Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Setelah keluar dari pesta, mobil hitam mewah melaju tenang di tengah gemerlap lampu kota. Di dalamnya, Thalita duduk bersandar manja di samping Shaka, tangannya menggenggam lengan pria itu erat.
“Kenapa kamu nggak izinkan aku ikut ke rumah Oma? Sudah lama aku nggak ketemu beliau juga,” ucap Thalita dengan nada merajuk, mencoba terdengar tenang, meski jelas ada nada kecewa di sana.
Shaka tetap fokus menyetir, pandangannya lurus menatap jalanan, tapi ekspresinya tak bisa menyembunyikan ketegasan.
“Bukan malam ini, Thalita. Oma sedang ingin waktu tenang. Aku nggak mau menambah beban pikirannya.”
Thalita membuang napas pelan, menahan diri untuk tidak membantah. Ia tahu, meskipun dirinya adalah tunangan resmi Shaka di mata publik, namun hubungan mereka tidak sedekat yang orang lain bayangkan. Dan satu hal yang selalu membuatnya terusik—Oma Margareth tak pernah benar-benar menerima kehadirannya.
Mobil berhenti di depan apartemen mewah tempat tinggal Thalita. Dengan enggan, ia melepaskan genggamannya dan menoleh pada Shaka.
“Kamu janji, besok kita dinner bareng, ya?” katanya dengan senyum manis yang dipaksakan.
Shaka hanya mengangguk singkat. “Aku kabari.”
Setelah Thalita masuk ke dalam lobi, Shaka kembali memutar kemudi dan melajukan mobilnya ke arah mansion Darmawan. Di tengah sunyinya malam, pikirannya mulai melayang pada panggilan Oma…
Mobil berbelok pasti ke jalanan berbatu yang mengarah langsung ke depan gerbang tinggi bercorak klasik milik mansion Darmawan. Lampu-lampu taman menyala temaram, memantulkan sinar ke tubuh mobil hitam mengkilap yang perlahan melambat. Penjaga yang mengenakan seragam rapi segera membuka gerbang besi hitam yang megah itu.
Begitu mobil berhenti tepat di depan pintu utama mansion, dua pelayan berdiri sigap di sisi kiri dan kanan. Salah satunya segera membukakan pintu dengan sopan.
“Selamat malam, Tuan Shaka,” ucap pelayan itu dengan kepala sedikit menunduk.
Shaka keluar dari mobil dengan langkah tenang, tubuh tingginya tegap, wajahnya datar seperti biasa. Jasnya masih rapi meski baru pulang dari pesta. Matanya menyapu sekeliling halaman depan rumah yang selalu terlihat terawat sempurna—rumah masa kecilnya, yang kini hanya dihuni oleh satu-satunya wanita yang paling ia hormati: Oma Margaret.
Langkah-langkahnya bergema pelan di lantai marmer saat ia masuk. Udara di dalam mansion terasa hangat, aroma teh dan kayu manis samar-samar tercium.
Di ruang tamu, duduklah Oma Margaret di atas sofa empuk berwarna krem, mengenakan cardigan lembut dengan rambut perak yang disanggul rapi. Secangkir teh hangat berada di tangannya, dan senyum hangat langsung mengembang begitu melihat cucunya.
"Shaka, akhirnya kamu pulang juga," ucap Oma Margaret dengan suara penuh haru.
Shaka tersenyum tipis, langka sekali ia melakukannya di hadapan orang lain. Ia langsung berjalan menghampiri sang nenek dan mencium punggung tangannya dengan hormat. “Maaf, Oma. Aku terlalu lama tenggelam di pekerjaan.”
Nenek menggeleng pelan. “Yang penting malam ini kamu pulang. Oma kangen, Nak. Rumah ini terlalu sunyi tanpa kehadiranmu.”
Shaka duduk di samping neneknya, dan untuk sejenak, ia merasa seperti anak kecil lagi.
“ Oma ,kenapa jam segini belum tidur? Oma harus jaga kesehatan lo….shaka gak mau Oma sakit.” Ditempat ini Shaka, bisa sedikit menanggalkan topeng dinginnya.
Oma Margaret meletakkan cangkir tehnya ke meja kecil di hadapannya, lalu menatap cucunya yang duduk tegak di sebelahnya. Sorot mata wanita tua itu lembut namun penuh makna, seakan menyimpan sesuatu yang telah lama ia pendam.
"Shaka..." ucapnya pelan.
"Hmm?" sahut Shaka dengan suara rendah, pandangannya menatap api di perapian yang menyala tenang di seberang ruangan.
“Oma menyuruhmu datang ke sini bukan sekadar karena Oma kangen.” Suara Oma terdengar pelan namun mantap, menggugah atensi Shaka seketika. Ia menoleh.
“Ada hal yang ingin Oma beritahu,” lanjutnya, “Sekarang Oma tidak benar-benar sendiri lagi di rumah ini.”
Shaka mengernyit pelan, “Maksud Oma?”
“Oma sudah punya pengasuh. Seseorang yang bisa menemani Oma kapanpun dibutuhkan. Setidaknya, membuat hari-hari Oma tak lagi terasa kosong seperti dulu.”
Shaka terdiam. Matanya kembali ke arah teh yang mengepul, sementara pikirannya mulai mencerna maksud perkataan itu.
“Sejak kedua orang tuamu meninggal karena kecelakaan itu, Oma terus sendiri. Rumah ini… terlalu besar untuk ditempati seorang diri. Dan kamu, Nak… terlalu sibuk dengan urusan perusahaan. Bahkan saat Oma jatuh sakit, kamu lebih sering mengutus sekretaris atau dokter pribadi, daripada datang sendiri.”
Nada suara Oma bukan menyalahkan, namun penuh luka dan kesepian yang lama terpendam. Shaka mengepalkan tangannya pelan. Semua kata itu benar adanya. Ia tahu, dan itu membuat dadanya terasa berat.
“Maaf, Oma…” gumamnya pelan, namun tulus.
Oma Margaret mengelus lembut tangan Shaka. “Kamu tak perlu minta maaf, Nak. Oma tahu bebanmu besar. Tapi Oma juga punya hak untuk merasa ditemani. Dan pengasuh Oma ini… dia sangat baik. Sopan, perhatian, dan cepat tanggap.”
Shaka menatap wajah Oma sejenak. “Siapa dia?”
Sebelum Oma sempat menjawab, suara langkah kaki pelan terdengar dari arah lorong. Shaka menoleh secara refleks—dan matanya membulat sedikit saat melihat siapa yang muncul dari balik dinding itu.
Maura.
Dengan setelan sederhana dan rambut yang dikepang longgar ke samping, Maura berdiri canggung. Sorot matanya terkejut—sama seperti mimik Shaka.
Begitu mata mereka saling bertemu, Maura seakan disambar petir. Matanya membelalak, langkahnya terhenti mendadak, dan jantungnya seolah jatuh ke dasar perut.
“PRIA MESUM!!!”
Suasana di ruang tamu berubah kacau. Setelah teriakan “Pria mesum!” dari Maura menggema, semua orang terdiam dalam ketegangan. Tapi Shaka tak tinggal diam. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tapi karena reputasinya diinjak-injak di depan neneknya sendiri.
Maura sudah berbalik, hendak kabur melewati lorong belakang rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika suara berat Shaka menyusul dari belakang.
“BERHENTI, MAURA!”
Gadis itu menoleh sekilas, wajahnya tegang penuh ketakutan. Tapi bukannya berhenti, ia malah berlari lebih cepat.
Dan tanpa pikir panjang, Shaka mengejarnya.
“Aku bilang berhenti!!” serunya lagi sambil menyusul dengan langkah panjang.
Lorong panjang rumah Oma Margaret berubah jadi arena kejar-kejaran tak terduga. Karpet mahal yang membentang nyaris tergulung ketika Maura nyaris tersandung kaki kursi. Sementara itu, Shaka yang biasanya kalem, dingin, dan penuh kontrol—kini seperti berubah jadi orang lain. Nafasnya memburu, wajahnya panas, dan matanya membara oleh keinginan untuk menjelaskan, atau membungkam gadis itu—ia pun belum tahu pasti.
“Dasar pria gila! Jangan dekati aku!!” jerit Maura sambil menoleh ke belakang.
“Mulutmu itu yang gila! Berhenti dulu dan dengerin penjelasanku!!” balas Shaka sengit.
Oma Margaret berdiri terpaku di ruang tamu, teh di tangannya nyaris tumpah. Matanya membulat tak percaya melihat cucunya yang selalu tenang dan dingin itu kini berlari—memburu seorang gadis sambil berteriak-teriak.
“Shaka…?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya. “Itu kamu?”
Beberapa pelayan ikut membelalak, tak berani bergerak. Shaka Prawira yang biasanya dingin, tak pernah tersulut emosi, kini berubah menjadi pria yang... terlihat nyaris putus kendali.
“Ini bukan Shaka yang biasanya…” salah satu pelayan berbisik dengan nada panik.
Di ujung lorong, Maura hampir sampai ke tangga menuju lantai atas, tapi Shaka lebih gesit. Dalam satu lompatan panjang, ia berhasil menangkap pergelangan tangan Maura.
“Lepasin aku! Dasar… dasar—!”maura memukulkan nampan kosong ke arah tubuh Shaka.
“Cukup, Maura!” desis Shaka tajam, tapi kini ada nada lelah dalam suaranya. “Diam dulu... aku cuma mau bicara…”
Maura mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Shaka terlalu kuat. Mereka terdiam beberapa detik, sama-sama terengah, mata saling menatap—penuh luka, marah, dan kebingungan.
Dari kejauhan, Oma Margaret menatap keduanya, bingung harus bereaksi seperti apa. Yang pasti, ada sesuatu yang lebih dari sekadar salah paham antara cucunya dan gadis pengasuh barunya ini.
Dengan kesal namun tak kehilangan wibawanya, Shaka menarik ujung kerah baju Maura seperti seorang kakak yang menyeret adik kecil yang keras kepala. Gerakannya tegas, tapi tidak kasar—lebih kepada menegur, menunjukkan bahwa kesabarannya hampir habis. Maura menggerutu pelan, tapi tak bisa melawan. Tenaga mereka jelas tak seimbang, dan ia sadar, melawan hanya akan membuat dirinya terlihat semakin kekanak-kanakan.
“Awas aja kalau kamu tarik aku kayak karung lagi,” gumam Maura pelan, tapi cukup untuk didengar Shaka.
“Kalau kamu gak teriak ‘mesum’ sembarangan, aku juga gak akan begini,” balas Shaka tanpa menoleh, nada suaranya dingin dan tegas.
Mereka akhirnya sampai di ruang tamu, di mana Oma Margaret masih duduk dengan ekspresi bingung namun penuh perhatian. Teh di tangannya kini sudah dingin, tapi matanya tetap hangat menatap cucunya dan gadis yang baru dikenalnya.
Shaka menjatuhkan diri ke sofa dengan suara berat. Ia membuka kancing jasnya, melepaskannya perlahan dan meletakkannya di samping. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, nafasnya masih agak berat akibat kejar-kejaran yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lakukan hari ini—apalagi dengan seorang gadis yang bahkan belum dikenalnya secara dekat.
Di sisi lain, Maura duduk dengan tangan terlipat di dada, cemberut dan tak mau menoleh sedikitpun ke arah Shaka. Bibirnya mengerucut, dan sorot matanya masih menyimpan bara kesal. Ia merasa direndahkan, tapi juga sedikit malu karena telah menuduh tanpa memastikan dulu.
Suasana jadi hening untuk beberapa detik.
Oma Margaret akhirnya menghela nafas panjang. “Sepertinya kalian berdua perlu duduk dan bicara baik-baik. Ini rumah Oma, bukan arena gulat,” ujarnya lembut namun penuh wibawa.
Maura menunduk pelan, sementara Shaka memijat pelipisnya, mencoba mengembalikan ketenangan dirinya.
“Jelaskan dari awal, Maura,” kata Oma, menatap gadis itu dengan lembut. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan tadi?”
Maura melirik ke arah Shaka yang menatapnya tajam dari samping, lalu kembali menunduk, merasa seperti anak kecil yang ketahuan mencoret-coret dinding rumah.
“Aku... nggak tahu kalau dia cucu Oma...” gumamnya pelan. “Kupikir dia cowok yang suka cium sana sini kalau melihat cewek cantik.”ucap maura menyindir Shaka.
Shaka menatapnya tajam. “Aku bukan pria seperti itu ..”.
“Ya mana aku tahu! Aku bukan cenayang!” balas Maura spontan.
“Cukup,” ujar Oma, menahan senyum. “Sekarang kalian sudah saling tahu. Shaka, ini Maura, pengasuh Oma. Maura, ini Shaka, cucu Oma satu-satunya.”
Oma Margaret tersenyum lebar, matanya bersinar haru, lalu tawa kecil pun pecah dari bibirnya. Tawa yang jernih, tulus, dan penuh rasa syukur.
“Ya Tuhan… baru pertama kalinya Oma melihat kamu seperti ini lagi, Shaka,” ucapnya sambil menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca. “Sejak Papa dan Mamamu meninggal, kamu selalu dingin, terlalu serius, terlalu… kaku. Tapi hari ini, kamu berlarian seperti anak remaja yang dikerjain cinta pertama.”
Shaka mengerjapkan mata, lalu membuang pandang ke arah lain, menyembunyikan rona merah tipis yang muncul di pipinya. “Oma lebay,” gumamnya pelan.
Maura melirik Oma dengan heran, tapi ikut tersenyum kecil, tak menyangka pria yang dituduh “mesum” tadi sebenarnya punya sisi lain yang jauh dari kata dingin.
Oma mengangguk pelan, masih tersenyum. “Kalau begini terus, Oma yakin rumah ini bakal penuh tawa lagi.”
Shaka hanya mendengus pelan, sementara Maura tetap cemberut, tapi dalam hati ia merasa sedikit hangat—suasana ini, tawa hangat dari seorang nenek, dan kehadiran seorang pria yang walau menyebalkan, ternyata tak semengerikan kelihatannya.
Dan di tengah keheningan itu, seolah tanpa disadari, sesuatu telah berubah. Titik balik hubungan yang entah akan jadi seperti apa. Tapi satu hal pasti—rumah ini tak lagi sepi .