"Rachel dijodohkan demi mahar, lalu dibuang karena dianggap mandul. Tapi pelariannya justru membawanya pada Andrean Alexander—seorang CEO dingin yang tanpa sadar menanam benih cinta… dan anak dalam rahimnya. Saat rahasia masa lalu terbongkar, Rachel menyadari bahwa dirinya bukan anak kandung dari keluarga yang telah membesarkan nya.
Bagaimana kelanjutan kisah nya.
Mari baca!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I.U Toon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pemeriksaan kesehatan
BAB. 15
Keesokan harinya, Rachel mendapat surat edaran mengenai medical check-up wajib untuk semua karyawan. Tangannya gemetar saat membaca jadwalnya. Hari itu juga ia mencari alasan untuk tidak ikut, tapi semua atasan mengatakan bahwa ini wajib dan sudah ditandatangani langsung oleh CEO.
Rachel mulai panik. Ia tak bisa membiarkan ini terjadi. Ia tak bisa membiarkan semua tahu bahwa dirinya sedang mengandung… Terutama Andrean.
Rachel menunduk. Matanya menerawang kosong ke lantai klinik perusahaan yang dipenuhi aroma alkohol dan bau obat-obatan. Kata-kata Mina bergema di kepalanya: “Kamu sedang hamil lima minggu... anak kembar.”
Hatinya berdegup kencang. Ia merasa seperti tenggelam dalam kenyataan yang tak pernah ia duga.
“Aku benar-benar hamil… dan bukan cuma satu, tapi kembar?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Mina mengangguk pelan, ikut merasakan kegundahan Rachel. Ia menyentuh tangan sahabat lamanya itu dengan lembut.
"Aku tahu ini mengejutkan, tapi kamu harus kuat, Rachel. Ini bukan aib, ini anugerah," ucap Mina, lirih tapi mantap.
Rachel menelan ludah. "Tapi... aku belum tahu harus bagaimana. Andrean belum tahu. Aku bahkan belum yakin apakah dia benar-benar peduli..."
Belum sempat Mina menjawab, pintu ruangan mereka diketuk keras. Suara ketukan itu seperti dentuman petir di tengah ketegangan yang membekap suasana.
“Rachel! Kamu belum selesai juga?” Terdengar suara Intan di balik pintu. “Cepatlah, banyak yang masih antre!”
Rachel menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia berdiri, lalu menatap Mina dengan sorot mata penuh campuran rasa takut dan bingung.
“Aku gak bisa biarin mereka tahu dulu. Terutama Intan. Kamu tahu sendiri siapa dia…”
Mina mengangguk paham. “Tenang. Data kamu aman bersamaku. Tapi cepatlah pikirkan apa yang mau kamu lakukan.”
Rachel membuka pintu, dan seperti dugaan, Intan berdiri di sana dengan tangan menyilang dan senyum mengejek di wajahnya.
“Lama banget, kayaknya hasilnya berat, ya?” sindir Intan.
Rachel hanya tersenyum kecil. “Gak semua hal harus kamu tahu, Intan. Lagipula, bukankah kamu yang bilang ‘kita semua rekan kerja’? Jadi sebaiknya jaga sikap.”
Intan menatap Rachel sejenak, bibirnya mengerucut, lalu berjalan masuk dengan malas. “Apa pun hasil mu, semoga gak bikin malu perusahaan,” katanya sinis.
Rachel berjalan meninggalkan ruangan itu dengan dada sesak. Langkahnya terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih berat.
Saat ia melewati lorong perusahaan, pikirannya melayang ke Andrean. Pria itu selalu tampak tenang, dingin, dan penuh rahasia. Tapi Rachel tahu, di balik sikap kerasnya, Andrean pernah menunjukkan kelembutan yang hanya ditujukan untuknya.
Ia teringat malam itu—malam yang mengubah segalanya. Malam ketika semua batasan runtuh dan yang tersisa hanyalah perasaan yang tak sempat terucap.
“Kalau ini memang anaknya…” gumam Rachel, menggenggam perutnya yang masih datar. “Apa dia akan menerimanya?”
...*******...
Di ruang kerjanya yang megah di lantai atas, Andrean Alexander menatap layar monitornya, tapi pikirannya jauh melayang.
Ia menatap sebuah foto kecil yang terselip di sudut meja—foto dirinya saat masih anak-anak, berdiri di samping seorang gadis kecil yang memiliki tanda lahir di lengan kirinya. Sama persis seperti milik Rachel.
“Hati ini… selalu tertarik padamu sejak pertama kali aku melihatmu lagi,” gumam Andrean, menyentuh pelan ujung fotonya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya mengerutkan kening—Rizka.
"Sudah dapat hasilnya?" tanya Andrean cepat saat mengangkat telepon.
"Belum sepenuhnya, tapi ada petunjuk kuat. Kita bisa pastikan dalam dua atau tiga hari lagi," jawab Rizka di seberang.
Andrean mengangguk, walau Rizka tak bisa melihatnya. “Baik. Tapi aku perlu tahu satu hal sebelum itu—Rachel… hamil atau tidak?”
Rizka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Menurut info dari klinik tempat kalian adakan pemeriksaan, ada satu nama yang hasilnya belum bisa dibuka sembarangan. Dokter yang menangani juga menolak berbagi karena alasan privasi.”
Andrean mengernyit. “Itu pasti Rachel.”
“Sepertinya begitu,” sahut Rizka.
Andrean mematung. Napasnya tertahan.
“Kalau benar dia hamil… dan jika benar itu anakku…” gumamnya pelan, “…aku tidak akan melepaskannya. Tidak lagi.”