“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Dihadang
Suasana kantor terasa berbeda. Langkah Laras terdengar pelan saat menyusuri lorong menuju ruangannya. Mata-mata menatap, berbisik, menilai—beberapa diam-diam menuding.
"Itu istri CEO Edward, ya?"
"Tapi ngapain masih kerja di sini? Posisi juga cuma staf senior biasa..."
"Katanya semalam Edward ke hotel bintang lima... sama cewek bayaran."
Laras menegakkan punggung, mengabaikan semuanya. Sudah biasa. Sudah terlalu sering orang menilainya hanya dari kulit luar. Tapi hari ini terasa berat, lebih berat dari biasanya.
"Selamat ya, Ras."
Suara itu lembut, tapi Laras tahu Desi sedang berusaha terdengar biasa saja.
Desi berdiri dengan senyum samar dan kotak kado mungil di tangannya. "Maaf aku nggak datang ke pestamu... eh, maksudku, aku nggak diundang, sih."
Laras tertegun sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Maaf, Des... semua diatur suamiku. Acaranya terlalu mendadak, hingga aku tak sempat memikirkan undangan."
Desi mengangguk, tampak tak ingin memperpanjang soal itu. Tapi matanya tak bisa berbohong.
"Aku cuma... kemarin Bayu datang ke kantor. Dia nyari kamu."
Laras menegang.
Desi menelan ludah, ragu. "Sehari sebelum pernikahanmu... bahkan pagi-pagi sebelum kamu menikah, dia datang lagi. Katanya dia sempat ke rumahmu malam itu. Teriak-teriak manggil kamu di depan rumahmu."
Laras mengalihkan pandangan. Dadanya mulai sesak. Ia tak sanggup bicara.
Desi melanjutkan, pelan. "Tapi kamu nggak keluar. Dia bilang, orang tuamu malah usir dia. Kamu... kamu benar-benar nggak tahu dia datang?"
Laras mengangguk kecil, menunduk. “Aku... ada di rumah sakit." Suaranya lirih. “Perutku tiba-tiba kram hebat. Aku harus memulihkan diri agar tidak menghambat acara keesokan harinya…”
Desi menghela napas. "Dia kelihatan hancur, Ras. Kayak orang kehilangan arah."
Laras menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Pandangannya kabur oleh air mata yang menggenang.
“Terima kasih, Desi,” bisiknya. “Sudah memberitahuku.”
Desi mengangguk pelan, lalu memeluk Laras sebentar sebelum pergi meninggalkan ruangannya.
Begitu pintu tertutup, Laras menengadah, menahan air mata agar tak jatuh.
"Maaf, Bayu... aku tak punya keberanian. Aku terlalu takut... terlalu lemah..."
Tangis itu akhirnya tumpah, sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dan isakan yang tertahan.
***
Bayu menyodorkan cangkir kopinya. Pria di depannya—Andra, mantan rekan satu angkatan di kampus—menerima dan menyesapnya perlahan.
“Aku butuh jawaban jujur, Ndra. Soal Edward, soal keluarga Laras.”
Nada Bayu dingin.
Andra gelisah. “Kau tahu aku bisa kehilangan pekerjaanku kalau ini sampai ketahuan.”
Bayu mengunci pandangannya. “Kalau kau benar-benar teman, kau akan bicara.”
Hening beberapa detik. Lalu Andra menghela napas panjang.
“Darma... ayah Laras... tersandung kasus besar. Gudang yang dia pimpin bocor—stok barang raib, kerugian ratusan juta. Hampir dipecat. Tapi Edward turun tangan. Dia bayar semuanya secara diam-diam, lalu atur agar Darma diturunkan jabatan, bukan dipecat.”
Bayu menggertakkan rahang. “Lalu pernikahan itu?”
“Itu bagian dari syarat. Edward minta Laras sebagai istri. Kata orang dalam, awalnya Laras menolak mentah-mentah. Bahkan pernah menampar Edward di acara publik, Laras tolak di depan semua orang bahkan membeberkan aib Edward.”
Andra menggeleng pelan. “Itu memalukan banget untuk ukuran Edward. Tapi dia malah makin ngotot setelah itu. Seolah makin tertantang.”
Bayu menghela napas berat. Ada bara di balik sorot matanya.
“Jadi itu alasannya... kenapa Laras berubah begitu cepat. Kenapa dia akhirnya menikah.”
Andra menunduk, lalu menatap Bayu serius.
“Bay, kalau kau masih peduli sama Laras... hati-hati. Ini bukan cuma soal cinta. Ini udah masuk ranah kekuasaan. Edward... bukan orang biasa.”
***
Langit mulai gelap saat Laras melajukan motornya di jalan sepi yang biasa ia lewati sepulang kerja. Angin sore yang menggigit kulitnya tak seberapa dibandingkan dinginnya hatinya sejak pernikahan itu. Segalanya terasa beku. Mati rasa.
Ia menepi, memelankan motornya. Hujan baru saja reda. Jalanan masih basah, aroma tanah basah menyeruak, mengaduk kenangan-kenangan yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti mendadak di hadapannya—mewah, berkilau di bawah lampu jalan yang redup. Asing... tapi terasa familiar. Laras refleks menarik rem, jantungnya berdetak kencang. Belum sempat ia bertanya, pintu mobil terbuka.
Dan dari sana, keluar sosok yang membuat napasnya tercekat.
Bayu.
Pria itu berdiri tegak, mengenakan setelan jas elegan. Pakaian branded membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Rambutnya tertata rapi, dan aroma parfum mahal menyeruak, menusuk udara yang dingin.
Tak ada lagi jejak penyanyi kafe sederhana yang dulu ia kenal. Tak ada jaket denim usang. Tak ada gitar di punggung. Tapi sorot matanya... tetap sama. Sorot mata seorang Bayu yang dulu mengenalnya lebih dari siapa pun.
Laras menelan ludah, gugup. Ia bahkan lupa menurunkan standar motornya.
"Bayu...?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Bayu berjalan mendekat, berdiri di hadapannya tanpa senyum. Tatapannya dingin, namun menyimpan badai yang sulit ditebak.
“Sejak awal aku tahu, Laras. Kau nggak pernah benar-benar mencintai pria itu. Aku tahu... kau dipaksa keadaan.”
Laras menggeleng pelan. Matanya mulai panas, tapi ia berusaha tegar.
“Bay... aku sudah bilang, aku memilih Edward.”
Bayu menyeringai, getir. Pahit. Matanya menajam.
“Memilih? Karena cinta... atau karena kamu nggak punya pilihan lain?”
Laras terdiam. Lidahnya kelu. Suaranya nyaris tertelan angin saat ia bertanya, “Apa maksudmu...?”
Bayu menunduk sesaat, seolah menahan sesuatu yang hendak meledak dari dadanya. Saat ia kembali menatap Laras, matanya merah, dan suaranya dalam—penuh luka.
“Kau pikir Edward menikahimu karena cinta?”
Ia melangkah lebih dekat.
Laras bergeming, tubuhnya menegang. Ia ingin bicara, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan Bayu yang membongkar semua pertahanannya.
Bayu menatapnya lekat, menyelami matanya seakan ingin memaksa Laras jujur.
“Sejak awal aku curiga. Kau pasti dipaksa. Kau nggak pernah benar-benar ingin hidup dengan dia.”
“Aku... sudah bilang, aku memilih Edward,” bisik Laras, lebih kepada dirinya sendiri daripada Bayu.
Bayu tersenyum miris. “Yakin? Karena cinta, atau karena... ayahmu?”
Laras terbelalak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Hatinya bergemuruh. Ia mulai sadar—Bayu tahu.
Sorot mata pria itu berubah tajam. “Kau menikah karena kompromi, bukan?”
"Itu tidak benar," ucap Laras cepat, meski matanya mulai berkaca. "Aku... aku memang memilih dia."
Bayu tertawa pelan, getir. “Kau bohong. Kau pikir kau bisa bahagia setelah menyerahkan kebebasanmu? Setelah menjual hidupmu demi menyelamatkan seseorang?”
Laras menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. Ia menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya, mencoba setenang mungkin meski suaranya bergetar.
“Aku mencintai Edward.”
“Maafkan aku, Bay,” batinnya menjerit. “Aku mencintaimu. Tapi aku rusak. Tubuhku tak sempurna. Hatiku luka. Bahkan jika kau tetap ingin bersamaku, aku hanya akan memberimu beban.”
Bayu menatapnya dalam diam. Rahangnya mengeras.
Laras melanjutkan dengan suara yang datar, mencoba menyembunyikan hatinya yang koyak. “Aku memilih dia... karena aku ingin. Bukan karena siapa pun. Kita cuma masa lalu, Bay. Dan aku baik-baik saja sekarang.”
Bayu menggeleng pelan, tawanya lirih, nyaris seperti desahan. “Kau pikir aku bodoh, Laras? Aku lihat caramu bicara, caramu menghindar. Kau pikir aku nggak tahu?”
Laras menggigit bibirnya. Air mata mulai menggenang, tapi cepat-cepat ia membuang pandang. Ia tak boleh goyah. Ia harus membuat Bayu pergi. Ia harus menyelamatkan pria itu dari luka yang lebih dalam.
“Kau harus berhenti mencariku, Bay. Sudahi semuanya,” ucap Laras, nyaris berbisik. “Aku ingin kamu bahagia. Tapi bukan... denganku.”
Bayu maju selangkah. “Jangan sok tahu soal apa yang kubutuhkan.”
Laras mundur selangkah. “Aku tahu. Kau butuh seseorang yang utuh. Yang bisa jadi istri. Ibu dari anak-anakmu. Aku bukan itu. Aku punya kekurangan yang bahkan kamu nggak tahu. Aku...”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka