NovelToon NovelToon
Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kontras Takdir / Suami ideal / Gadis nakal
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia's Story

Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.

Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.

Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fitnah

Saat duduk di meja makan bersama santri lain, Nayla tanpa sadar menelisik ke seluruh halaman pesantren. Matanya berkeliling, mencari sosok yang biasanya selalu ada di pagi hari—Ustadz Alghazali.

Namun, sosok pria itu tak terlihat.

"Huh, memangnya aku peduli?" batinnya, lalu menggigit roti di tangannya.

Tapi anehnya, rasa roti itu terasa hambar di mulutnya. Biasanya, meskipun Alghazali selalu terlihat serius dan dingin, kehadirannya tetap terasa. Sekadar melihatnya berjalan melewati aula atau memberi ceramah singkat sebelum kegiatan dimulai, entah kenapa sudah menjadi pemandangan yang familiar.

Nayla menghela napas pelan. "Mungkin dia lagi ada urusan di luar," gumamnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul.

Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin besar rasa penasaran di hatinya.

Setelah bertanya-tanya dalam hati, akhirnya Nayla mendengar dari beberapa santri lain bahwa Ustadz Alghazali sedang pulang ke rumah orang tuanya dan akan kembali dalam dua hari.

Entah kenapa, mendengar kabar itu membuatnya merasa sedikit… kecewa? "Apa-apaan aku ini? Sejak kapan aku jadi peduli sama dia?" pikirnya kesal pada dirinya sendiri.

Dia menggigit rotinya lebih keras, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul. "Justru bagus! Setidaknya aku bisa sedikit lebih bebas tanpa dia terus-terusan mengawasi!"

Tapi anehnya, selama dua hari itu, pesantren terasa sedikit lebih sepi dari biasanya. Tak ada suara tegasnya saat memberi ceramah, tak ada tatapan tajamnya yang membuat Nayla merasa seperti anak kecil yang selalu salah.

Malam harinya, saat mengaji bersama Ustadzah Aisyah, Nayla sesekali melirik ke arah pintu seolah berharap seseorang masuk. Tapi tentu saja, tak ada siapa-siapa.

Dan di situlah ia menyadari sesuatu yang cukup mengganggu. "Aku… benar-benar kehilangan sosoknya?"

Suasana pesantren mendadak kacau saat seorang santri bernama Zahra berteriak panik.

"Gelang emasku hilang! Itu hadiah dari ibuku!" serunya, membuat semua santri berkumpul di asrama.

Para santri mulai mencari ke seluruh sudut ruangan. Namun, di tengah kepanikan itu, tiba-tiba salah satu dari mereka melirik ke arah Nayla dengan tatapan curiga.

"Jangan-jangan... Nayla yang ambil?" bisik seorang santri.

Nayla yang sedang duduk santai langsung mendongak, keningnya berkerut. "Apa?" tanyanya, tak percaya dengan tuduhan itu.

"Ya, siapa lagi? Kamu kan yang paling beda di sini. Baru beberapa hari di pesantren, sering bikin masalah, dan kemarin juga kabur ke kota!" sahut santri lain dengan nada tajam.

Nayla menatap mereka dengan mata membulat, dadanya mulai naik turun menahan amarah. "Jadi, karena aku bukan anak baik-baik seperti kalian, otomatis aku pencurinya?" tanyanya sinis.

Zahra menggigit bibirnya, tampak ragu, tapi tatapan semua orang semakin mengarah ke Nayla.

"Ayo kita geledah kamarnya!" seru salah satu santri.

Tanpa menunggu persetujuan, beberapa santri langsung masuk ke kamar Nayla dan mulai membongkar barang-barangnya. Nayla mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri agar tidak meledak.

"Gila! Kalian semua gila!" teriaknya marah, tapi tak ada yang peduli.

Beberapa menit kemudian, salah satu santri tiba-tiba berseru, "Ini dia! Gelang Zahra ada di bawah kasur Nayla!"

Seluruh ruangan menjadi hening. Semua mata kini menatap Nayla penuh tuduhan.

Nayla mengerjapkan matanya, tak percaya. "Aku... aku nggak pernah nyentuh gelang itu!" katanya keras.

Tapi siapa yang akan percaya padanya?

Nayla duduk di tengah ruangan dengan wajah penuh amarah dan ketidakpercayaan. Ruang sidang pesantren yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah santri kini terasa seperti ruang pengadilan bagi dirinya.

Di hadapannya, Pak Kyai duduk dengan wajah tenang tapi tegas. Beberapa ustadz dan ustadzah juga hadir, termasuk Ustadzah Aisyah yang menatap Nayla dengan tatapan penuh arti.

Di sekelilingnya, para santri berbisik-bisik, memandangnya dengan berbagai ekspresi—ada yang curiga, ada yang kasihan, tapi lebih banyak yang menuduh.

"Nayla," suara Pak Kyai terdengar, dalam dan berwibawa. "Kami ingin mendengar langsung darimu. Apakah benar kamu yang mengambil gelang Zahra?"

Nayla mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Serius? Aku? Nyolong gelang emas?" suaranya penuh sarkasme.

"Nayla, jawab dengan baik," tegur Ustadzah Aisyah dengan lembut.

Nayla memutar matanya sebelum berkata, "Aku bisa beli sepuluh gelang seperti itu kalau aku mau. Tinggal minta ke orang tuaku. Ngapain aku repot-repot nyolong?"

Beberapa santri terkesiap mendengar kata-katanya yang penuh kesombongan, tapi Nayla tidak peduli.

Pak Kyai menatapnya dalam-dalam. "Jadi, maksudmu, kamu tidak mencuri gelang itu?"

"Jelas nggak!" Nayla menjawab cepat, suaranya penuh emosi.

Pak Kyai mengangguk pelan. "Lalu, bagaimana gelang itu bisa ada di kamarmu?"

Nayla terdiam. Itu juga pertanyaan yang terus menghantuinya sejak tadi.

"Ada yang menjebakku," katanya akhirnya, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Aku nggak tahu siapa, tapi jelas ini bukan ulahku."

Suasana ruang sidang semakin tegang. Sebagian santri saling pandang, mulai ragu apakah benar Nayla bersalah atau hanya korban fitnah.

Saat itulah, tiba-tiba pintu ruang sidang terbuka.

Seseorang melangkah masuk dengan tenang—Ustadz Alghazali.

Semua santri langsung menegang. Sejak tadi pagi mereka bertanya-tanya kapan beliau kembali, dan kini, tanpa diduga, ia muncul di tengah sidang.

Mata Nayla langsung menatapnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, hatinya merasa sedikit lega.

"Apa yang terjadi di sini?" suara Alghazali terdengar dingin, penuh wibawa.

Alghazali melangkah masuk dengan tenang, tatapannya menyapu seluruh ruangan sebelum berhenti pada Nayla. Ia bisa melihat mata gadis itu yang biasanya penuh pemberontakan, kini berkaca-kaca—seolah meminta pertolongan tanpa kata-kata.

Pak Kyai menatap Alghazali dengan bijak. "Kebetulan sekali kamu datang, Al. Kami sedang menyelesaikan masalah ini. Nayla dituduh mencuri gelang Zahra karena ditemukan di kamarnya."

Alghazali diam sejenak, menatap Nayla yang menunduk dengan rahang mengeras. Lalu, ia menghela napas dan bertanya, "Apa sudah ada bukti yang benar-benar menunjukkan bahwa Nayla bersalah?"

Zahra langsung menjawab, "Gelang itu ada di bawah kasurnya! Itu bukti!"

Alghazali menatap Zahra tajam. "Tapi apakah ada yang melihat langsung Nayla mengambilnya? Atau ada yang bisa memastikan bahwa dia yang meletakkannya di sana?"

Zahra terdiam. Beberapa santri mulai saling berpandangan, menyadari bahwa mereka mungkin terlalu cepat menuduh.

Alghazali kembali menatap Nayla. "Kamu mencurinya?"

Nayla mendongak, matanya berkilat marah. "Tidak! Aku bahkan nggak tahu kapan gelang itu ada di kamarku!"

Alghazali mengangguk, lalu melangkah ke depan. "Kalau begitu, kita harus mencari siapa yang sebenarnya melakukan ini."

Semua orang terdiam. Perlahan, perasaan bersalah mulai muncul di antara para santri.

Pak Kyai tersenyum kecil. "Baiklah, kita tidak boleh gegabah dalam menilai seseorang. Kita akan menyelidikinya lebih lanjut."

Nayla menghembuskan napas lega, dan tanpa sadar, matanya kembali mencari sosok Alghazali.

Ia mungkin masih membenci tempat ini… tapi entah kenapa, kehadiran laki-laki itu memberinya sedikit rasa aman.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!