalau aku kombinasikan bulu elang dan sisik baja ini... mungkin aku bisa membuat busur ringan tapi kuat. Dan dengan rumput pelindung ini, aku bisa mencoba lagi menaklukkan api hitam tanpa membakar semuanya menjadi abu,” gumamnya.
Zhou Lan menyeringai. “Kami harap begitu, Rynz. Kalau gagal, jangan salahkan kami ya, kami sudah hampir mati untuk membawa bahan ini.”
Chen Mo menepuk bahunya. “Kau tahu kan apa artinya ini? Kita bukan hanya bikin senjata... Kita mulai membangun nama.”
Rynz tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil menatap api tungku yang sudah mulai menyala pelan di sudut bengkel.
Dalam pikirannya, dia sudah mulai merancang.
Busur Miya. Armor Chen Mo. Tombak baru untuk Zhou Lan.
Dan mungkin... sesuatu yang lain.
Namun di luar sana, dua mata-mata Klan Huang mulai memasuki pegunungan. Dan Lembah Angin, yang selama ini sunyi, akan segera jadi pusat perhatian.