NovelToon NovelToon
Liora: Mama Untuk Salwa

Liora: Mama Untuk Salwa

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Janda / Hamil di luar nikah / Time Travel / Reinkarnasi / CEO
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Smi 2008

Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.

Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”

Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Curiga

Malam itu langit penuh bintang. Di rumah kecil lima kali tujuh meter, di bawah lampu lima watt yang redup, Liora duduk di lantai sambil menyuapi Salwa—dan sesekali dirinya sendiri.

Menu malam sederhana: nasi hangat, pete bakar dengan sedikit garam, penyedap, setetes air, dan perasan jeruk nipis agar tidak terlalu asin. Karena Salwa tidak bisa makan pedas, Liora menyiapkan dua piring kecil—satu pedas untuknya, satu lagi polos untuk si kecil. Ada kol rebus dan irisan timun sebagai lalapan. Sederhana, tapi terasa luar biasa nikmat di perut yang lapar.

Salwa mulai belajar makan sendiri. Tangannya kecil, belepotan, tapi matanya berbinar. Ia mengambil satu biji pete, menggigitnya perlahan, lalu mengunyah dengan khusyuk seolah sedang menikmati hidangan paling lezat di dunia.

“Enak?” tanya Liora sambil menyuapkan nasi ke mulut anaknya.

“Na na hi…” jawab Salwa riang, memperlihatkan gigi susunya yang menghitam dengan sisa pete tersangkut. Liora gemas, mencungkilnya. “Kalau Mama sudah jual cengkeh, kita ke dokter gigi, ya?” Tapi ia langsung terdiam, mengingat biaya periksa gigi yang tidak murah.

“Setelah kita menemukan ayahmu, kita tonjok wajahnya dulu, baru ke dokter gigi,” tambah Liora dengan nada serius, hampir seperti bersumpah.

Ia tersenyum tipis lalu melanjutkan, “Besok Mama beli ikan. Yang besar.”

“Salwa suka ikan?” tanya Liora sambil tersenyum antusias. Salwa terdiam. Ia belum tahu apa itu ikan; sebelumnya yang dimakannya hanya nasi dingin tanpa rasa. Baru dua hari ini, setelah tubuh ibunya diambil alih, makanan mulai memiliki rasa, aroma, bahkan daun-daunya.

“Ian… ian uka,” jawab Salwa ragu.

“Bagus. Ikan memang enak, apalagi dimasak dengan kuah kuning… uhhh,” Liora menelan ludahnya. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Aha, besok kita ke rumah Nenek Darma. Uang kiriman dari kakekmu harus segera diambil sebelum nenek peot itu memotong habis semuanya,” katanya dengan campuran senang dan jengkel.

Senyumnya menipis. Ia teringat ayah kandungnya, Salim Brahma, yang rutin mengirim uang setiap bulan lewat rekening ibunya, Nenek Darma. Dua juta rupiah, katanya. Tapi sejak ia melahirkan Salwa, uang yang sampai ke tangannya hanya lima ratus ribu.

Waktu itu Nenek Darma bilang, “Ayahmu cuma kirim segini.” Liora dulu mungkin percaya karena polos, tapi kini nalarnya bekerja. Ada yang tidak beres. Jangan-jangan nenek yang memotong uang kiriman itu selama ini, pikirnya sambil menyendok nasi lagi. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum aneh, nyaris berbahaya.

“Semoga saja dugaanku benar. Kalau benar…” gumamnya, mata menatap bayangan hitam di dinding papan rumah. Dua juta bukan jumlah kecil. Bisa jadi, ayahnya bahkan mengirim lebih. “Mending kuselidiki,” bisiknya, bibir menekuk ke arah senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Hehehe…”

“Mama… anyang,” ucap Salwa sambil menguap panjang. Liora mengangkatnya ke tempat cucian piring, membuka bajunya, lalu menyikat giginya. Ia mengerik gigi bagian depan anaknya, tapi warnanya tak berubah. Ia mencuci tangan dan mulut Salwa, mengenakan kembali bajunya, lalu menggendongnya ke kamar, meletakkan Salwa di tempat tidur dan memberinya boneka kain.

“Bobo, ya,” ujar Liora sambil membaringkan anaknya menghadap kanan, memeluk bantal guling yang lebih besar dari badannya, lalu menepuk pantatnya pelan. Setelah yakin anaknya tenang, Liora kembali ke dapur, menghabiskan sisa makanan di piring, menyikat gigi, mencuci wajah, dan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda—mematahkan gagang cengkeh.

Sejam kemudian, biji cengkeh basah yang terkumpul lumayan banyak, sekitar tiga sampai empat liter. Liora puas, membiarkan sebagian di lantai karena terlalu lelah untuk mengangkatnya. Ia mendekati Salwa, memeluknya, sementara matanya itu mulai berat.

Saat kokokan ayam jantan pertama terdengar, Liora segera bangun, membangunkan Salwa pelan. Hanya sikat gigi dan cuci muka, lalu memasak nasi dan telur ceplok—sarapan ringan namun sehat. Setelah beres, ia membawa Salwa keluar rumah, memegang tangannya agar tidak terjatuh.

Di halaman, pemandangan cukup indah. Banyak pohon cengkeh, pohon kelapa yang tinggi, beberapa buah jatuh ke tanah, dan tanaman pisang mulai mengeluarkan jantungnya. Rumput pendek membuat Liora mudah melangkah. Hari ini ia berniat ke rumah Nenek Darma di lorong sebelah, lumayan dekat. Ia memotong kompas, melewati belakang rumah warga; got dan comberan pun dipijaknya.

Di lorong, beberapa penjual jajanan sudah membuka lapak. Ibu-ibu berhijab menjemur cengkeh, penjual nasi kuning dan kue berjejer rapi. Musim cengkeh tiba; banyak petani mengendarai motor berhenti membeli jajanan. Bu Ruji, memakai daster bunga kuning cerah dengan rambut digelung ke atas, menata kue di nampan agar terlihat menarik. Saat matanya melihat Liora dan Salwa, ia pura-pura berpaling, yakin Liora tak akan membeli.

“Ue,” tunjuk jari kecil Salwa pada kue tabur meses. Bu Ruji mendengus, lalu melangkah masuk rumah.

Liora menoleh ke arah yang ditunjuk Salwa, merogoh kantong bajunya yang masih lembap, mengeluarkan semua uang—sekitar enam puluh ribu—menarik lima ribu, lalu berjalan ke arah lapak Bu Ruji. Saat hendak masuk, ia terhenti. Kaki Salwa tak memakai sandal; tanah becek menempel di sela jari-jarinya.

Terpaksa Liora memanggil Bu Ruji dari depan pintu rumah. “Bu… beli, Bu! Aku mau beli!” teriak Liora beberapa kali. Tak ada jawaban. Ia menunduk, melihat Salwa menempelkan wajah di etalase, mata biru memindai kue.

“Bu, Bu, beli!” teriak Liora sekali lagi. Hasilnya sama. Ia yakin Bu Ruji pasti sudah mendengar tapi sengaja tidak mau keluar.

“Sayang, orangnya mandi. Bagaimana kalau kita ke rumah Nenek dulu? Nanti kita cari kue yang penjualnya lebih manis dari kuenya. Bisa bersabar, Salwa?” tanyanya sambil menghapus air liur di bibir anaknya. Salwa hanya diam, kemudian mengangguk.

“Aba awa aba.”

Liora bernapas lega. Ia kembali memegang tangan Salwa, melangkah tanpa menoleh ke belakang.

Liora berjalan cepat . Di ujung tikungan, ia melihat Bon-Bon, anak Tante Murni, sedang duduk di bangku kayu kecil. Anak itu menghancurkan biskuit cokelat dengan giginya. Di sebelahnya ada Salman, teman sebaya, yang cuma memandangnya datar.

Liora segera mendekat.

“Bon-Bon! Nenek di rumah?” tanyanya buru-buru.

Bon-Bon menghentikan kunyahannya, mendongak, dan menatap wajah yang sudah tidak asing lagi.

“ lio ra…” ucapnya gugup. Ia masih ingat betul, terakhir kali bertemu, sepupunya itu mendorong neneknya ke tanah dengan kasar.

“Apakah nenekmu di rumah?” tanya Liora lagi, semakin tak sabar.

“Anu, itu… nenek…” Bon-Bon tak berani melanjutkan.

Liora mendelik. Ia mengangkat Salwa dan mendudukkannya di samping Salman.

“Tunggu Mama di sini, ya,” katanya lembut pada Salwa, lalu menatap Salman. “Jaga sebentar.”

Ia berjalan lagi. Dari situ, rumah neneknya sudah terlihat—dua lantai, cukup besar dibanding rumah warga lain di pinggir kota. Di halaman depan, Nenek Darma sedang menyapu. Begitu matanya menangkap sosok Liora, tangan keriputnya mengepal kuat sampai urat-urat menonjol.

“Perempuan sialan…” desisnya.

Liora tersenyum licik.

“Nenek! Aku rindu padamu!” teriaknya ceria, lalu menambahkan begitu jarak tinggal beberapa langkah, “Dan aku juga rindu… pada uangku.”

1
Murni Dewita
👣
💞 NYAK ZEE 💞
nah Lo.....
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
💞 NYAK ZEE 💞
sembilan juta......
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....
Moh Rifti
😍😍😍😍😍😍
Smi: terima kasih sudah mau melirik novelku.😙
total 1 replies
Moh Rifti
lanjut
Moh Rifti
😍😍😍😍
Moh Rifti
/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Rose//Rose//Rose//Rose/
Moh Rifti
next😍
Moh Rifti
up
Moh Rifti
double upnya thor
Moh Rifti
lanjut😍😍😍
Moh Rifti
next😍
Moh Rifti
up
Moh Rifti
/Determined//Determined//Determined//Determined//Determined/
💞 NYAK ZEE 💞
ada badai di otak u ya Xavier......
badai Liora.......
💞 NYAK ZEE 💞
🤣🤣🤣🤣🤣 Salwa bapak u kena tonjok emak u.....
Smi
ayah liora kirim 5 juta sebulan, cuma nenek liora memangkasnya tampa sepengetahuan ayah dan anak itu, dengan dalih, cuma segitu saja. awalnya 2 juta, setelah salwa lahir, liora cuma dikasi 500 oleh neneknya. dan sudah terjadi bertahun tahun.
💞 NYAK ZEE 💞
itu ayah Liora kirim uang 2 JT berarti baik sama Liora, kalau 2 juta sebulan masih bisa hidup ngak sampai ngenes begitu.
kejam sekali itu nenek Darma.
ngak ada Darmanya sama cucu sendiri.
Smi
ada kok, tapi nanti dibab 20 keatas. untuk sekarang, liora masih ditempa dulu.
💞 NYAK ZEE 💞
Thor kenapa Liora ngak punya kelebihan apa2 kasihan Salwa di kasih ibu kok ngak ada kelebihan apa2, kapan kehidupan mereka jadi baik ....
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!