NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam

Pagi di Dusun Koto Lamo tidak seperti pagi kota. Tak ada suara kendaraan, hanya lenguhan kerbau, langkah orang menimba air, dan suara ayam yang terdengar seperti konser tak beraturan. Matahari baru setinggi daun pisang, tapi hawa lembab dari tanah masih belum hilang sejak semalam.

Di dalam rumah kayu tua warisan orang tuanya, Reno terbangun dengan kepala berat dan napas masih tak teratur. Malam itu masih membekas jelas di benaknya. Sosok kepala melayang, rambut panjang, usus yang bergelantungan—semuanya seperti potongan mimpi buruk yang tak mau pergi.

Reno meneguk air putih dari botol di sebelah kasur. Tangan kirinya gemetar. Tapi ia mencoba bersikap biasa. Ia tak mau terlihat lemah oleh dirinya sendiri.

"Mungkin itu cuma halusinasi karena kecapekan," gumamnya, meski suara dalam hatinya berkata lain.

Tiba-tiba, dari luar jendela terdengar suara orang bernyanyi...

"Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak! Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak!"

Reno mengerutkan dahi.

"Kalau kau suka hati... mari kita ke warung, beli kopi sama donat, biar hidup tak murung!"

"Apaan sih..." Reno berjalan ke jendela, mengintip keluar.

Tampak seorang pria dengan topi koboi mainan, kaos kuning ngejreng bertuliskan "Anti Miskin Club", dan celana sobek-sobek sampai lutut, berdiri sambil membawa kantong plastik besar. Ia menatap rumah Reno, lalu tiba-tiba berseru:

"WOY! RENOOO!! HIDUP LAGI KAU YA, HAAAH?!"

Reno tertegun.

"...Ajo?"

"SIAPAAA LAGI KALAU BUKAN AKUUU! HAHAHAHA!"

Pria itu adalah Ajo Randi, teman masa kecil Reno. Kalau Reno dulu dikenal pendiam dan kutu buku, Ajo adalah kebalikannya. Gokil, suka ngelawak, dan seolah tak pernah kenal malu. Mereka sempat sangat akrab sebelum Reno pindah ke kota setelah SMP. Ajo tetap di dusun, mengurus warung kelontong warisan orang tuanya.

Reno membuka pintu dan berdiri di tangga.

"Astaga, Ajo. Kau masih hidup rupanya."

"Loh, kok nanya gitu? Memangnya aku hantu? Ihh... serem ah!"

"Ya, siapa tahu. Di sini, hantu kan bisa nyanyi juga." Reno setengah bercanda, setengah serius.

Ajo naik ke tangga, lalu menepuk pundak Reno.

"Kau ni ya, udah lama nggak pulang, langsung muka muram gitu. Kayak orang baru nyium bangkai!"

"Lebih parah, mungkin," gumam Reno, tapi tak ingin menjelaskan lebih jauh. Ia belum yakin cerita tentang kepala melayang itu bisa diceritakan tanpa terdengar gila.

"Masuklah. Kita ngopi dulu," ajak Reno.

"Wah, nggak bisa. Kopinya aku yang bawa nih, satu plastik. Tapi air panasnya minta ya."

Reno tertawa kecil. Meski duniannya semalam seolah berantakan, kehadiran Ajo memberikan sedikit cahaya di sudut pikiran gelapnya.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk di beranda rumah dengan dua gelas kopi tubruk dan sepiring kerupuk kulit.

"Dusun ini masih aja begini ya. Bau tanah, suara jangkrik, dan... ya, serasa nggak ada yang berubah," kata Reno.

"Eh, jangan salah. Sekarang sinyal udah 4G loh. Kadang kalau angin dari selatan, malah bisa 5G, tapi harus berdiri di atas genteng sambil megang panci."

Reno nyengir.

"Kau tetap nggak berubah ya, Jo."

"Lah, kalau berubah nanti malah jadi buaya. Janganlah. Cukuplah buaya itu di kota aja."

Obrolan mereka berlanjut ringan. Tentang masa kecil, tentang orang tua mereka, dan kabar-kabar warga dusun. Tapi perlahan, arah pembicaraan mengarah ke hal-hal yang lebih gelap.

"Eh, Ren," kata Ajo tiba-tiba, "Semalam kau tidur nyenyak?"

Reno menoleh pelan.

"Nggak juga. Kenapa?"

"Soalnya semalam... aku juga nggak bisa tidur. Ada yang aneh."

"Aneh gimana?"

Ajo menatap kosong ke arah kebun belakang.

"Anjing-anjing menggonggong nggak berhenti. Terus... aku lihat bayangan terbang di atas rumah Pak Anto."

"Kepala...?" Reno langsung refleks.

Ajo menatap Reno dengan cepat. Keduanya diam.

"Kau juga liat?" tanya Ajo setengah berbisik.

Reno mengangguk pelan.

"Tapi aku nggak yakin. Mungkin cuma lelah, mataku kabur."

Ajo mengambil napas panjang.

"Reno... aku nggak tahu kau masih percaya sama hal-hal kayak begini. Tapi di dusun ini, orang-orang tua bilang... 'kalau malam sunyi dan anjing menggonggong panjang, jangan keluar rumah. Bisa-bisa pulang tinggal kepala.'"

Suasana mendadak sunyi. Angin lewat, membuat suara dedaunan berbisik.

"Kau tahu Palasik, kan?" tanya Ajo lagi.

Reno mengangguk. "Dulu cuma cerita nenek. Buat nakut-nakutin anak-anak."

"Iya, tapi beberapa tahun belakangan... banyak kejadian aneh. Ibu hamil keguguran, bayi lahir prematur dan meninggal tanpa sebab. Nggak semua cerita masuk akal, Ren. Tapi kejadian-kejadiannya nyata."

Reno menatap kopi yang mulai mendingin.

"Aku nggak tahu harus percaya atau tidak. Tapi kalau yang kulihat semalam itu nyata... kita dalam bahaya, Jo."

Ajo memukul pahanya sendiri.

"Makanya! Kau balik pas waktu yang... bisa dibilang buruk. Tapi ya... juga bisa jadi waktu yang tepat."

"Maksudmu?"

Ajo menatap Reno dengan senyum tipis.

"Karena kita bakal nyari tahu bareng. Kita berdua. Kayak dulu waktu nyari kodok raksasa di rawa-rawa."

Reno tertawa lepas. Suara tawa yang langka setelah sekian tahun.

"Itu kodok raksasa ternyata cuma ember rusak."

"Ya! Tapi petualangannya yang keren! Sekarang kita hadapi Palasik, kepala beterbangan, usus menjuntai... Tapi jangan takut. Karena aku, Ajo Randi, anak muda paling ganteng se-Koto Lamo, siap melindungimu!"

"Dengan gayamu itu? Yang lari duluan kalau lihat cacing?"

"Eh, itu cacingnya besar banget, Ren! Panjangnya segini!" Ajo menunjukkan ukuran sepanjang lengan.

Tawa kembali meledak di antara mereka. Untuk sesaat, seolah dusun ini hanyalah dusun biasa. Tanpa kepala beterbangan. Tanpa suara ketukan dari dinding.

Tapi saat sore mulai menjelang dan bayangan matahari mulai memanjang di tanah, Reno kembali teringat—malam akan datang. Dan malam di Dusun Koto Lamo... bukan malam biasa.

Malam itu datang lebih cepat dari biasanya. Langit gelap tanpa bulan, hanya bintang yang tersebar jarang seperti biji-biji jagung tercecer. Rumah kayu peninggalan orang tua Reno berdiri sendirian di tengah kebun yang sebagian sudah jadi semak-semak liar.

Reno berdiri di ambang pintu, memandang gelap yang mulai merayap. Suara jangkrik nyaring, dan dari kejauhan kadang terdengar lolongan anjing yang membuat bulu kuduk berdiri. Di sebelahnya, Ajo sudah mulai sibuk dengan termos air panas dan gelas kopi.

"Ren, kalau malam begini jangan terlalu mikir yang aneh-aneh. Coba kau dengar suara malam—tenang, hening, nyenyak. Ini suara dusun yang asli. Bukan dusun versi sinetron yang penuh teriakan dan rebutan warisan."

Reno hanya melirik, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. Ajo, dengan segala kelucuannya, seperti bisa membuat malam menjadi lebih ringan.

"Tapi serius, Jo. Aku nggak bisa tidur tadi malam. Tiap aku pejam, aku selalu dengar suara... seperti gesekan sesuatu dari dinding kamar. Kayak... kuku."

Ajo mendadak diam.

"Kamar yang mana?" tanyanya pelan.

"Kamar lama ayah."

"Ah... itu kamar yang sebelah belakang, kan? Yang langsung menghadap ke semak bambu?"

Reno mengangguk.

Ajo meletakkan gelas kopinya, lalu berdiri dan menatap ke arah rumah.

"Ren, ada hal yang aku belum sempat bilang. Sejak kau pindah ke kota, rumah ini sebenarnya nggak pernah benar-benar kosong. Maksudku... kadang ada yang bilang melihat cahaya dari jendela belakang. Kadang suara-suara. Tapi orang kampung nggak ada yang berani masuk. Mereka percaya rumah ini masih dijaga. Atau... ditempati."

"Ditempati...?"

Ajo mengangguk pelan.

"Ada yang bilang, setelah ibumu meninggal, arwahnya tak pernah benar-benar pergi. Ada juga yang bilang... Palasik bisa hinggap di rumah yang ditinggalkan. Mereka butuh tempat gelap, sunyi, dan... beraroma darah."

Reno memandang rumah itu dengan pandangan kosong. Ia tak tahu apakah harus percaya atau tidak. Tapi fakta bahwa malam ini ia akan tidur di rumah itu lagi, membuatnya sedikit gemetar.

Malam semakin larut. Ajo memutuskan untuk bermalam di rumah Reno, meski dengan alasan yang dibuat-buat.

"Bukan karena takut loh ya. Ini murni demi solidaritas! Aku nggak mau kau kesepian kayak tokoh utama film Korea."

Mereka akhirnya tidur di ruang tengah, membentang kasur lipat dan menyandarkan badan ke dinding.

Sekitar pukul dua dini hari, Reno terbangun. Bukan karena mimpi, tapi karena suara.

“Krekk... krek... krek...”

Suara itu seperti gesekan kuku panjang di dinding kayu. Perlahan. Lalu hening. Lalu muncul lagi.

Reno membuka mata. Ajo masih tertidur, bahkan mulutnya terbuka, mengeluarkan dengkuran yang entah mirip apa.

Reno bangkit perlahan, mengambil senter kecil dari meja. Ia berdiri dan berjalan mengendap menuju dinding yang tadi terdengar bunyi.

Tiba-tiba...

TOK... TOK... TOK...

Suara ketukan dari dinding. Tiga kali. Jelas. Pelan, tapi tajam.

Reno menahan napas.

TOK... TOK...

Dua ketukan lagi. Kali ini dari sisi lain dinding.

Ia menyorotkan senter ke sana. Tidak ada apa-apa.

Kemudian terdengar bisikan. Sangat pelan, seperti suara yang merayap di dalam telinga.

"Pulangkan... pulangkan..."

Reno mundur perlahan. Matanya membelalak. Suara itu bukan dari luar... tapi dari dalam dinding.

Tiba-tiba terdengar suara keras...

"WOOY! ADA APA INI?!" Ajo bangun sambil panik, masih dengan rambut acak-acakan dan sarung yang hampir melorot.

Reno menoleh. Ia menunjuk dinding.

"Ada... suara dari situ... kayak ada yang minta dipulangkan."

Ajo mendekat, menempelkan telinganya ke dinding. Ia diam beberapa detik, lalu melompat mundur dengan ekspresi kaget.

"Ren... sumpah ya, itu suara siapa? Aku denger. Serius denger!"

Tiba-tiba lampu di ruang tengah berkedip—sekali, dua kali, lalu mati total.

Reno dan Ajo hanya bisa saling menatap dalam gelap. Detik itu, suara dari dinding kembali muncul, kali ini jelas dan parau:

"JANGAN DIUSIK..."

Kemudian, dari atap terdengar bunyi berat seperti sesuatu yang merayap. Pelan. Tapi jelas. Disusul oleh suara seperti napas... atau desahan panjang.

“Hhhhkkkkkkkk...”

Ajo merapat ke Reno.

"Bro... boleh peluk nggak? Demi Tuhan ini bukan waktunya jaga gengsi."

Reno mencoba tetap tenang. Ia meraih senter dan menyorotkan ke atas.

Tak ada apa-apa. Tapi bayangan di dinding... menunjukkan sesuatu melayang di langit-langit.

Sesuatu... tanpa tubuh.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!