NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Delapan Belas

***

Matahari baru muncul malu-malu di ufuk timur saat suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan kontrakan. Delina berdiri sambil membawa dua botol infused water dan dua topi lebar yang ia julurkan dari balik pintu. Senyumnya cerah seperti biasa.

“Serenaaa, ayo car free day! Masih pagi nih, sejuk banget!”

Tak ada sahutan. Hanya sunyi. Tapi beberapa detik kemudian, pintu akhirnya terbuka perlahan. Serena muncul dari baliknya, mengenakan sweater tipis dan celana panjang, wajahnya terlihat pucat dan matanya… sembab.

Delina langsung mengernyit. “Ya ampun, kamu kenapa? Sakit ya?”

Serena hanya mengangguk pelan. “Iya… kepala pusing, terus tadi malam agak demam.”

Delina langsung melangkah masuk tanpa diminta, menutup pintu pelan lalu meletakkan botol minumnya di meja. Ia mendekat, meletakkan punggung tangannya ke dahi Serena.

“Duh, iya panas. Kamu udah minum obat belum?”

Serena menggeleng. Ia berjalan pelan ke ranjang ny dan duduk sambil memeluk lutut. Tubuhnya gemetar halus, dan meski ia berusaha tegar, Delina bisa melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar demam biasa.

Delina duduk di sampingnya, perlahan. “Serena… kamu nangis ya?”

Serena tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk, kedua tangannya mengusap-usap pelan lengan sendiri. Lalu, pelan dan lirih, ia berkata, “Cuma gara-gara sakit kepala semalam. Panas dingin, terus jadi nggak bisa tidur. Jadi ya… nangis.”

Tapi Delina kenal Serena. Ia tahu cara temannya menahan sesuatu, cara Serena menyembunyikan rasa sakit di balik kalimat sederhana.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Ren?” tanya Delina, lembut.

Serena terdiam sejenak, lalu memejamkan mata. Suaranya keluar pelan-pelan, hampir seperti bisikan, “Aku lihat Mas Hafiz tadi malam… bareng orang tuanya, ngobrol sama keluarga perempuan cantik banget. Terus aku dengar waktu aku ke lorong toilet, katanya sebentar lagi dia mau tunangan sama perempuan itu…”

Delina membeku.

Serena melanjutkan dengan nada getir, “Padahal aku tahu… kami gak ada apa-apa. Dia nggak pernah janji apa pun. Tapi tetap aja sakit. Rasanya… kayak ditinggalin sebelum pernah dimiliki.”

Air mata kembali mengalir di pipi Serena, pelan-pelan. Delina hanya menghela napas dan menarik Serena ke pelukannya.

“Ren… kamu boleh sedih, kamu boleh marah, boleh kecewa. Kamu manusia. Kamu punya hati.”

Serena tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya membiarkan air matanya mengalir, tubuhnya bersandar lemas ke bahu sahabatnya. Di luar, suara burung berkicau menyambut pagi Minggu yang cerah, tapi di dalam ruang sempit itu, dunia Serena masih diselimuti mendung.

Delina mengelus rambutnya. “Istirahat dulu ya. Nanti siang aku bawain bubur dan obat. Nggak usah mikirin apa pun sekarang. Kamu cuma perlu sembuh dulu.”

Serena mengangguk kecil.

Untuk pertama kalinya setelah malam yang berat, ia merasa sedikit lebih tenang. Ada satu bahu yang bisa ia sandari, ada satu suara yang tidak menghakimi. Meski dunia terasa tak adil, Serena tahu… setidaknya ia tidak sepenuhnya sendiri.

.

Menjelang pukul sebelas siang, suhu tubuh Serena justru semakin tinggi. Ia berulang kali menggigil meskipun sudah berselimut tebal, dan kulit wajahnya memucat. Delina yang sedari tadi menjaga di sampingnya mulai panik.

“Ren, kamu makin panas. Nggak bisa begini terus,” ucap Delina cemas sambil mengecek suhu dengan termometer kecil. “39,3. Duh, kita ke klinik sekarang ya.”

Serena hanya mengangguk lemah. Kelopak matanya berat, tenggorokannya kering dan kepala masih terasa seperti dipukul benda tumpul. Ia tidak mampu menolak.

Delina segera menyiapkan jaket untuknya dan membantu memesan transportasi online. Lima belas menit kemudian, mereka tiba di sebuah klinik swasta yang letaknya tidak terlalu jauh dari kontrakan. Klinik itu kecil namun bersih dan tenang, dengan pelayanan yang cukup ramah.

Setelah diperiksa oleh dokter, hasil diagnosa menyatakan Serena mengalami demam tinggi yang disertai gejala infeksi ringan. Kemungkinan karena daya tahan tubuhnya yang drop—entah karena kelelahan, tekanan emosional, atau kurang makan.

“Pasiennya perlu diinfus dan kami sarankan menginap satu malam untuk observasi. Kami khawatir kalau pulang sekarang, keadaannya memburuk di malam hari,” jelas dokter sambil menuliskan catatan medis.

Delina langsung menyetujui. “Nggak apa-apa, dok. Biar dia istirahat total di sini.”

Serena dipindahkan ke salah satu kamar rawat inap sederhana dengan satu tempat tidur dan pendingin udara. Delina membantu meletakkan tas kecil Serena di kursi samping, lalu duduk sambil menggenggam tangan sahabatnya.

“Serena, istirahat ya. Nggak usah mikir apa-apa dulu.”

Serena mengangguk lemah. Tubuhnya sudah mulai di infus, dan obat penurun panas mulai bekerja perlahan. Meski tubuhnya masih lemah, ada sedikit rasa lega saat tubuhnya dibiarkan beristirahat tanpa harus memaksakan diri.

Sebelum tertidur, Serena sempat berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Terima kasih, Del…”

Delina tersenyum kecil dan mengelus tangan sahabatnya. “Tidur yang nyenyak. Aku di sini.”

Dan akhirnya, untuk pertama kalinya sejak semalam, Serena memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya benar-benar beristirahat. Sementara itu, Delina duduk tenang di samping ranjang, berjaga, memastikan temannya tak sendiri dalam perih dan sunyinya.

.

Di dalam apartemen mewah yang sepi, Hafiz terduduk di kursi kerja, menatap layar ponselnya yang sudah ia buka dan tutup berkali-kali. Sejak pagi, ia mencoba menghubungi Serena—tapi semua pesan hanya centang satu, tak pernah terbaca. Panggilan teleponnya bahkan tak terhubung.

Ia juga menerima beberapa panggilan dari Mama-nya, Bu Farhana, sejak tadi pagi. Tapi semua ia abaikan. Bahkan, ia sudah mengganti sandi pintu digital apartemennya agar tidak ada lagi kejutan berupa kehadiran orang tua yang bisa dengan mudah masuk seenaknya. Ia butuh ruang. Ia butuh waktu.

Tapi yang lebih mendesak dari itu semua: ia butuh tahu bagaimana keadaan Serena.

Rasa bersalah terus menghantuinya. Wajah Serena malam itu, yang ia lihat sekilas sebelum gadis itu menghilang dari ballroom, tak mau pergi dari ingatan. Ada sesuatu di mata Serena—sesuatu yang tidak baik, yang menandakan luka, kecewa, dan mungkin... salah paham.

Hafiz beranjak dari kursinya, mengambil kunci mobilnya. Sudah hampir pukul tiga sore ketika ia memutuskan untuk pergi langsung ke kontrakan Serena. Ia tidak tahu apakah Serena akan berada di sana, tapi ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Perjalanan menuju kontrakan Serena cukup padat, dan Hafiz memacu mobilnya sambil sesekali mencuri pandang ke layar ponsel, berharap ada pesan masuk. Tapi tetap nihil.

Setelah hampir empat puluh menit, ia akhirnya tiba di depan gang sempit menuju kontrakan Serena. Ia memarkirkan mobil agak jauh, lalu berjalan kaki masuk ke dalam gang kecil yang ramai oleh suara anak-anak bermain dan ibu-ibu yang mengobrol.

Ketika sampai di depan pintu kontrakan yang ia ingat, Hafiz mengetuk pelan.

Senyap.

Ia mengetuk sekali lagi. Masih tak ada jawaban. Tak lama kemudian, seorang ibu paruh baya yang keluar dari rumah samping menyapanya dengan tatapan heran.

“Mas nyari siapa?”

“Permisi, Bu,” ucap Hafiz sopan. “Saya teman Serena. Mau tanya, beliau lagi di rumah nggak ya?”

Perempuan itu mengernyit kecil, lalu menggeleng pelan. “Aduh, maaf Mas. Saya juga baru pulang dari kampung dua jam yang lalu.” Jawaban itu membuat dada Hafiz makin sesak.

“Kalau temannya yang tinggal bareng… Delina, ya Bu? Pernah lihat?”

“Iya, Mbak Delina. Tapi itu juga nggak kelihatan dari saya datang.”

Hafiz menunduk sebentar, mencoba menahan kekecewaan yang merayap diam-diam. Ia mengucapkan terima kasih, lalu mundur perlahan dari halaman kontrakan. Ia berdiri beberapa saat di depan pagar kecil itu, menatap pintu kayu yang tertutup rapat. Hatinya semakin gelisah.

Serena ke mana? Kenapa tidak bisa dihubungi sama sekali?

Ia merasa seperti kehilangan arah—dan untuk pertama kalinya, ia sadar betapa selama ini Serena menjadi pusat tenangnya. Sosok yang tak pernah menuntut apa-apa, tapi justru meninggalkan ruang paling luas di hatinya.

Hafiz menarik napas panjang, mencoba berpikir jernih. Mungkin Delina tahu. Mungkin ia bisa coba hubungi Delina jika memang Serena masih belum bisa dihubungi malam ini.

Tapi yang jelas, ia tidak akan menyerah. Ia akan mencari, bahkan jika harus datang ke setiap pintu satu per satu, hanya demi memastikan Serena baik-baik saja.

Dan kali ini, ia tidak akan diam.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!