Di dunia yang dikuasai oleh kultivasi dan roh pelindung, seorang putri lahir dengan kutukan mematikan—sentuhannya membawa kehancuran. Dibuang oleh keluarganya dan dikhianati tunangannya yang memilih saudara perempuannya, ia hidup dalam keterasingan, tanpa harapan.
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan pria misterius yang tidak terpengaruh oleh kutukannya. Dengan bantuannya, ia mulai membangkitkan kekuatan sejatinya, menyempurnakan kultivasi yang selama ini terhalang, dan membangkitkan roh pelindungnya, **Serigala Bulan Biru**.
Namun, dunia tidak akan membiarkannya bangkit begitu saja. Penghinaan, kecemburuan, dan konspirasi semakin menjeratnya. Tunangan yang dulu membuangnya mulai menyesali keputusannya, sementara sekte-sekte kuat melihatnya sebagai ancaman.
Di tengah pengkhianatan dan perang antar kekuatan besar, hanya satu hal yang pasti: **Pria itu akan selalu berada di sisinya, bahkan jika ia harus menghancurkan dunia hanya untuknya**.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Penyembuhan yang Menyakitkan
Udara di dalam kuil terasa lebih tenang dibandingkan dengan dunia di luar. Lilin-lilin beraroma cendana menyala di setiap sudut, mengusir kegelapan dengan cahaya lembutnya. Suara gemericik air dari kolam kecil di halaman kuil memberikan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Xiaolin duduk bersandar di atas tikar jerami, tubuhnya terasa ringan tapi penuh nyeri. Luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, dan setiap tarikan napas masih menyisakan rasa sakit yang menusuk. Dia mengamati sekeliling dengan waspada, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tetap siaga.
Seorang biksu tua duduk di hadapannya. Wajahnya dihiasi kerutan kehidupan, namun matanya masih memancarkan kebijaksanaan yang tenang. Dengan jubah oranye yang sederhana dan rosario kayu menggantung di tangannya, dia tampak seperti sosok yang telah lama memahami dunia lebih dalam daripada kebanyakan orang.
"Aku tidak akan bertanya siapa dirimu," kata biksu itu dengan suara lembut, "dan aku tidak akan memaksamu untuk berbicara. Namun, aku bisa merasakan beban yang kau bawa."
Xiaolin diam. Dia tidak ingin berdebat, tapi dia juga tidak ingin membiarkan siapa pun terlalu dekat.
Biksu itu perlahan mengangkat tangannya, seolah hendak menyentuh Xiaolin. Namun, sebelum jari-jarinya benar-benar bergerak lebih jauh, Xiaolin langsung bereaksi.
"Jangan sentuh aku," ucapnya dingin.
Biksu itu tidak menunjukkan keterkejutan atau kebingungan. Sebaliknya, dia hanya tersenyum tipis dan menarik kembali tangannya. "Aku mengerti," katanya pelan. "Kau memiliki sesuatu dalam dirimu yang tidak ingin kau sebarkan pada orang lain."
Xiaolin menegang. Dia tidak pernah menyebut kutukannya, tetapi biksu ini tampaknya memahami sesuatu.
"Tak perlu khawatir," lanjutnya. "Aku tidak perlu menyentuhmu untuk membantumu sembuh."
Biksu itu kemudian mengambil posisi duduk bersila, memejamkan mata, dan mulai melafalkan mantra kuno. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman, tapi setiap kata membawa getaran yang aneh.
Xiaolin merasa udara di sekitarnya mulai berubah. Ruangan yang tadi terasa biasa kini dipenuhi dengan energi yang tidak kasatmata. Cahaya samar mulai berkumpul di sekitar biksu, berputar perlahan seperti kabut keemasan yang mengalir dari tubuhnya.
Dari sudut matanya, Xiaolin melihat sesuatu muncul di balik biksu itu—sesosok makhluk berwujud roh. Roh itu menyerupai naga kecil dengan tubuh bersinar kebiruan, melayang dengan anggun di udara. Mata roh itu menatap Xiaolin dengan rasa ingin tahu, tapi juga penuh kewaspadaan.
"Roh pelindungku," jelas biksu itu dengan suara tenang. "Dia akan membantuku membersihkan luka-lukamu tanpa menyentuhmu."
Xiaolin hanya bisa diam. Dia tidak percaya pada banyak hal, tapi makhluk itu ada di hadapannya, nyata, berkeliling di udara seperti embusan angin yang hidup.
Biksu itu melanjutkan mantranya, dan perlahan, roh naga kecil itu mulai bergerak. Tanpa menyentuh Xiaolin, roh itu meniupkan napasnya yang bercahaya ke arah luka-luka di tubuh gadis itu.
Xiaolin merasakan sesuatu yang aneh—bukan rasa dingin seperti es, bukan pula kehangatan seperti api, tetapi suatu energi yang masuk ke dalam tubuhnya, mengalir seperti sungai yang membersihkan lumpur di dasarnya. Luka-lukanya yang sebelumnya perih mulai terasa lebih ringan, meskipun tetap ada nyeri yang menyengat.
Beberapa luka kecil perlahan menutup dengan sendirinya. Luka yang lebih dalam masih ada, tetapi tampak mulai membaik, seolah tubuhnya sendiri diberi dorongan untuk menyembuhkan diri lebih cepat.
Namun, proses itu tidak sepenuhnya tanpa rasa sakit. Xiaolin menggigit bibirnya, menahan desakan untuk mengerang ketika rasa panas membakar di beberapa titik tubuhnya. Ini bukan pengobatan biasa—ini adalah proses penyembuhan yang melibatkan kekuatan spiritual, dan tubuhnya dipaksa untuk menerima energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Biksu itu membuka matanya perlahan, mengamati Xiaolin. "Rasa sakit itu perlu," katanya lembut. "Tubuhmu menolak, tapi jiwamu ingin bertahan. Kau hanya perlu membiarkannya."
Xiaolin mengepalkan tangannya, menahan gemetar di jari-jarinya. Dia tidak suka perasaan ini—perasaan harus bergantung pada orang lain, bahkan jika itu hanya melalui energi mereka. Tapi dia juga tahu, jika dibiarkan, tubuhnya mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Setelah beberapa saat, roh naga kecil itu kembali ke sisi biksu. Cahaya keemasan di ruangan itu perlahan menghilang, dan udara kembali seperti semula.
Biksu tua itu menatap Xiaolin, tapi tidak dengan rasa ingin tahu yang berlebihan, melainkan dengan kesabaran yang tak tergoyahkan. "Istirahatlah," katanya pelan. "Tubuhmu butuh waktu untuk memulihkan diri."
Xiaolin tidak membalas. Dia hanya menunduk, membiarkan dirinya berbaring kembali di tikar jerami.
Luka-lukanya mulai membaik, tapi hatinya tetap tertutup.
Dia tidak ingin terikat dengan siapa pun lagi.