Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Kewaspadaan yang Terlatih
Di sebuah taman kecil di dalam kediaman Duke, Eleanor duduk sendirian di bangku kayu, menikmati ketenangan sore hari. Sejak hari itu, pikirannya masih dipenuhi dengan sikap Cedric yang aneh dan kehadiran Carolet yang semakin sering mencampuri urusannya.
Ia menghela napas pelan. “Harusnya aku sudah terbiasa dengan ini.”
Namun, instingnya tiba-tiba menegang.
Langkah kaki yang hampir tidak terdengar mendekat dari belakangnya. Ringan, hati-hati, seolah sengaja tidak ingin keberadaannya diketahui.
Tanpa pikir panjang, tubuh Eleanor bergerak secara refleks. Ia berbalik dengan cepat, meraih lengan orang di belakangnya, lalu dalam sekejap—brak!
Seseorang jatuh ke tanah dengan erangan tertahan.
Eleanor mengerjap ketika menyadari siapa yang kini terduduk dengan ekspresi terkejut di depannya. Seorang pria muda dengan kacamata bulat yang agak miring karena benturan. Wajahnya tampak menahan rasa sakit sambil memegangi pergelangan tangannya yang hampir saja terkilir.
“A-aduuuh…!”
Eleanor buru-buru melepaskannya dan mundur selangkah.
“Siapa kau?” tanyanya cepat.
Pria itu masih meringis. “Saya… sekretaris pribadi Duke Cedric…”
Eleanor langsung menyadari kesalahannya. “Oh… Jadi kau yang namanya—”
“Edwin, Nona.” Sekretaris itu masih memegangi lengannya yang kesakitan. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari Duke, tapi…”
Edwin menatap Eleanor dengan campuran keterkejutan dan sedikit ketakutan.
“Nona, kenapa Anda bisa bergerak secepat itu?”
Eleanor mengabaikan pertanyaan itu dan hanya membantu pria itu berdiri. “Maaf, aku tidak sengaja. Kau datang terlalu diam-diam.”
“Itu karena saya tidak ingin mengganggu, bukan untuk meneror Anda.” gumam Edwin.
Eleanor hanya tersenyum kecil. “Lain kali, cobalah membuat sedikit suara.”
Edwin menghela napas pasrah. “Baiklah, saya mengerti… Tapi, Duke meminta Anda untuk datang ke ruangannya sekarang juga.”
Eleanor mengangkat alis.
Cedric? Mencarinya?
Apa lagi kali ini?
Bab 7: Kewaspadaan yang Terlatih (Lanjutan)
Eleanor mengikuti Edwin menuju ruang kerja Cedric. Sekretaris itu masih sesekali menggerakkan pergelangan tangannya dengan ekspresi meringis, jelas masih merasa sakit akibat serangan refleks Eleanor tadi.
Saat tiba di depan pintu, Edwin mengetuk pelan.
“Duke, Nona Eleanor sudah tiba.”
Suara Cedric terdengar dari dalam. “Masuk.”
Edwin membukakan pintu dan memberi isyarat agar Eleanor masuk lebih dulu. Begitu berada di dalam, Eleanor melihat Cedric duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen. Pandangannya sekilas tertuju pada Edwin yang berdiri di belakangnya.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” Cedric mengerutkan kening, memperhatikan ekspresi sekretarisnya yang masih sedikit menahan rasa sakit.
Edwin langsung tersentak dan memasang senyum canggung. “Ah, tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya… sempat terjatuh tadi.”
Cedric menatapnya curiga. “Terjatuh?”
“Iya, saya kurang memperhatikan jalan.” Edwin tertawa kecil, berusaha menutupi fakta bahwa penyebab sebenarnya adalah Eleanor.
Eleanor hanya menahan senyum tipis dan memilih untuk diam.
Cedric akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Eleanor. “Duduk.”
Eleanor mengambil tempat di depan meja, memperhatikan tumpukan dokumen yang cukup banyak. Ia menatap Cedric dengan bingung.
“Apa ini?” tanyanya datar.
Cedric menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatapnya tajam. “Pekerjaanmu sebagai Duchess.”
Eleanor mengerjap. “Pekerjaanku?”
Cedric mengangguk. “Aku punya banyak urusan luar yang harus ditangani. Sebagai Duchess, tugasmu adalah mengurus administrasi internal wilayah ini. Seharusnya kau sudah terbiasa dengan ini sejak lama.”
Eleanor memandangi dokumen-dokumen di depannya. Ia memang terbiasa menganalisis dokumen dalam pekerjaannya dulu sebagai mata-mata—membaca laporan, menghafal informasi penting, mencari celah di dalamnya. Namun, kali ini berbeda.
Sekarang, dia bukan Siena, mata-mata yang selalu bergerak di balik bayangan. Dia Eleanor, seorang Duchess yang bertanggung jawab atas wilayah ini.
“Kenapa kau diam?” Cedric bertanya dengan nada malas.
Eleanor menghela napas pelan. “Aku hanya berpikir… aku lupa bahwa tugasku sekarang duduk sepanjang hari di depan tumpukan kertas.”
Cedric menatapnya dengan tatapan aneh. “Apa maksudmu?”
Eleanor segera mengubah ekspresinya. “Tidak ada. Aku hanya berbicara pada diriku sendiri.”
Cedric masih tampak curiga, tetapi tidak bertanya lebih jauh.
“Kalau begitu, mulai dari sekarang, biasakan dirimu dengan ini.” katanya sambil menunjuk dokumen-dokumen di meja. “Aku tidak ingin mendengar keluhan.”
Eleanor mendesah pelan, lalu mengambil salah satu dokumen dan mulai membacanya.
Sebuah tantangan baru.
Dan kali ini, bukan pertarungan di medan perang, melainkan di atas kertas.
...***...
Eleanor masih meneliti dokumen di hadapannya. Semakin lama ia melihat angka-angka itu, semakin jelas ada sesuatu yang tidak sesuai. Tapi ia tidak boleh gegabah. Jika ada yang tidak beres, ia harus menemukan cara untuk memastikan tanpa menimbulkan kecurigaan berlebihan.
Ia mengalihkan pandangannya ke Cedric, yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Setelah berpikir sejenak, Eleanor akhirnya bertanya dengan nada santai.
“Duke, apakah kau sering memeriksa laporan keuangan setiap daerah sendiri?”
Cedric menghentikan penanya sejenak, lalu menghela napas ringan. “Aku tidak punya waktu untuk itu. Setiap laporan selalu dikirim ke kantor ini setiap bulan, dan aku hanya melihatnya sekilas. Itu sudah cukup.”
Eleanor mengamati ekspresinya. “Tapi bagaimana kau tahu apakah laporan itu benar atau tidak? Tidakkah lebih baik jika sesekali kau mengunjungi daerah-daerah itu secara langsung?”
Cedric mendongak dan menatapnya seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang tidak penting. Dengan nada datar, ia menjawab, “Ibuku yang mengurus itu. Dia yang turun langsung ke lapangan setiap bulan saat laporan perpajakan atau keuangan diserahkan. Aku tidak perlu ikut campur dalam hal seperti ini.”
Eleanor menahan napas sejenak. Rasa jengkel mulai muncul dalam dirinya, tapi ia menahannya agar tidak terlihat di wajahnya.
‘Jadi dia hanya menyerahkan semua urusan ini kepada ibunya? Seorang Duke yang bahkan tidak peduli dengan keuangan wilayahnya sendiri? Seolah itu hanya urusan kecil yang tidak perlu diperhatikan?’
Ia menghela napas pelan, lalu berbicara dengan nada yang tetap tenang. “Lebih baik mencegah daripada mengobati, Duke. Jika ada sesuatu yang tidak beres dalam laporan ini, itu mungkin hanya jumlah kecil sekarang. Tapi jika dibiarkan, jumlah yang kecil itu bisa menjadi besar tanpa kita sadari.”
Cedric menatapnya sekilas, lalu mengangkat bahunya dengan sikap acuh. “Jika memang ada yang salah, ibuku pasti sudah mengetahuinya.”
Eleanor tidak berkata apa-apa lagi. Berdebat dengan pria ini hanya akan membuang waktunya. Tapi satu hal sudah jelas—Cedric terlalu percaya pada sistem yang sudah ada tanpa menyadari bahwa sesuatu bisa saja luput dari pengawasannya.
Dan itu, bagi Eleanor, adalah sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor